Chapter 13

38 2 0
                                    

"Yey!"

Sorak-sorai terdengar hingga di luar lapangan. Keriuhan dari anak-anak SMA yang menyambut ulang tahun kota Jakarta. Terik mentari tidak menghalangi untuk ikut memeriahkan. Hampir separuh lomba sudah berlalu, tinggal menunggu undian berhadiah sebagai penutupan.

Cila dan Fena bersenang-senang. Mengikuti joget siang demi arum manis, sisa hadiah balap karung. Lagu Jennie- Solo yang diremix jadi dangdut sukses menarik perhatian. Entah siapa yang mengcovernya.

Sejenak pikiran Cila teralihkan. Sejak informasi yang diberikan Angga, kepalanya terus memikirkan kenapa hubungannya dengan Rio mulai renggang. Jarak mereka tidak melibatkan ujian atau kesibukan les.

"Kalau lo emang penting, seenggaknya ngabarin satu kali sehari cukup. Atau terlalu sulit?" Sindiran dari Angga itu membekas. Hatinya bertanya-tanya juga. Hampir seminggu tidak ada kabar. Gadis itu jadi galau.

"Yah. Arum manisnya udah diambil," gerutu Fena, terdengar kesal.

Cila tersentak. Ikutan menjerit karena kalah cepat untuk rebutan. Gara-gara mikirin masalahnya, dia melewatkan kesempatan. Objek yang dipikirkannya lewat begitu saja, tanpa menoleh.

"Kalian belum balikan, ya?" tanya Fena heran. Mereka kompak saat menjawab pertanyaan. Kerja sama mereka sampai dipuji Bu Lidya.

Cila menggeleng. "Buat apa balikan?" tanyanya balik. Tidak peduli. "Eh, tumben kepo," lanjutnya mengajak singgah membeli jus buah.

Fena membeku sesaat. Menepuk bahu Cila. Isyarat matanya tertangkap jelas. Dia menarik sahabatnya ke belakang.

Firasat Cila tidak enak. Benar saja, Angga telah menunggunya dengan tangan dilipat. Matanya fokus pada gadis itu.

"Lo, laper?" Pertanyaan pertama itu berhasil membuat Cila melebarkan mata. Dia terkejut dengan pertanyaan santai itu. Dia kira bakalan diajak balikan lagi seperti sebelum-sebelumnya.

Angga tersenyum miring. Tangannya menggenggam jemari Cila. Membawanya ke lokasi yang lebih sepi. Warung kecil di pinggir jalan menjadi tujuan.

"Gue mencium maksud tersembunyi," gumam Cila mengendus Angga. Tampak yakin bahwa cowok yang mengenakan seragam olahraga seperti dirinya itu merencanakan sesuatu

Angga menggeleng. "Enggak. Jangan selalu nilai orang seenaknya," balasnya santai. Menohok. Tanpa senyum.

Cowok berambut arang itu mendesah panjang. Bisa-bisanya melakukan saran Jeri setelah usaha kemarin tidak berhasil. Bagaimanapun, otak kakak kelasnya itu jauh dari kata normal.

Perdebatan mereka hanya sampai di situ. Entah kenapa Cila tidak protes lebih banyak. Dilihat dari wajah murungnya, dia pasti ada masalah. Terlalu kentara kalau Angga bertanya. Bisa-bisa nanti disemprot duluan.

Sampai mata gadis tiu melebar, barulah Angga tergelitik. "Lo, punya masalah?" tanyanya tidak peduli.

Tidak ada balasan. Angga mengikuti arah pandang Cila. Terkejut melihat Rio datang dengan Jihan. Wajah mereka juga sama terkejutnya. Katakanlah ini pertemuan tidak terduga, tetapi bisa membuat Angga tersenyum miring. "Kartu As," gumamnya samar.

"Kalian di sini?" Pertanyaan itu dari Jihan. Mengurai genggamannya dengan Rio. Senyum lebarnya seolah-olah mengejek Cila.

Angga mengangguk sebagi formalitas. Berbeda dengannya, Cila bertanya kenapa mereka nyasar ke sini. Padahal, keduanya masih mengenakan seragam sekolah. Jika mereka memberi alasan pulang les atau semacamnya, Cila janji tidak berpikir macam-macam.

"Rio ngajak ke sini. Katanya nasi gorengnya enak, ya, Sayang?" tanya Jihan santai.

Interaksi mereka terlalu jelas. Panggilan yang asing di telinga Cila, tapi sepetinya sudah sering mereka gunakan. Tentang bagaimana Rio mengelus kepala Jihan dengan sorot memuja. Kenyataan menghempasnya, kegelisahannya berhari-hari ini sia-sia. Semua jawaban yang disangkalnya menjadi nyata.

Bibirnya kelu. Cila sehsrunya membalas dengan elegan. Kali ini dia melambaikan tangannya. Entah apa yang terjadi, Angga berhasil membawanya keluar. Meski pesanan mereka belum jadi. Cowok itu membayarnya tanpa berkata apa-apa.

Cila ingin melepaskan genggaman itu. Urung. Tautan mereka terlalu kuat.

"Nangis aja. Jangan pura-pura jadi kuat."

Dua tetes air matanya meluncur. Menjadi kuat tidak selalu menyenangkan. Meski berusaha baik-baik saja, Cila sadar dia juga punya hati. Dia ingin terlihat tegar. Dan, dia ingin menyerah dalam waktu bersamaan. Lelah dan resah bertumpuk menjadi satu. Lewat gerimis di matanya, dia berharap lukanya ikut terbawa.

***

"Udah nggak usah lihat ginian."

Gawai Cila direbut paksa. Cemberut karena Angga mengganggunya hari ini. Hobi sekali cowok itu mengganggu. Tak lama kemudian, cowok itu mengulurkan gawainya.

Masih tidak mengerti kenapa Angga mendekati. Berkali-kali dia memojokkannya, Angga terus mengelak.

"Gue heran kenapa nih berita selalu tentang gue. Ngefans atau gimana, sih," ujarnya kesal. Menendang udara untuk meluapkannya.

Berita itu memuat foto mereka sehabis acara ulang tahun ibukota. Persis ketika Rio dan Jihan datang menyapa. Sudut kamera memperlihatkan kalau Cila hendak menyerang Jihan. Dengan editan sana-sini, dia kembali mendapat kebencian yang lebih.

Angga meliriknya. Dia juga penasaran. Tidak mungkin Leona. Gadis itu tidak bakalan macam-macam lagi.

"Apa Leona?" tanya Cila, ragu. Menatap Angga yang tiba-tiba tersenyum miring. Sepertinya ada yang disembunyikan cowok itu. Mengingat Leona selalu menghindarinya akhir-akhir ini.

"Lo, segitu sukanya sama gue?" tanya Cila seraya mengibaskan rambut. Sikap cowok itu memang berubah lebih baik. Meski beberapa rumor tidak sedap menyerangnya tanpa ampun.

"Iya," jawab Angga cuek.

Sukses membuat Cila gelagapan. Cowok itu pasti kebanyakan bergaul dengan Jeri. Makanya gombalannya tambah dahsyat. Bisa membuat kerja jantungnya tidak terkendali.

"Serius, deh. Gue penasaran siapa yang nyiptain ginian coba," ungkap Cila dengan suara gugup. Berdehem untuk menetralkan raut wajahnya.

Angga menoleh. Mulutnya terkatup kembali saat menyadari sesuatu. Setelahnya, ada cahaya blitz yang menyilaukan mata.

"Woy!" Angga berteriak kencang. Sontak saja seisi taman menatapinya penasaran. Cowok itu segera berlari menuju tembok di belakang gedung serbaguna. Tempat yang digunakan seseorang yang memfoto tadi.

Cila bingung, ikut mengejarnya juga. Belum juga sampai ke belakang gedung, Angga sudah muncul kembali. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi kesal. "Apa yang terjadi?" tanyanya penasaran.

Angga menggeleng pelan. Wajahnya dibanjiri peluh. Terlihat sekali kalau dia berusaha keras mengejar. "Gue haus, nih," adunya seraya meletakkan satu tangan di bahu Cila. Punggungnya menekuk ke depan. Tangannya yang satu memegang lutut.

"Bentar. Gue telepon Fena dulu," ujarnya sembari menyingkirkan tangan Angga yang menganggu.

"Dia dikantin? Kenapa nggak lo aja yang ke kantin?" tanyanya penasaran. Melirik gawai Cila dengan wajah keingintahuan. Langsung saja mendapat geplakan kuat dari pemiliknya.

"Ogah," jawab Cila dengan nada sumbang.

Angga tertawa. Padahal, tidak ada yang lucu. Dia menepuk kepala Cila terang-terangan. Jelas sekali membuat gadis itu gelagapan. Berjaga-jaga jika cowok itu cuma cari perhatian.

Tidak ada Kirana di sekitarnya. "Nggak ada pujaan hati. Mending biasa aja, deh."

Angga memutar mata. Napasnya berembus. Mengacak rambut Cila hingga berantakan. "Salah. Gue nggak mikir Kirana."

Cila mengernyit. Angga sudah bergabung dengan teman-temannya untuk bermain basket. Perasaannya menghangat, tanpa bisa dicegah. Berusaha melupakannya. Lantas, bergabung dengan Fena yang melambaikan tangan di pinggir lapangan.

___________

MY BAD DAY ✔Where stories live. Discover now