12. alasan ke-empat

3.3K 1K 96
                                    

Kadang cuma kamu yang bisa memutuskan untuk mencoba bahagia atau tetap sembunyi dalam bayang-bayang gelap.

Kadang cuma kamu yang bisa memutuskan untuk mencoba bahagia atau tetap sembunyi dalam bayang-bayang gelap

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

*****











"Bullshit!"

Mata Tian refleks terpejam saat remasan kertas dilempar ke wajahnya. Ia tersenyum separuh, mengambil gumpalan kertas itu lalu membetulkannya walau tidak bisa kembali seperti semula. Kertas itu adalah hasil tes kesehatannya, vonis mengenai cedera kakinya yang mungkin tidak akan pernah pulih seperti semula.

Ia kemudian menatap dengan puas perempuan dengan penampilan glamour di depannya. Ya, Jessica Tan, yang lebih suka Tian sebut satan. Penyiksanya itu dengan mudah menyetujui permintaan Tian untuk bertemu di apartemen ini. Tapi sebelumnya Jessica tidak tahu Tentang keadaan budaknya yang sekarang tidak bisa dia pakai untuk bersenang-senang.

"Terserah," ucap Tian. "Toh ini hasil perbuatan kamu sendiri."

Jessica yang cantik dengan baju setelan mahal di hadapan Tian kemudian berkacak pinggang sambil mendengus kasar.

"Kamu sengaja kan? Ini pasti cuma akal-akalanmu buat menghindar. Ini pasti palsu."

Tian memutar bola mata. "Emang ada ya, orang yang mencelakai dirinya sendiri? Kamu tau sendiri karir saya terancam hancur, kamu pikir saya mau?"

Jessica terdiam. Dia mengakui dalam hati mungkin ini semua karena ulahnya beberapa bulan yang lalu. Selama ini dia memaksa Tian menjadi teman kencannya dan kadang memperlakukannya dengan kasar, apalagi kalau sedang berkumpul dengan para anggota sekte yang membawa budaknya masing-masing. Mungkin cedera ini memang karena dia terlalu liar.

"Oke," ujar Jessica Tenang. "Mungkin itu memang salahku karena terlalu keras. Aku minta maaf."

Tian terkekeh menghina. "Ketutunan mafia terkenal, Jessica Tan, minta maaf? Excuse me, master?"

Jessica mulai kehilangan kesabaran, dia menghampiri Tian yang masih duduk di sofa lalu mencekiknya dengan satu tangan.

"Jangan menguji kesabaranku," desisnya marah.

"Udah lah, lebih baik kamu pulang," ujar Tian malas dengan suara tercekat.

Cekikan Jessica mengendur. Dia menatap dalam-dalam kedua mata Tian, membelai wajah pria yang dicintainya. Walaupun ia memperlakukan Tian seperti mainan.

"I love you, Tian," ujarnya dengan ekspresi sedih yang Tian anggap psychotic.

Jessica lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Tian, namun Tian memalingkan wajahnya saat bibir mereka hampir bersentuhan. Tidak ada kata maaf. Tian ingin bebas dari penyiksanya.

"Shut the fuck up," ujar Tian jengah.

Mata Jessica terbelalak, dia merasa terhina. Wanita itu menghempaskan Tian lalu mengambil pistol kecil di sakunya. Kanㅡ sifat aslinya langsung tampak. Tian sudah tidak heran melihat semua itu. Bukan pertama kali juga Jessica mengancamnya begini.

Bangsat," desisnya. "Aku kasih kesempatan terakhir, tetap jadi budakku atau mati?"

Tian menatap Jessica tanpa rasa takut. Kedua ujung bibirnya tertarik membentuk senyum ㅡyang perlahan menjadi tawa yang bergema di apartement sepi miliknya.

"Lebih baik mati," jawab Tian santai. "Toh kalian udah ambil semua yang aku punya, tinggal nyawa yang belum."

Umpatan kembali terdengar dari mulut Jessica. Dia merasa terhina, diolok-olok oleh budaknya, mainannya sendiri. Dengan dada naik turun menahan marah, dia memasukkan kembali pistolnya ke saku.

"Oke, aku berbaik hati ㅡaku kasih kesempatan buat berpikir, satu bulan," ucapnya. "Lumayan lama, pakai waktu itu baik-baik."

Tian berdecak. "Satu bulan atau satu tahun, jawabanku bakal tetap sama. Enough is enough."

Mata Jessica menatap Tian tajam. "Kamu pasti berubah pikiran. You can't life without me."

"Siapa bilang?" cibir Tian, ia lalu bertepuk keras-keras dua kali ㅡpertanda memanggil Agnel yang sudah bersiap sejak tadi di dalam kamarnya.

Blak

Pintu kamar di seberang Jessica terbuka. Dari baliknya muncul Agnel dengan gaun tidur merah yang Tian berikan kemarin, memilin ujung rambutnya dengan ekspresi nakal yang dibuat-buat. Sumpah, dalam hati Tian sangat merasa bersalah mengajari Agnel yang tidak-tidak dan menyuruhnya melakukan ini. Tapi ini semua demi kebaikan.

"Ya, sayang?" tanya Agnel pada Tian.

"Sayang?" ulang Jessica dengan dahi berkerut ㅡjijik.

"See?" Tian menjawab ekspresi Jessica yang seakan-akan meminta penjelasan. "Udah lah, lebih baik kamu pulang."

Sementara Tian mati-matian menahan tawa, Jessica menatap sebal Agnel yang tersenyum bodoh di depan pintu dengan tatapan tak percaya. Emosinya pasti memuncak melihat Tian punya perempuan lain, apa lagi jauh lebih cantik daripada dirinya. Dengan marah Jessica meludah, lalu pergi sambil bersumpah serapah. Langkah kakinya dihentak-hentakkan sampai bergema di lantai.

Tawa Tian meledak beberapa detik setelah jeda pintu dibanting keras dari luar.

"Acting kamu parah, untung si brengsek itu percaya," kata Tian sambil menyeka air mata.

Agnel hanya tersenyum sambil memandangi Tian. Ia berjalan mengambil kardigan yang tersampir di kursi malas, langsung menutupi tubuhnya yang terbuka sesuai instruksi Tian sebelumnya.

"Apa?" tanya Tian salah tingkah karena Agnel terus menatapnya.

Agnel menggeleng. "Nggak apa-apa," ucapnya. "Aku belum pernah liat kamu ketawa selepas itu. Mungkin kamu nggak sadar baru menemukan alasan baru buat bertahan di hidup ini?"

"Oh ya?" tanya Tian.

"Iya. Revenge ㅡbalas dendam."

Tian terkekeh. "Kamu bercanda ya? Mana mungkin aku berani balas dendam ke mafia macam Jessica?"

"Nggak," Agnel menggeleng. "Bukan itu."

Tian mengerutkan dahi. "Terus apa?"

"Cara balas dendam terbaik bukan dengan menyakiti. Kalau kamu tetap hidup, survive, bahagia, mereka pasti bakal merasa dipecundangi."

Tian hanya tertegun.

"Tetap bertahan Tian, bahagialah," ucap Agnel. "Orang kayak Jessica itu... hidupnya nggak akan lama."

"H-hey," Tian salah tingkah. "Mendingan kamu ganti baju, sana. Emang nggak risih ya? Walaupun udah ditutupi kardigan kan tetap ajaㅡ""

Agnel tertawa. "Bilang aja kamu takut tergoda."

"Hell no," kilah Tian. "Nggak akan terjadi apa-apa kecuali kamu cewek terakhir di dunia ini."

Agnel tersenyum Tenang seperti biasanya lalu melenggang ke kamar dengan baju yang sejak kemarin memancing keributan itu. Sementara Tian masih merenung. Balas dendam katanya? Memang mustahil kalau balas dendam secara harfiah ㅡTian dijamin kalah telak. Tapi... bertahan dan hidup bahagia?

Apa bisa balas dendam hanya dengan cara menjadi bahagia? Sederhana sekali. Hampir tidak ada yang perlu dilakukan. Apalagi Agnel sudah menunjukan padanya betapa mudahnya kebahagiaan ditemukan dari hal-hal kecil.

Jadi... bahagia adalah cara balas dendam paling jahat ya?





*****

Thanks for reading!
Jangan lupa follow + vote + comment + share kalau kamu suka Semicolon!

©pinkishdelight
@pinkishbooks on Instagram
@pinkishdelight on twitter

SemicolonDonde viven las historias. Descúbrelo ahora