Chapter 22

31 3 0
                                    

"Diana nangis kejer kemarin. Nggak tau tuh anak mikirnya gimana. Ngurus orang mulu perasaan," ucap Cila menjelaskan kejadian tadi malam.

Dia terus saja mengoceh sepanjang jam pertama dimulai. Untung saja mereka diberi tugas karena gurunya sedang ada rapat. Kalau tidak, mungkin Cila sudah ditengur dari tadi. Beberapa teman di dekatnya saja terganggu, meliriknya judes.

Fena masih diam, tidak menanggapi. Sibuk menjabarkan rumus alogaritma yang memusingkan.

"Kira-kira siapa yang ngevideo dia, ya?" tanya Cila lagi, kali ini dengan gumaman. Sadar kalau curhatannya menganggu aktivitas anak-anak lain.

Suara napas berembun, pelan. Fena melirik Cila tanpa minat. "Gue lagi ngerjain. Tolong diem," pintanya datar.

Fena masih marah. Itu tidak baik bagi pertemanan mereka. Berjalan ke kantin sendiri-sendiri rasanya aneh. Jarang sekali mereka bertengkar selama ini.

"Lo, bisa nyalin punya gue," tawar Cila seperti biasa. Mengabaikan kalau Fena tengah terbawa emosi.

Tak disangka, ucapannya itu malah membuat Fena meradang. Bagaimana tidak? Dia sering mendengarnya dari Cila. Seolah-olah gadis itu yang paling pintar di sini. "Gue bisa kerjain sendiri," balasnya tidak peduli. Kembali melanjutkan aktivitasnya mengotak-atik rumus.

Cila tidak menyerah. Baru kali ini Fena mau menjawabnya panjang lebar. "Nggak usah kali. Lihat aja punya gue," tawarnya sedikit memaksa.

Harga diri Fena seolah disentil. Memang benar dia selalu menyontek pekerjaan Cila jika tidak ada waktu mengerjakan. "Makasih. Nanti ngerepotin," ujarnya menahan emosi.

Cila tertawa mendengarnya. "Udah biasa lo nyontek—"

"Iya. Udah bisa gue selalu nyontek. Makanya gue lagi berusaha sekarang," potong Fena kehilangan sabar. Dia sampai melempar pensilnya. Pensil itu terjatuh setelah mengenai punggung seseorang di depan Fena.

Cila merenggut. Heran karena gadis di depannya tiba-tiba marah. "Ya, udah biasa aja kali," ujarnya seraya menatap teman-temannya. Keduanya menjadi tontonan gratis di sela tugas super rumit ini. Spekulasi kalau mereka bertengkar kembali mencuat. Setelah beberapa menit tidak terjadi apa-apa, mereka kembali ke aktifitas masing-masing.

Fena larut dalam rumus. Kepalanya tidak sedikit pun menengok ke samping. Tidak ingin melanjutkan pertengkaran ini. Lagi pula banyak yang menonton mereka dan berharap ada aksi lebih dari ini. Hanya sebatas itulah mereka berinteraksi.

Cila meletakkan kepalanya. "Maaf, kalau gue salah," ujarnya pelan. Sikapnya memang kadang berlebihan. Tetapi, dilakukannya karena Fena sahabat baiknya. Supaya dia tidak perlu susah-susah mengerjakan lagi. Sahabat itu saling membantu, kan? Wajar dong dia menawarkan seperti tadi. Meskipun kalau ketahuan guru sebenarnya tidak boleh.

Fena tidak terpengaruh. Seolah ucapan itu hanya angin lalu saja.

Cila mengangkat bahu. Sampai bel istirahat pertama berdering, mereka tidak lagi berinteraksi. Fokus pada pelajaran yang sedang berlangsung.

"Gue mau ke perpus," ujar Cila setelah merapikan buku-bukunya. Dia mengambil kartu perpus seraya meggoyangkan pelan. Berharap kalau Fena  merespon ucapannya kali ini.

Fena menatapnya datar. Sorot matanya tampak jengah. Tidak ada senyum yang terpatri di wajah gadis itu. "Duluan aja. Gue ada janji sama Diana," ucapnya.

Cila sampai cengo mendengarnya. Tidak menyangka kalau mereka sudah sedekat ini. Mungkin itu juga yang membuat Fena jengah padanya. Dia pasti sudah diberitahu masalah Diana itu.

***

"Lo, kok, nggak bilang kalau mau ke Florence?" Pertanyaan itu mengagetkan Cila. Gadis itu sampai terlonjak. Dia mengelus dadanya pelan. Mencoba menetralkan detak jantung karena serangan kecil tadi.

Angga sepertinya tidak peduli. Wajahnya tambah emosional. Bibirnya tidak menampilkan senyum miring andalannya. Kedua tangannya bersedekap. Menambah aura dingin di sekitar mereka. "Kenapa nggak jawab?" tanyanya lagi.

Cila tersenyum lebar. Telunjuknya mengedar ke sekeliling. Di mana anak-anak tengah belajar. "Dilarang bicara," sangkalnya. Tahu kalau dia diikuti, Cila sengaja memilih rak paling belakang. Tidak ada orang yang bakal mendengar pembicaraan mereka. Meskipun kedatangan Angga ke perpus cukup membuat heboh karena ini pertama kalinya dia ke sini.

"Oh, gitu, ya. Kalau sama Romeo ngasih tahu, sama gue enggak. Pacarnya siapa sebenarnya," sindirnya sembari memainkan buku yang diambilnya asal tadi. Dia terlihat lucu dengan bibir maju seperti itu.

"Siapa pacar, lo?" tanya Cila polos. Berniat menjahili Angga seperti biasanya.

"Jadi lo anggep gue apa?" tanya Angga datar. Berbanding terbalik dengan wajah kekanakan yang ditampilkannya tadi.

Sepertinya ada yang tidak beres dari anak ini. Kepribadiannya bisa berubah tiba-tiba seperti ini. Cila meletakkan buku yang hendak dibaca. Fokusnya jatuh pada Angga yang protes dengan sikapnya ini.

"Kita kan paca—"

"Oh, mau putus?" tanya Angga memotong perkataan Cila. Tidak mau repot-repot mendengarnya labih lanjut.

"Lo, kali yang mau putus," balas Cila kesal. Bibirnya mencebik sebagai pembalasan. Tidak tahu harus berkata apa lagi karena Angga jadi sensitif sekali. Bukan hanya Fena yang tersinggung dengan ucapannya, ternyata Angga juga. Cila malah tersulut emosinya alih-alih memahami mereka berdua.

Dialihkannya rasa jengkel itu. "Kalau gue salah, gue minta maaf," ujarnya tidak ingin memperpanjan urusan ini. "Soal gue ke Florence, gue bercanda doang," tambahnya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

"Lo nggak sama. Gue yang terlalu posesif sama lo," ucap Angga tidak nyambung.

Semua ekspresi itu seolah nyata bagi Cila. Tentang kemarahan cowok itu yang membuatnya jadi gelisah. Diakuinya kalau Cika sempat takut mereka bertengkar lagi. Dan, memang terjadi. Padahal seingatnya mereka bertengkar cuma sandiwara saja.

Tunggu, sandiwara?

Cila hendak menoleh ke belakang, tetapi tangan Angga lebih dulu menahan kepalanya. Mata mereka bersitatap. Gadis itu bingung ini bagian sandiwara juga atau memang beneran. Satu-satunya cara untuk mengetahui adalah menyelami mata metalik itu.

"Gue sayang banget sama, lo," ujar Angga. Tidak terdengar lebay atau semacamnya. Malah terkesan tidak peduli.

Cila ingin muntah mendengar pernyataan itu. Seharusnya dia melakukannya. Sayangnya, Angga berhasil membuatnya jatuh untuk ke sekian. Katakanlah dia menjilat ludah sendiri. Tetapi ini memang kenyataan.

Cila tidak membalas penyataan itu. Sekalipun ada harapan yang terpancar di mata Angga. Rasanya masih aneh saja mengingat hubungan mereka bisa berjalan sampai ke titik ini.

Angga menurunkan tangannnya dari bahu Cila. Setelah memastikan tidak ada orang yang mengintai diam-diam, dia berubah jengkel. Diacaknya rambut Cila yang hari ini tergerai indah. "Awas aja kalau ada apa-apa nggak bilang gue," ujarnya memberi peringatan.

"Ih! Ini baru gue sisir tadi," gerutunya serta merapikan rambutnya kembali. Kemudian dia melongok ke belakang untuk memastikan sesuatu. Tidak ada siapa pun. Berarti perkirannya tadi salah, ya.

"Gimana akting, gue?" tanya Angga dengan wajah congkak. Sifat aslinya kembali lagi.

"Cocok, deh jadi peran pembantu," jawab Cila asal.

Angga menggelengkan kepalanya. Kemudian mendengar celoteh gadis itu tentang sikap teman-temannya belakangan ini. Rasanya sudah lama tidak mendengar celotehan Cila yang mirip tukang sayur memaksa pembeli memborong dagangannya.

_____________

MY BAD DAY ✔Where stories live. Discover now