Chapter 5

48 6 0
                                    

"Baiklah anak-anak. Ibu akhiri pelajaran hari ini." Bu Lidya, guru Kimia itu merapihkan bukunya, bersiap keluar kelas. "Jangan lupa dikerjakan pr-nya," ingatnya sekali lagi.

Ketika melewati bangku Cila, dia berhenti. "Cila. Bisa ikut ke ruangan Ibu?" tanyanya membuat Cila gelagapan. Kegiatannya membalas semua chat yang menghujatnya jadi terhenti.

Cila berdehem. "Baik, Bu." Sebelum mengekor Bu Lidya, dia sempatkan memerintah Fena. "Tolong terusin, ya."

Fena mengangguk semangat. Paling senang kalau disuruh merangkai kata. Apalagi, kelas akan sepi kalau tidak ada Cila. "Siap."

Melewati ruang kelas sebelas yang rata-rata penghuninya sudah keluar. Lorong itu tersambung ke kelas sepuluh. Di bawah tangga tepat, ruang guru terlihat. Cila masuk setelah mengetuk pintu tiga kali.

"Silakan duduk dulu," ujar Bu Lidya lalu menghampiri meja miliknya.

Cila menelengkan kepala cowok yang tengah memejamkan mata di sofa. Kedua tangannya berlipat dengan punggung bersandar ke belakang. Gadis itu berdecih. "Santai banget kayak di pantai," ujarnya tanpa menahan suara.

Angga membuka mata. Terhenyak ke belakang hingga punggungnya membentur pinggiran sofa. Meringis, mengundang tawa Cila.

"Diem, lo," ujarnya memperingatkan. Bukannya diam, Cila malah tambah ngakak.

Gadis itu buru-buru menutup mulutnya merasakan hawa peperangan dari Angga. "Gue tebak. Lo pasti lagi nunggu persetujuan laporan cheers."

Angga mendorong dahi Cila dengan telunjuk. Lasernya ditunjukkan kembali. "Gue basket, bukan Cheers."

"Ya. Ya. Sama Aja. Sama-sama di lapangan, kan?" tanyanya polos. Matanya mengedip lucu, membuat Angga frustasi ingin memutilasinya. Situasi itu terselamatkan karena guru kimia Flover datang.

"Nah, anak-anak. Dua bulan lagi ulang tahun Kota Jakarta. Tanding basket antar sekolah ditiadakan. Penggantinya adalah lomba cerdas tangkap." Bu Lidya menjeda ucapannya. "Ibu sudah meminta Fajar dan Angga seperti sebelumnya, tetapi Fajar tidak bisa karena sudah mewakili lomba KIR."

Fajar adalah juara satu pararel. Diikuti dengan makhluk di sampingnya dan dia sendiri. Cila merasa tidak enak dengan tatapan memohon Bu Lidya.

"Jadi, Ibu harap Cila bisa menggantikannnya."

"Nggak bisa, Bu!" Refleks, Cila mengangkat tangan. Persis kalau lagi dikasih pertanyaan guru. Angga tersenyum mengejek melihat kelakuannya. "Saya, 'kan ikut lukis juga."

Bu Lidya tersenyum. "Lukis sudah diwakili Seno. Ibu sudah tanya sama pelatih ekskul kamu."

Angga tersenyum mengejek. "Coba cari kandidat lain, Bu. Sepertinya dia nggak sanggup," tandasnya, balas dendam.

Cila melirik judes. Harga dirinya disenggol terang-terangan. "Bukannya lo yang takut. Beruntung aja lo dapet juara pararel dua, ya. Jangan lagak," bisiknya penuh penekanan.

Angga cuek bebek. Berniat bangkit karena urusannya sudah selesai di sini.

"Saya mau, Bu," setuju Cila dengan senyum lebar. Hitung-hitung pamer ke Mama biar diijinkan ke Florence bersama mereka.

"Baiklah. Ibu akan kasih kisi-kisinya, ya."

Mereka pamit. Satu dengan wajah tidak percaya, satu dengan wajah penuh ide-ide jahil. "Lo, pararel tiga?" tanya Angga. Bu Lidya bilang seperti itu ketika berbicara tentang pengganti Fajar.

Cila membusungkan dada. "Baru tahu? Siap-siap aja semester ini bakal gantian."

Ekspresi lempeng di depannya membuat Cila sangsi. Tidak ada tanda-tanda terkejut, malah dia tampak tidak peduli. Mungkin hanya Cila yang menganggapnya siangan.

MY BAD DAY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang