27. cookies

3.4K 840 35
                                    

Mata Tian mengawasi sosok yang tampak selalu buru-buru itu. ya, siapa lagi kalau bukan gadis yang beberapa hari yang lalu tidak sengaja bertabrakan dengannya. Setelah secara kebetulan bertemu lagi di jam yang sama dengan orang itu, Tian rasa dia belum lama pindah ke apartemen ini. Sekarang duduk di dalam minimarket menghadap ke luar menjadi rutinitas Tian setiap sore, di jam yang biasanya perempuan itu lewat menuju apartemen.

Aneh, pikir Tian. Cara berpakaian dan bahasa tubuhnya memang beda dengan Agnel saat hidup di tubuh Anna. Tapi mereka mirip sekali. Seandainya Anna masih hidup, mungkin orang-orang akan percaya kalau orang ini mengaku mereka bersaudara. Kelihatannya dia lebih muda dari Anna sih, dan penampilannya seperti orang biasa. Bukan keturunan bangsawan seperti Anna.

Sebagian dari diri Tian merasa konyol dan kurang ajar menguntit orang setiap hari seperti ini. Namun sebagian dirinya yang lain penasaran seTiangah mati pada orang yang bahkan tidak dikenalnya itu. Toh Tian tidak bermaksud apa-apa, murni hanya ingin mengamati. Tidak ada keinginan atau khayalan untuk mengenal orang itu. kalau tidak hati-hati, bisa saja Tian dianggap melakukan pelecehan. Kata itu masih membuatnya trauma entah sampai kapan.



SRAAAKKKK

BRUKKKKK

BRRRRRMMMMMM

Mata Tian terbelalak, bahkan ia sampai reflek berdiri melihat apa yang baru saja terjadi di seberang minimarket. Perempuan yang ia kuntit di minimarket ini hampir setiap hari, jatuh terduduk di trotoar sambil memegangi leher. Tian melihat dengan jelas apa yang baru saja terjadi. Motor yang ditumpangi dua orang, menyerempet gadis itu sampai jatuh lalu kabur. Jalanan sedang tidak terlalu ramai, orang-orang yang kebetulan ada di sana tampak meneriaki premotor tadi, memang rampok sepertinya.

Secara reflek juga Tian langsung berlari keluar dari minimarket. Dia menghampiri korban perampokan yang tampak sangat shock. Tidak teriak, tidak menangis, hanya menatap nanar ke jalan raya. Buku-buku yang dibawanya dengan tas jinjing berantakan di trotoar.

"Hey, kamu nggak apa-apa?" tanya Tian pada gadis itu sementara orang-orang membantu memunguti barang-barangnya yang berceceran di jalan.

"Mana mungkin nggak apa-apa, saya baru dijambret," ujar gadis itu lemah.

"Ada yang luka?" Tian memeriksa lawan bicaranya. "Ah... itu lehernya agak lecet."

"Nggak apa-apa. Sakit sedikit, saya bisa lapor polisi," ujarnya, dengan payah berusaha berdiri. "Ah!"

Sebelum orang itu ambruk lagi, Tian membiarkan lengannya dijadikan pegangan. Sepertinya kakinya terkilir, dia menggerutu.

"Maaf, kamu tinggal di apartemen itu kan? Ah—jangan salah paham, saya cuma kebetulan ingat kita pernah papasan beberapa kali," kata Tian, menunjuk gedung apartemennya.

Cara perempuan ini menatap Tian benar-benar mengingatkannya pada Agnel, dia bergumam. "Hm... iya juga, kayaknya pernah liat. Iya, saya tinggal di sana."

"Kayaknya kamu terkilir, ayo saya bantu sampai apartemen,"tawar Tian.

"Eh? Apa nggak bikin repot?"

"Nggak, kebetulan saya juga mau pulang."

Dengan agak canggung Tian memapah tetangga satu apartemennya, satu tangan lagi menenteng tas berisi buku. Ada gantungan yang dipasang di tas dengan tulisan kecil hampir tak terbaca; Natasya. Jadi namanya Natasya? Sepertinya masih kuliah.

"Nggak ada yang diambil lagi kan selain kalung?" tanya Tian untuk basa basi.

"Kayaknya nggak ada."

"Kamu tinggal di lantai berapa?"

"Tiga."

Mereka masuk ke dalam lift diikuti tatapan beberapa orang yang kebetulan berpapasan. Tapi tidak ada yang terlalu peduli, mereka hanya melihat sekilas saja. Tian bingung harus memperkenalkan diri atau tidak. Sepertinya Natasya ini tidak tahu dia selebriti, atau belum sadar.

"Kamu masih kuliah?" tanya Tian lagi.

"Ya, semester akhir."

"Di kampus yang nggak jauh dari sini itu?"

"Iya. Anu- rumah saya yang 313," dia menunjuk salah satu pintu apartemen.

"Oke."

Tian membawa Natasya sampai ke depan pintu apartemennya.

"Ng—ada lagi yang bisa saya bantu?" tawar Tian.

"Nggak usah, terima kasih," Natasya membungkuk sopan. "Saya bisa telepon ibu saya."

"Ah, oke. Ini bukunya," Tian menyerahkan jinjingan.

"Oh iya, nama saya Natasya. Kamu tinggal di apartemen nomor berapa? Siapa tau kapan-kapan saya mau berterima kasih," ujar Natasya canggung.

"Saya di lantai saya di 1003. Tapi nggak usah repot-repot," tolak Tian dengan halus. "Saya permisi."

Tian membungkuk lalu berbalik meninggalkan tempat itu, ia langsung masuk lift sementara Natasya baru sadar dirinya lupa menanyakan nama tetangga baik yang sudah membantunya pulang dalam keadaan pincang. Sepanjang jalan menuju apartemennya sendiri Tian melamun. Mirip sekali dengan Agnel. Beda, tapi mirip. Ah—sudahlah, tidak usah dipikirkan.




Namun mungkin garis pertemuan mereka tidak berhenti sampai situ.

Dua hari kemudian, saat baru pulang dari terapi untuk cedera kakinya, Tian disambut sebuah kardus di depan pintu apartemennya. Saat dibuka, isinya empat toples cookies. Ada secarik pesan di antara toples cookies, tulisannya berantakan sekali. Tapi Tian tersenyum saat membacanya;

Terima kasih buat yang waktu itu.
Cookies ini bikinanku sendiri, semoga kamu suka!

Dari: Natasya
Semoga kapan-kapan bisa ketemu lagi















*****

Saat takdir tidak berjalan sesuai ekspektasi, jangan putus asa atau menyerah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat takdir tidak berjalan sesuai ekspektasi, jangan putus asa atau menyerah. Kamu punya pilihan untuk tetap berkembang dan jadi pemenang lewat jalan yang berbeda.

*****

Thanks for reading!
Jangan lupa follow + vote + comment + share kalau kamu suka!

©pinkishdelight
@pinkishbooks on Instagram
@pinkishdelight on twitter

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang