48

299 46 12
                                    

Haikal menatap lurus-lurus jalanan di depannya. Tidak terlalu ramai karena memang hujan tengah mengguyur sisa sore hari itu. Pandangannya memang terlihat begitu fokus, tapi tidak dengan pikirannya, sampai membuat seseorang yang sejak tadi duduk disampingnya itu khawatir.

"kak" panggil Sabia sambil menyentuh lengan kiri Haikal.

"hm? Kenapa?" tanya Haikal bingung karena tiba-tiba seperti di tarik kembali ke kenyataan setelah bermenit-menit hanyut dalam lamunannya.

"kakak dari tadi nggak ngerespon omongan Bia. Kakak masih kepikiran Saddam tadi ya?" tanya Sabia memastikan.

Haikal terdiam menatap Sabia lamat-lamat sebelum kembali mengalihkan fokusnya pada jalanan dihadapannya.

"iya kakak kepikiran" balas Haikal jujur.

Sebenarnya, sekitar dua jam yang lalu Haikal dan Sabia memang sudah mengatur janji untuk bertemu Saddam demi meluruskan benang kusut yang mengikat mereka bertiga. Tentu bukan sesuatu yang mudah untuk meyakinkan hati ketiganya, mereka punya rasa takut, rasa kesal, dan rasa-rasa tanpa nama lain yang masih tertinggal di beberapa sudut hati mereka. Membuat mereka enggan untuk saling bertatap muka karena takut rasa itu akan menyakiti mereka dengan perlahan.

Tapi dengan segala macam usaha Haikal setelah meyakinkan dirinya sendiri lalu membujuk Sabia dan Saddam, akhirnya mereka memilih untuk bertemu.

Silahkan bayangkan bagaimana canggung ketika ketiganya duduk mengelilingi sebuah meja kecil di kafe donat kenamaan dekat kampus mereka. Apalagi beberapa menit pertama setelah kehadiran Saddam yang sepertinya sengaja datang terakhir itu hanya dihabiskan dengan basa-basi tentang kuliah masing-masing. Sial memang ketika Haikal tau dia dan Sabia bahkan bukan dua orang yang pintar mencari topik obrolan maupun bisa mencairkan suasana. Untung saja Saddam masuk dalam kriteria manusia yang cukup peka untuk menarik alasan mereka bertemu dalam mimbar obrolan.

Haikal tau Saddam tengah berpura-pura menjadi seseorang yang berlapang dada hari ini, terbukti dari bagaimana ia masih bisa menjaga sikapnya dengan tenang ketika Sabia mulai bercerita dan menjelaskan semua isi hatinya, tentang bagaimana gadis itu selama ini menyukai Haikal, tentang bagaimana Sabia selama ini menempatkan Saddam sebagai salah satu orang yang berharga bagi hidupnya namun tak pernah bisa memasuki hatinya, tentang serentetan permintaan maaf dan penyesalan karena selama ini seolah memberi harapan palsu dan berujung goresan luka hati pada Saddam.

Sabia menjelaskan semuanya dengan nada suara bergetar dan air di pelupuk mata. Baikan Haikal dan Saddam tentu bisa dengan jelas melihat bagaimana penyesalan itu menghimpit hatinya, yang mau tidak mau membuat keduanya ikut merasakan sakit dan pilu. Dan untuk pertama kalinya baik Saddam maupun Haikal bisa melihat bagaimana Sabia membuang jauh wajah tenang dan sedingin esnya untuk digantikan dengan kesedihan dan bulir air mata.

Dan yang membuat Haikal merasa menjadi satu-satunya pecundang di meja itu adalah ketika Saddam pada akhirnya memaafkan, meski ada sederet kata-kata yang disampaikannya penuh dengan luka dan emosi yang memang sengaja di muntahkannya. Saddam dengan segala lukanya pada akhirnya memaafkan meski meminta jeda pada Sabia jika memang ingin membangun ikatan persahabatan mereka kembali lagi, Saddam bilang ia butuh waktu, ada sesuatu yang hilang dan ia perlu mencari penggantinya, ada yang rusak dan perlu ia benahi.

Untung saja Sabia mengerti, dia bahkan lebih dari sadar bahwa Saddam tetap akan menjadi sahabatnya. Yang ia butuhkan hanya memberi sedikit jarak untuk senyembuhkan beberapa luka yang memang tanpa sengaja Sabia goreskan. Dan nanti jika luka-luka itu mengering Sabia yakin Saddam akan kembali menjadi bagian dari kehidupannya, kali ini di tempat yang sudah lebih jelas.

Sementara untuk Haikal, pada akhirnya ia juga bisa mengucapkan maaf. Walau awalnya permintaan maaf itu justru menghadirkan tawa pendek keluar dari mulut Saddam.

ιστορία - ISTORIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang