Chapter 20

22 3 0
                                    

Cila terkejut saat Diana menggebrak mejanya. Matahari baru saja muncul. Harinya diawali dengan sepotong roti yang meloncat ke meja, untung saja teh manisnya tidak ikut tumpah.

Cila meliriknya judes. Lantas, kembali mengambil roti yang baru. Mengoleskan selai strawberry di atasnya. Sikapnya itu malah membuat Diana tersenyum kecut.

"Lo dengerin gue nggak, sih?" tanya Diana merebut roti yang mau digigit Cila. Memaksa gadis itu untuk menatapnya.

"Nah. Sekarang gue mau tanya."

"Gue nggak mau jawab. Udah telat," sambar Cila seraya melirik jam di dinding, sudah setengah tujuh lewat semenit. Biasanya Bibi Vini sudah mengantar mereka ke sekolah. Berhubung beliau sedang ke luar kota, jadilah Cila harus menggunakan bus.

Jangan tanya Diana. Dia tidak mau repot-repot iku berjalan dengan orang lain. Itulah kenapa dia masih santai bermain-main dengan Cila. "Jangan dekaletin Fena lagi."

"Eh!" Cila tidak mengerti.

"Dia udah jadi temen gue," ujar Dina menjelaskan. Tangannya bermain-main dengan rambut. Bibirnya membentuk senyuman sinis.

"Berarti dari dulu bukan temen lo, dong," balas Cila memutarbalikkan fakta.

Wajah Diana memerah. Tidak tahu kalau ada jawaban demikian. "Iya. Lo juga, bukan temen gue," semprotnya seraya menunjuk Cila berulang kali. Luapan dari emosi yang dimilikinya saat ini.

"Gue emang sepupu lo," balas Cila lagi. Dia memakai ranselnya setelah menghabiskan teh hangat. Tidak lupa menyambar selembar roti sebagai pengganjal perut.

"Ya! Lo, bukan sepupu gue!" Diana berteriak hingga tenggorokannya sakit. Setelah menggerutu panjang barulah dia sadar kalau belum memesan taxi untuk berangkat sekolah. "Tungguin gue!" teriaknya lagi lalu berlari mengejar Cila.

Jadilah mereka berangkat bersama. Meski beberapa kali Diana menjerit secara tiba-tiba karena tersenggol orang, tetapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda mencurigakan. Seperti memfoto Cila atau sebagainya.

"Lo, yang selalu nyebarin video gue, ya?" tanya Cila terdengar seram.

Diana berhenti mengomel saat bau busuk dari dagangan seseorang berada di dekat mereka. Dia menoleh ke arah Cila, menatapnya polos. "Nggak," jawabnya cepat.

Saat seperti ini biasanya Diana selalu berkata jujur. Tahu kalau dia ketakutan melihat ikan yang tiba-tiba meloncat dari keranjang, dia sedikit mendorong Diana hingga menjerit.

"Ya! Ya! Gue takut! Gue takut!" Diana memeluk lengan Cila seraya menyembunyikan wajah.

"Jawab jujur," ujar Cila lagi. Tanyanya berusaha melepas pelukan Diana. Sukses membuat Diana memohon-mohon. Beberapa orang menatapnya sinis. Heran karena ada yang bisa selebay ini ketika naik bis.

"Beneran, deh. Gue emang nyebar juga, sih. Ih, jauh-jauh dong, Pak," jawabnya cepat. Mendelik kepada pedagang ikan di sebelahnya. Sepertinya bapak tua itu tersinggung. Meski begitu, Diana mendesah lega karena si bapak langsung turun di halte.

Cila mendesah panjang. Sambil memijit kepalanya yang tiba-tiba pusing. Ditambah omelan Diana sepanjang jalan. Benar-benar hari yang buruk.

Bel masuk kurang dua menit lagi. Cila rasanya mau pulang ke rumah. Ditatap sepanjang jalan membuatnya tidak nyaman. Meski sudah berulangkali mengalaminya, adakalanya seseorang berada di titik terendah. Cila merasakan berada di tingkat kepercayaan paling rendah.

"Kayaknya nggak berhasil," ujarnya dengan napas tertahan. Cila buru-buru masuk ke kelas karena guru konseling sudah meniup peluit andalannya.

***

Cila meletakkan dagunya di antara lipatan tangan. Mengamati Fena yang lagi-lagi pergi dengan Diana. Mungkin ini upaya yang dimaksud Diana. Semua orang memang bakalan direbut oleh sepupunya. Jika saja kemarahan Angga bukan hanya sandiwara, Cila mungkin berpikir kalau tidak ada yang peduli padanya lagi.


"Ngapain di sini?" Pertanyaan itu dari Fihan. Dia berjalan ke arah pintu. Angga juga berada di sana dengan bola basketnya.

Cila mencoba tidak peduli. Tidak melihat Angga saja banyak yang mencurigainya. Apalagi kalau menyadari keberadaan Angga di sini.

"Kebetulan lewat," ujar Angga. Matanya mengedar ke sekeliling. Senyum miringnya terbit melihat Cila membaca catatan. Rambutnya dicepol tinggi-tinggi. Jepit rambut yang diberikannya tempo hari ternyata dipakai. Jepit itu berwarna orange berbentuk bunga matahari.

Fihan tertawa sebagai balasan. Sanggup membuat Angga menatapnya bingung. "Alah palingan mau nengokin pacar."

Sebenarnya itulah yang membuat semua orang bingung. Angga mempermalukan Cila terang-terangan. Tetapi tidak ada kata putus darinya. Otomatis status mereka masih pacaran.

Angga tersenyum sebagai balasan. "Emang iya," jawabnya memamerkan gigi putihnya. Suara sorakan kaum laki-laki terdengar nyaring. Berbanding terbalik dengan gerutuan sebal dari kaum perempuan.

"Baikan! Baikan! Baikan!" Sang preman kelas, Fino mengompori. Awalnya hanya satu suara saja. Lama-lama menjadi jelas dan sangat bising. Orang yang lewat sampai keheranan melihat kelasnya ricuh.

Cila mendongak ketika namanya disebutkan. Dia hanya melihat Angga berbicara dengan Fihan. Dan, jawaban mengejutkan dari Angga kalau kedatangannya ingin menemui Cila.

Cila menggaruk tekuknya. Bisa dilihatnya Leona yang baru masuk terlihat meradang. Ada kebencian yang terpancar dari matanya.

"Nih, bekal buat lo," ujar Angga meletakkan paper bag berwarna hitam. Meski suaranya lirih, tetapi keheningan yang terjadi membuat semuanya mendengar itu.

Cila mendengus. Saatnya bersandiwara. "Nggak usah. Gue nggak sudi makan bekal lo," jawabnya dengan senyum mengejek. Ekspresinya selaras dengan ucapan itu. Diam-diam tertawa dalam hati karena wajah Angga terlihat kaget.

Angga berdehem. "Ini bukan dari gue," ujarnya lantang. Seolah mengumumkan sesuatu yang penting. "Itu dari mama."

Diana menahan napas mendengarnya. Sementara Leona hampir saja memisahkan mereka jika tidak ditahan oleh Fihan, sedangkan satu cewek lagi yang berada di pintu kelas, Fena terkejut setengah mati.

"Cila kenal mama lo?" tanya Fino sengaja memancing kemarahan kaum hawa di sana. Dia menghindar karena dicubit habis-habisan dari samping kiri.

"Nggak usah tanya, lah."

"Mulut lo emang cabe."

Cila melotot pada Angga. Sayangnya yang dipelototi malah menahan senyum. "Makan. Nanti sia-sia mama bikin makanan buat lo."

Makian dari Angga tidak kunjung keluar. Harapan Cila dipermalukan lagi kandas. Entah sengaja atau bagaimana, Angga sukses membuat banyak orang hati patah.

Cila mengangguk. "Makasih, deh."

Angga menggendikkan kepala samar. Dia kemudian berlalu dari kelas seraya bersuit-suit. Diiringi koor dari kaum laki-laki yang membahana. Cila sukses jadi bahan godaan sekelas.

Fena tiba-tiba berada di sampingnya. Wajahnya pasi. Mungkin karena suara bising di kelas. Dia melirik Diana dan Cila secara bergantian. "Lo harus putus sama Angga," ujarnya lirih. Dia duduk di bangkunya agar semua orang tidak mendengar.

Cila menoleh. "Kenapa harus?" tanyanya curiga. Menangkap gerak-gerik Fena yang menengok ke Diana dan Leona. Sepertinya anak ini diancam.

"Harusnya lo nggak usah deket mereka lalu dijadiin babu," sindir Cila seraya memainkan pensilnya.

"Gue bukan babu," balas Fena tidak kalah tajam. Wajahnya memerah karena dihina seperti itu. "Lo, sama mereka juga nggak ada bedanya," tambah Fena lirih.

Sayanganya, Cila keburu mendengarnya. Dia sedikit terkejut mendengar pernyataan itu bisa keluar dari mulut Fena.

___________

MY BAD DAY ✔Where stories live. Discover now