21. hampir

2.8K 837 81
                                    

Perpisahan adalah hal yang mutlak terjadi sebagai bagian dari takdir kehidupan.

Perpisahan adalah hal yang mutlak terjadi sebagai bagian dari takdir kehidupan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*****















"Astaga! Kaget!"

Alih-alih menyembunyikan rasa kagetnya, Tian membiarkan Agnel melihat betapa terkejutnya ia karena suara panggilan gadis itu. Tapi sebisa mungkin Tian akan bersikap seperti biasa, seolah dia tidak pernah melihat bekas luka aneh di betis Agnel. Biarlah nantinya Agnel yang menjelaskan sendiri.

"Kenapa?" tanya Agnel, sadar ditatap cukup lama.

Mata Tian segera mengalihkan pandang. "Ahㅡ bukan apa-apa. Kenapa sih hobi banget bikin orang kaget??"

"Maaf. Aku cuma bingung tiba-tiba kamu nggak ada," sahut Agnel sambil memegangi kepala. "Aneh, minuman itu bikin agak pusing."

Melihat wajah Agnel yang masih kemerahan dengan celah bibir terbuka, Tian mendadak ingat apa yang sudah dia lakukan kemarin. Dan, ya, langsung salah tingkah. Tian harap gadis di hadapannya tidak ingat dan tidak akan mengungkit kejadian itu selamanya.

"Ehㅡ umㅡ anuㅡ mau sarapan sekarang? Aku mau bikin sup," ujar Tian.

"Nggak," geleng Agnel. "Aku butuh air, mau mandi."

"Tumben makanan ditolak," gumam Tian sambil memperhatikan Agnel berjalan ke kamarnya sambil masih mengusap-usap kepala. "Terserah lah."

Setelah itu Tian menyibukkan diri dengan benar-benar membuat sup. Dan bahkan sampai ia selesai memasak lalu sarapan sendiri, Agnel belum keluar juga dari kamarnya. Seketika kecurigaan dan rasa penasaran Tian timbul lagi.

Sedang sibuk mengurus luka aneh itu kah Agnel?

***











"Hey! Apa-apaan??"

Tian berjengit kaget merasakan sepasang tangan memeluk perutnya dari belakang. Untung gelas di tangannya tidak terlempar saking terkejutnya. Entah kerasukan apa, Agnel memeluknya ㅡsaat sedang cuci piring begini? Dan berlawanan dengan reaksi Tian, dia gadis itu Tenang-Tenang saja tanpa melepas pelukannya.

"Ka-kamu ngapain sih?" tanya Tian gugup.

"Peluk~" jawab Agnel datar.

Tian berdecak ㅡsiapa yang bilang mereka sedang akrobat?

"Bukan- maksudnya- kenapa tiba-tiba main peluk aja?" Tian bertanya lagi.

Agnel melepas lingkaran tangannya. Dia menatap Tian dengan sorot mata bingung dan polos. "Kan biar kayak di TV pelukan sambil cuci piring," katanya.

Wajah Tian memerah mendengar kalimat itu keluar dengan entengnya. "K-kata siapa? Siapa yang ngajarin?" cetus Tian.

"Dia," tangan Agnel menunjuk televisi layar datar di dinding apartemen. "Setiap drama Korea yang aku tonton, jalan ceritanya gitu."

Tian cengo menatap televisi yang tidak dihidupkan. "Ish- kamu nonton drama apa coba," decaknya salah tingkah. "Jangan bikin kaget lagi, aku mau cuci piring dulu sampai selesai."

Mendengar penolakan, Agnel menjauh tanpa menjawab. Ia berjalan ke depan televisi, tak berapa lama kemudian menyalakan benda itu. Dari sudut matanya, Tian melirik diam-diam. Aneh, tapi Tenang dan polos agak dekat ke bodoh. Bagaimana bisa Tian merasa takut pada gadis itu?

Padahal beberapa saat yang lalu baru saja Tian merasa luar biasa penasaran, kaget, dan agak ngeri pada perempuan misterius itu. Akal sehat Tian seakan sengaja pura-pura tidak tahu dan mengabaikan hal itu begitu saja. Walaupun sejujurnya, bayangan Tentang luka aneh itu terus terputar di benak Tian.








"Maaf," ujar Tian, menyodorkan sup hangat pada Agnel setelah selesai mencuci piring. Ia duduk di sebelah perempuan yang sekarang menatapnya bingung.

"Kenapa tau-tau minta maaf?" tanyanya heran.

Tian tidak bisa langsung menjawab, karena dia juga bingung alasan dari permintamaafannya. Lagi-lagi ia merasa konyol. Ada apa dengan dirinya belakangan ini? Kikuk di depan wanita?

"Anu- itu, kemarin- yah, pokoknya maaf. Harusnya aku nggak berbuat sembarangan," ucap Tian dengan cengiran awkward.

Agnel menatap lawan bicaranya, mendengarkan dengan baik sebelum menanggapi singkat;
"Oh."

Pandangan gadis itu beralih lagi pada televisi, sementara Tian masih tersenyum kaku. Perlahan bibirnya mengerucut, agak kesal.

"Oh? Cuma oh?" tukasnya pada Agnel yang sedang menyendok yoghurt.

Gadis itu menoleh. "Kenapa? Jawabannya salah?"

"Uh- ya enggak sih," Tian berdecak, menggaruk tengkuk.

"Terus?"

"Anu- cuma- hey, kamu udah biasa ya skinship sama laki-laki?" tuduh Tian.

Agnel tampak berpikir sebelum menggeleng yakin. "Kalau yang kayak di drama, baru sama kamu," jawabnya dengan senyum. "Kenapa?"

Lagi-lagi Tian butuh beberapa detik untuk bereaksi. Ia sudah tahu kalau selama ini Agnel aneh, tapi masa dia juga tidak punya perasaan? Ah- apa Tian baru saja berharap? Kekonyolan macam apa lagi ini?

"Kok diem?" Agnel memiringkan kepalanya di depan wajah bingung Tian.

"Nggak, bukan apa-apa," kilah Tian akhirnya.

"Oh," tanggapan pendek lagi.

Hm... sudah biasa, pikir Tian ㅡmemaklumi. Layar televisi menampilkan adegan mengharu-biru antara aktor dan aktrisnya. Tian lupa judul dramanya, tapi ini Tentang puteri duyung. Dia menoleh pada perempuan di sampingnya. Jangan-jangan Agnel bukan zombie, tapi puteri duyung? Damn, Tian makin penasaran.

"Semua drama pasti ada adegan perpisahan, iya kan?" ujar Agnel, memunjuk layar televisi. "Nah, kita sebentar lagi sampai di bagian itu."

"Hah?" ucap Tian - walaupun sebenarnya otaknya sudah sedikit mencerna sesuatu. Agnel menggeser duduknya supaya menghadap Tian.

"M-mau apa?" Tian langsung gugup.

"Kamu," Agnel menyentuh pundak Tian dengan telapak tangannya, lalu berpindah pada dadanya sendiri. "Dan aku. Kita sebentar lagi sampai di bagian berpisah. Kamu nggak lupa kan?"

Benar rupanya dugaan Tian. Ternyata Agnel memang bermaksud menyinggung batas waktu kesepakatan mereka yang hampir habis.

"Tapi itu kan cuma di drama. Kita hidup di kenyataan," Tian tertawa kecil. "Walaupun perjanjiannya selesai, bukan berarti kita nggak bisa ketemu lagi selamanya kan?"

Please, jawab iya.

Atau setidaknya anggukan pun sudah cukup bagi Tian.

Tapi alih-alih mengiyakan, Agnel meletakkan tangannya di punggung tangan Tian. Ia tersenyum sebelum berucap lagi. "Tiga hari lagi," ujarnya. "Kamu harus punya keputusan yang pasti dalam tiga hari. Semua alasan untuk bertahan hidup udah aku tunjukkan semampunya, tapi tetap kamu ya paling berhak atas kehidupan itu."

Tian termenung, merasakan kehampaan aneh menggerogotinya. Ia hanya bisa membalas senyum itu. Dalam hati ia sadar, bagaimana pun dan apa pun yang terjadi ㅡAgnel akan pergi setelah Tian mengambil keputusan. Tidak bisa diganggu gugat.

Tidak akan bisa.












*****

Thanks for reading!
Jangan lupa follow + vote + comment + share kalau kamu suka Semicolon!

©pinkishdelight
@pinkishbooks on Instagram
@pinkishdelight on twitter

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang