Chapter 15

35 2 0
                                    

Kirana berdiri dengan senyuman tidak bersalah. Tangan kiri menenteng rantang susun. Gawainya masih berkedip di genggaman tangan kanan. Dia memakai kaos berwarna putih dan rok selutut berwarna hitam.

"Gue nggak boleh masuk?" tanyanya karena Cila tidak kunjung bereaksi.

Cila mendesah panjang. "Maaf. Tapi nggak boleh masuk," jawabnya santai. Kepalanya memutar ke sana ke mari. Mencari seseorang yang mungkin ada kaitannya dengan ini. Sepertinya Angga bersembunyi dengan baik.

Kirana ikut melongok ke belakang. Teringat sesuatu lantas tersenyum maklum. "Gue sendiri," jawabnya membaca pikiran Cila.

Cila memutar mata. "Gue nggak tanya," ucapnya seraya menggaruk tekuk. Suasana mendadak canggung. "Kalau lo nggak keberatan, boleh duduk si sana," lanjutnya menunjuk gazebo di samping rumah.

"Oke. Gue tunggu di sana." Kirana mengangguk ketika Cila mengatakan akan membuatkan minuman untuknya.

Saat tiba di dapur, Cila lega karena tidak ada siapa pun. Jika Bibi Vini, sih tidak apa-apa. Tetapi kalau Diana yang penasaran, bisa-bisa dia ditahan agar tidak boleh keluar. Disempatkannya mengecek gawai. Siapa tahu ada pesan nyasar dari Angga, tetapi tidak ada apa pun.

***

Dua toples cemilan dan dua gelas cokelat hangat tersaji di depan Kirana. Gadis itu tersenyum sebagai balasan.

"Nih, dari Angga."

Rantang yang tadi dipegang Kirana tersodor di depan Cila. Hal tersebut sukses membuat satu alis Cila terangkat. "Kayaknya lo salah alamat."

Kirana tertawa kecil. "Nggak, kok. Gue emang ke sini juga mau minjem buku kelas sepuluh, jadi sekalian aja."

Cila ber'oh' panjang. Pikirannya sudah melantur ke mana-mana tadi. Dia pikir Kirana bakal ngelabrak atau gimana.

"Gue ambilin bentar," ucapnya cepat setelah Kirana bercerita akan meminjam paket kimia tahun lalu.

Cila mendesah panjang saat lengannya ditahan, Kirana bilang akan mengambilnya ketika pulang sekolah. Cara halus agar dia tetap tinggal, padahal Cila ingin keluar dari kecanggungn ini.

"Lo nggak pulang?" tanyanya dalam beberapa detik setelah duduk.

Kirana tertawa. "Lo blak-blakan banget jadi cewek." Alih-alih mendengar hinaan, dia malah merasa disanjung. Berbeda sekali dengan sikapnya terakhir bertemu. "Gue minta maaf sempet bentak, lo."

Meski terkejut, Cila mengangguk juga. "Udah biasa, sih. Nggak usah ngerasa bersalah," jawabnya kikuk. Tidak pernah mendapat perlakuan seperti ini sebelumnya.

"Gue udah nganggep Angga kayak adik gue sendiri." Kirana menerawang jauh, mereka memang sudah kenal sedari kecil. "Rasanya aneh aja dia bisa deket sama orang lain."

Mata Cila menyipit. Bibirnya berkedut mendengar pernyataan itu. "Dia berhak ngelupain cinta sepihaknya," ujarnya tanpa rasa bersalah.

Kirana terkekeh dengan anggukan kepala. "Gue nggak cemburu, kok."

Senyap kembali menyergap. Kirana tidak tahu harus berbicara apa lagi. Sempat terlintas sesuatu yang mengganggunya. Setelah berpikir panjang, dia berujar, "Gue tahu alamat lo dari Angga."

Cila sontak menoleh dengan cepat, terlihat sekali kalau reaksinya berlebihan. Dia lebih penasaran kenapa Kirana bisa membaca pikirannya dengan mudah.

"Dia ada di depan kalau lo mau ketemu," tambahnya memamerkan senyum penuh arti. Kerlingan matanya menyiratkan sesuatu, lebih kepada harapan agar Cila bisa menemui teman kecilnya itu.

"Nggak, deh. Lagian mau ngapain juga?" tanya Cila. Tawanya terdengar aneh karena terpaksa.

"Padahal gue mau nemuin lo."

Tiba-tiba saja Anga berada di depannya. Jaket kulit berwarna hitam itu kontras dengan kulit pucatnya. Di balik itu ada seragam sekolah yang sudah berantakan. Wajahnya terlihat lelah dengan kantung mata hitam, tidak ada senyum di wajah datar itu, cukup membuat Cila yakin kalau Angga tidak tulus melakukannya.

"Ya sudah gue pergi," ujar Kirana tiba-tiba, lalu melambaikan tangan kepada mereka.

***

Angga duduk di samping Cila. Suasana kian canggung, tidak ada pembicaraan lebih yang membuat suasana mencair. Cowok itu menimang-nimang sesuatu yang mengganggu otak.

"Kirana udah pergi," ucap Cila setelah memikirkan cara melarikan diri dari sana.

"Gue tahu," jawab Angga cuek. Kedua tangannya berlipat di depan dada. "Gue pengin kita balikan," ucapnya tanpa basa-basi.

Mata Cila membeliak. Tanpa disangka, dia tertawa seolah-olah ucapan tadi lucu, padahal cila tahu Angga sedang tidak bergurau. Untuk berpura-pura pun tampaknya tidak.

Tawa Cila mereda karena bagian samping wajahnya terasa panas, hingga bibirnya terkatup ketika Angga menatapnya serius. "Lo, serius?" tanyanya ragu.

Tanpa disangka, Angga menganggukkan kepala. Wajahnya menyiratkan keyakinan penuh. Hari-harinya sepi karena Cila tidak lagi berada dalam jangkauan. Menyibukkan diri dengan Kirana, malah membuatnya semakin memikirkan gadis di depan.

Untuk bilang jatuh cinta, rasanya terlalu sedikit hal yang membuatnya yakin.  Untuk bilang baik-baik saja, dia berdusta. Hari-hari terakhirnya diisi dengan pertanyaan konyol. Kenapa Cila tidak menyukainya seperti kebanyakan gadis di sekolah?

Ketika Angga terlarut dalam pikirannya sendiri, langkahnya selalu berhenti di mana gadis itu berada. Meski beberapa kali berkata bahwa yang dilakukannya terlalu berlebihan.

"Gue, nggak mau bikin harapan semu," jawab Cila dengan senyum terpaksa. Meruntuki diri seharusnya berkata sejujurnya, alih-alih berputar-putar tanpa akhir seperti ini.

"Gue, bakal buktiin."

"Em, maksud gue bukan gitu!" Cila gelagapan.

Angga tersenyum kecil. "Gue pergi, ya."

Kenapa terdengar manis sekali? Monolog Cila saat cowok itu mengelus kepala Cila dengan penuh emosi.

Angga berlari kecil menuju mobil. Tentu saja Kirana masih menunggu sejak tadi. Senyumnya masih tersemat. Seolah hal barusan adalah kesenangan tersendiri yang tidak bisa didapatkan lagi.

"Terserah, ah." Cila menghentakkan kaki. Kepalanya jadi serasa ingin pecah saat menerka-nerka maksud cowok itu.

***

Cila hampir mencapai pintu kelas. Tetapi langkahnya berhenti karena kerumunan yang tidak biasa terlihat. Rata-rata, sih dari kaum hawa. Entah apa yang mereka gosipkan dengan tawa cekikikan.

"Permisi, permisi," ujarnya cuek, menyibak kerumunan itu dengan sekuat tenaga. Hingga dalam sekejap dia berada di barisan depan.

"Ada apa, sih?" tanyanya pada gadis di sebelahnya. Gadis berambut bob itu teman seangkatannya, hanya beda jurusan.

Gadis yang mengenakan jepit rambut pita itu menoleh. Wajahnya berubah masam. Senyumnya langsung luntur melihat Cila di depannya. "Nggak tau," jawabnya cuek.

Cila mencebikkan bibir. Tidak ingin membuang waktu bertanya, dia mendorong dirinya ke depan. Dua orang di depannya langsung terhuyung, tidak sampai jatuh, tetapi sempat memakinya karena kaget.

Tidak sempat menjawab makian untuknya, Cila ternganga melihat Angga duduk di kursinya. Mengenakan seragam basket dan topi hitam. Senyumnya mengalahkan mentari pagi.

"Hai!" sapa Angga, tidak canggung sama sekali.

Berbeda dengan Cila yang berubah kikuk. Punggung hingga kakinya terasa panas, tatapan dari segala penjuru membuatnya meriang.

Seolah belum cukup membuat jantung menggila, Angga tiba-tiba berdiri. Menghampiri Cila yang syok di tempat.

"Gue latihan dulu, ya," pamitnya. Tak lupa mengacak rambut Cila sebagai salam perpisahan. "Sarapannya jangan lupa."

Sesuatu berdesir pelan. Jantung Cila bertalu-talu, Cila yakin ini efek kejengkelan yang belum tersalurkan.

____________

MY BAD DAY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang