Chapter 16

31 7 0
                                    

Sebenarnya Cila sudah curiga sebelum berjalan ke gudang belakang. Tidak mungkin Rio mengajaknya bertemu setelah pulang sekolah. Tidak seperti biasanya, karena adik tingkatnya yang merupakan anggota basket kelas sepuluh datang membawa pesan. Cila pun percaya saja.

Fena tidak bisa menemani karena jadwal lesnya siang ini, itulah yang membuatnya khawatir pergi sendiri.

Hatinya meragu. Dia tidak pernah berkomunikasi dengan Rio lagi. Apalagi kakak kelasnya itu sibuk dengan persiapan Ebtanas dan ujian masuk universitas. Jika dipikir-pikir, mungkin hanya Cila yang memutus rantai silaturahmi mereka.

"Gue pasti dikerjain," ujarnya geram. Di sekitarnya tidak ada siapa pun. Gudang itu bahkan sepi sekali. Tidak ada satpam yang biasanya keliling untuk mengecek anak yang belum pulang sekolah.

Gadis itu mengecek gawainya yang bergetar. Sebuah pesan masuk secara berantai. Keningnya mengernyit, hanya pesan kosong tanpa tulisan apa pun.

Belum sempat dia memasukkan gawai ke dalam tas, tiba-tiba kedua lengannya dicekal dari samping. Terkejut. Suaranya terendam oleh tawa yang dibuat-buat oleh dari belakang. Siapa lagi kalau bukan sepupunya, Diana.

"Haha. Kebetulan banget lo di sini," ujar Leona dengan mata berbinar. Kedua tangannya berada di depan dada. Dagunya terangkat dengan senyum sinis. Ada kepuasan dalam suaranya.

"Lo, yang ngerjain gue?" tanya Cila, jengkel. Sebal juga selalu dibully sama Leona the Genk. Tidak di rumah atau di sekolah pasti bertemu dengan Diana, hidupnya dipenuhi dengan kesialan bertubi-tubi.

Leona bertepuk tangan. "Ide yang bagus," jawabnya lalu memberi kode kepada Diana dan Grace. Yang langsung mendapat anggukan dari keduanya.

Cila berteriak kaget karena dibawa masuk ke dalam gudang. Entah dari mana Leona mendapatkan kunci yang tidak ada duplikatnya itu.

"Niat banget kalian," sindir Cila terang-terangan. Menghempaskan tangan keduanya setelah melihat Diana kesusahan mendorong bangku rusak yang menghadang jalan.

Diana terhuyung. Beruntung, tidak menabrak siku meja di sisi kirinya. Wajahnya geram sekali melihat Cila bahagia di atas penderitaannya, apalagi tawa mengejek itu. "Pergi aja lo dari hidup gue!" teriaknya kesal.

Satu alis Cila terangkat. "Kenapa? Lo tersaingi?" tanyanya tidak habis pikir. Entah alasan apa yang membuat Diana begitu membencinya.

Wajah Diana merah padam. Antara malu karena kenyataan itu dan tersinggung diejek demikian. "Dasar benalu."

Tidak tahan lagi, Cila tersulut emosi juga. "Maksud lo benalu? Karena gue tinggal di rumah lo?" tanyanya tidak terima. Cukup sudah kediamannya selama ini.
Membiarkan Diana terus-terusan menindas juga tidak baik. Hanya karena ingin menghargai Bibi Vini yang baik padanya, bukan berarti harus merendahkan diri sendiri.

Tidak seperti biasanya, Diana terlihat murka sekali. "Itu lo tau. Orang tua lo sengaja ninggalin di sini—"

"Jangan bawa orang tua gue," potong Cila tegas. Tidak terima kedua orang tuanya menjadi bahan kemarahan Diana. Meski kenyataan itu benar. Benci sekali mendengarnya dari orang lain, terlebih sepupu yang mengetahui kehidupannya luar dalam.

Leona dan Grace sampai melongo melihat pertengkaran di hadapan mereka, terlihat dari ekspresi terkejut mereka.

"Lo ngerebut mama gue!" jerit Diana. Suaranya bergetar, akhirnya ia mengungkapkan kekesalannya.

Mata Cila membulat. Tidak tahu harus bersikap bagaimana. Memang benar Bibi Vini baik padanya.

"Pasti ngerasa hebat lo ambil semuanya," ungkap Diana dengan tangan bersedekap. Sempat berdecih untuk mengungkapkan perasannya.

"Gue? Ambil semuanya?" tanya Cila sangsi. Tidak pernah terbesit dalam pikirannya untuk mengambil semua hal yang diinginkan Diana.

Tawa Diana menggema. Dibuat-buat dan terdengar penuh emosi. "Lucu banget. Garing tau nggak."

Diana menyuruh Leona dan Grace untuk memegang Cila. Keduanya sempat tertegun sejenak. Pasalnya, gadis itu tidak pernah bersikap seperti ini. Apalagi Grace, dia ingin protes tetapi urung karena wajah Diana terlihat seram.

Tak ada pilihan selain menuruti Diana, Grace mengungkung lengan Cila ke belakang tubuh. Sempat mendapatkan penolakan. Karena Cila dikuasai emosi, dia tidak sempat mengelak.

"Jangan pernah bertingkah seolah nggak tahu apa-apa!" desis Diana. Dia berjalan keluar tanpa menoleh kembali.

Cila terduduk di bangku rusak karena dorongan Grace. Terkejut melihat sepupunya yang terlihat penakut bisa semurka itu, sempat terpikir apa yang dikatakan Diana padanya.

"Dah. Kita pergi dulu ya," ujar Grace mengucapkan kata perpisahan. Tak lupa tangannya melambai ke arah Cila, memamerkan senyuman tiga jari.

"Sampaiin salam gue sama tikus. Oke," tambah Leona dengan telunjuk memutari setiap sisi ruangan sempit itu. Lantas dia bergidik sendiri membayangkan penghuni gudang.

Keduanya pergi mengikuti jejak Diana yang lebih dulu tertelan pintu.

Cila mengurut kening. Kepalanya mendadak pening. Mengembuskan napas berulang, dia mengecek gawai yang bergetar.

***

"Ke mana nih anak?" tanya Angga pada dirinya sendiri. Berkali-kali menelepon Cila tetapi tidak ada jawaban apa pun. Dia sudah mewanti-wanti Cila agar menunggunya waktu pulang. Meski tahu bakal diabaikan.

Hampir satu jam dia menunggu di gerbang dalam. Tetapi, tidak melihat cewek yang rambutnya selalu dicepol lewat.

Baru saja Angga ingin berjalan ke parkiran, matanya menangkap tiga orang gadis berjalan ke arahnya. Dari arah jalannya, ia tahu mereka dari gedung serbaguna. Tidak ada yang mencurigakan sebenarnya. Jika saja dia tidak ingat siapa yang selalu mengerjai Cila sepanjang sekolah.

Sengaja menunggu. Angga heran karena Diana hanya melengos saat melewatinya. Tidak seperti biasanya. Apalagi wajah gadis itu memerah.

Sempat menahan lengan Leona yang ingin pergi, dia bertanya, "Kalian dari mana?" tanyanya.

Leona terkejut karena dinotice Angga. Padahal, bisanya selalu dikasih wajah datar doang. "Habis dari gudang," jawabnya gugup.

Sontak saja jawaban itu membuat Angga berpikir jauh. "Lo, ngerjain Cila?" Angga melepas pegangan tangannya demi menimbulkan efek intimidasi.

Leona sukses tersentak dengan ucapannya sendiri. Buru-buru dia menggeleng sebagai jawaban. "Ih, enggak. Ngapain ngerjain dia," jelasnya gagap.

"Iya. Kita dari ruang kepala sekolah tadi." Suara lain terdengar. Grace mencoba mengalihkan perhatian Angga. Berpandangan dengan Leona karena jawaban mereka tidak singkron.

"Eh maksud gue dari ruang kepala sekolah!" Leona meralat ucaonnya cepat-cepat.

Angga menatap keduanya tajam.  Meski tanpa kata, sanggup menciutkan nyali Leona dan menahan elakan Grace.

"Kita pergi dulu, yuk," ucap Grace lalu mendorong Leona agar pergi dari sana. Mengutuk dalam hati kenapa bisa keceplosan seperti ini. Habislah nasib mereka esok hari.

Angga berjalan cepat ke arah gedung serbaguna. Diabaikannya sapaan dari anak-anak kelas tiga yang baru pulang karena kelas tambahan. Disempatkannya menelepon gadis itu. Panggilannya tersambung tetapi tidak ada respon.

"Kerjaannya bikin khawatir mulu," gumamnya kesal, pada dirinya sendiri dan pada gadis yang tiba-tiba muncul dari baik gedung.

Angga tidak bisa bernapas lega karena menemukan Cila yang kacau. Matanya sembab dengan langkah lesu. Benaknya bertanya-tanya apa yang baru saja terjadi.

___________

MY BAD DAY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang