01. atap

19.1K 2.7K 322
                                    

Apa lagi gunanya hidup kalau jiwamu sudah mati?

Apa lagi gunanya hidup kalau jiwamu sudah mati?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

*****
















Maret 2019

Sendirian, sedih, hancur.

Berdiri di atap bangunan rumah sakit yang entah berapa puluh meter dari permukaan tanah, Tian menggeleng kalut dalam lamunan. Pikirannya antara kosong dan berputar-putar pada arus yang sama. Intinya, dia ingin mati saja.

Bukan, bukan ini yang mereka janjikan saat Tian dan teman-temannya menjadi pemenang audisi band beberapa tahun yang lalu. Popularitas, publisitas, apresiasi, kesejahteraan, kurang lebih itu yang harusnya Tian dapatkan sebagai seorang bintang. Seperti yang orang-orang bilang; siapa sih yang nggak mau jadi artis?

Tian tersenyum tipis mengingat senyuman bahagia keluarganya saat ia dan teman-teman band-nya sudah menandatangani kontrak dengan salah satu label rekaman paling terkenal di negeri ini. Semua bahagia saat itu, yakin kalau kontrak tersebut adalah awal dari kesuksesan-kesuksesan lain yang akan mereka raih. Tapi kenyataannya tidak semulus itu.

Ya, memang menyenangkan ㅡwalaupun sangat melelahkan. Pernah membaca tentang pengalaman menjadi trainee di industri hiburan luar negeri? Di negara kita ini juga sama saja kok. Benar, industri musik tidak bercanda soal jam latihan tidak manusiawi yang menuntut kesempurnaan. Itu pun belum tentu juri audisi memberi kesempatan untuk debut. Sangat berat, tapi demi mimpinya Tian menjalani itu semua dengan penuh harap. Dia merasa masa latihan-nya dulu jauh lebih melelahkan daripada setelah debut. Tapi...

Cih, debut.

Menyenangkan, kan, akhirnya debut sebagai artis? Ya, tentu saja.

Semicolon, nama itu sangat berarti. Masa bodoh dengan pendapat orang-orang yang bilang nama band Tian seperti obat pelancar buang air besar. Yang jelas Semicolon adalah segalanya untuknya. Sebenarnya arti Semicolon itu filosofi untuk orang-orang yang berani melanjutkan hidupnya saat depresi, mereka ingin bermusik untuk mengobati jiwa-jiwa yang menyimpan luka.

Ironis sekali, sekarang bahkan Tian yang merasa depresi dan tidak ada yang bisa menolongnya. Mana bisa musik mengobati rasa pedih yang menggerogoti jiwanya? Obatnya cuma mati, begitu yang ia pikirkan.

Nama-nama anggota grup itu selain dirinya berkelebatan di benak Tian. Dari yang lebih tua darinya sampai yang jauh lebih muda; Theo, Naka, Mahesa, Jenandra. Mereka sudah seperti keluarga kedua untuknya ㅡmungkin agak berlebihan, tapi itulah yang Tian rasakan karena seluruh keluarganya ada jauh di Jogja. Ia tidak peduli soal bagaimana pandangan anggota lain terhadapnya, tapi toh sepertinya semua menghargai dan menyayanginya seperti keluarga juga. Rasanya seperti hidup bersama banyak sepupu di perantauan.

Bagaimana kira-kira kalau Semicolon berlanjut tanpa dirinya?

Tian tertawa parau. Pasti semuanya akan baik-baik saja, begitu pikir Tian. Kalaupun Tian mati, masih ada banyak vokalis yang bisa menggantikannya. Tian yakin, tidak akan butuh lama bagi dunia ini untuk melupakannya. Coba kalian pikirkan esensi dari seorang idola, spotlight untuk mereka tidak abadi. Jaman terus berubah, bintang baru selalu bermunculan. Lama-kelamaan yang lama akan tergeser, tersingkirkan, lalu terlupakan.

Penggemar juga tidak selamanya ada pada tahap kehidupan yang bisa sepenuhnya mencurahkan perhatian pada idolanya. Mereka juga menua, akan sibuk dengan kehidupannya, akan melupakan. Pada dasarnya semua manusia diciptakan untuk saling menciptakan memori, mengenang, dan melupakan ㅡsemua hanya soal waktu.


Angin yang dingin dan kering membuat tubuh Tian agak oleng saat berjalan menuju tepi rooftop rumah sakit terbesar di kota ini, tempat dia sempat opname beberapa hari. Angin musim hujan. Kota Jakarta tampak lumayan indah dari atas sini, tapi mungkin surga jauh lebih indah? Tian tersenyum sarkastik ㅡmemangnya dia pantas masuk surga setelah semua yang ia lakukan di dunia?

Dalam keadaan seperti ini cuma orang bodoh yang berjalan-jalan di rooftop. Orang normal akan memilih diam di ruangan yang hangat, minum teh, atau melakukan apa saja yang tidak mengancam nyawa mereka. Itu bagus ㅡtidak akan ada yang akan menghentikan Tian. Sudah waktunya... Akhirnya waktunya tiba... Sebentar lagi, tunggu sebentar lagi...

Satu jam yang lalu Tian kabur dari manajernya setelah pemeriksaan di laboratorium ㅡkasihan, pasti orang itu sedang pusing mencarinya. Tian sekali lagi hanya tersenyum membayangkannya. Dia merasa bersalah, tapi tidak apa-apa. Sebentar lagi rasa itu akan hilang. Dia tidak akan merasakan apa-apa lagi.

Menanjak satu beton lebih tinggi, ia meringis. Telapak tangan Tian meraba lututnya yang terasa ngilu.

Sakit. Ya, memang sakit. Bukan hanya lututnya. Tian merasakan organ tubuh lainnya sakit. Kepalanya juga sakit. Hatinya, jiwanya, itu yang paling terasa sakit. Ia merasa kotor, hina, dilecehkan.

Air mata menetes di wajah Tian yang datar tanpa ekspresi, padahal katanya 'boys don't cry'.

Mati rasa. Ini semua terlalu kompleks untuk diekspresikan secara fisik.

Pradaswara Music, nama label rekaman yang mewujudkan mimpi Tian ㅡsekaligus menghancurkannya dalam satu pukulan. Bahkan Tian belum mengerti kenapa harus dia? Apa pengorbanan semacam ini wajar? Pengorbanan yang melukai tubuh dan harga dirinya?

Ya, menurut mereka ini biasa di dunia entertainment. Bukan hanya dia yang mengalami perlakuan semacam ini, banyak orang-orang seprofesi dengannya yang melalui hal serupa. Apa lagi perempuan, mungkin jauh lebih parah. Tian hanya perlu beradaptasi dengan sisi gelap dari gemerlapnya kehidupan seorang idola. Tapi tidak, Tian tidak mau. Dia tidak bisa menerima semua ini.

Tian melompati pembatas besi terakhir di tepi rooftop itu. Kakinya ngilu, tapi masa bodoh. Iya kan? Tangan kurusnya masih berpegangan erat pada batang besi sementara ia memandang kota Jakarta dari ketinggian lantai 27. Kota yang indah, mimpinya pernah menjadi nyata disini. Terlalu indah untuk dianggap jahat. Tian tak menyangka mimpi buruknya pun akan ia temukan di kota ini. Sekarang ia mengerti kenapa banyak pekerja dunia hiburan di dunia yang mengakhiri hidupnya, ternyata memang rasanya seberat dan sememalukan ini. Harga dirinya sudah ternoda, dia ingin mati saja.

Apa pun tidak ada artinya sekarang, dunia Tian rasanya sudah runtuh.

Untuk apa juga tetap hidup kalau jiwamu sudah lama mati?

Orang bisa saja sudah mati walaupun raganya masih hidup. Perlahan Tian mengendurkan pegangannya, menggeser kakinya lebih dekat menuju udara bebas. Sekali lagi angin penghujung musim hujan menampar-nampar wajahnya yang masih agak basah. Sudah waktunya. Waktunya mengakhiri semuanya.

Tian mengingat wajah keluarganya dan semua orang yang ia sayangi dengan mata terpejam. Ia merasa bersalah harus berakhir menyedihkan seperti ini, tapi ini pilihannya. Lebih baik mati, setelah mati Tian tidak akan merasakan semua rasa sakit ini. Ayo, tahan sebentar lagi, jerit Tian bahagia dalam hati.

Ia melepas pegangannya pada besi pembatas seiring dengan terjangan angin yang sangat kencang. Sambil mengucapkan;

Selamat tinggal, dunia.









*Author's note*

Halo, karena cerita ini udah pernah diterbitkan dalam bentuk fanfiction, jadi sengaja dipersiapkan untuk update setiap sore selama Ramadhan 2020.
Rating 15+ karena ada scene skinship dan topik yang bisa dibilang cukup dewasa (tanpa adegan eksplisit).

Thanks for reading!
Jangan lupa follow + vote + comment + share kalau kamu suka Semicolon!

©pinkishdelight
@pinkishbooks on Instagram
@pinkishdelight on twitter

SemicolonWhere stories live. Discover now