32 - Merawat Dua Pria Tampan

7.4K 757 25
                                    

Tau bahwa Revan mengalami lupa ingatan, Varel berniat untuk mencoba membawa ingatan itu kembali. Bagaimanapun juga, memori itu memang harus selalu diingat Revan. Apapun nanti hasil akhir dari percintaan mereka, pokoknya, semua kenangan yang pernah mereka jalani harus selalu diingat bahkan sampai mereka tua nanti. Karena semua kenangan itu sangat berartu bagi Varel. Dan ia juga mau kenangan itu menjadi hal yang paling berharga bagi Revan.

Ini hari kedua Revan berada di rumah sakit. Keinginan hatinya untuk menjenguk pria itu sangatlah besar. Ia sama sekali tak merasa capek untuk berkunjung walau hanya sekejap. Yang penting, ingatan Revan harus kembali. Mau seperti apapun akhirnya, Varel siap menerimanya.

Manik mata yang begitu indah itu melihat seorang pria terbaring di atas kasur. Pria tidak melakukan apa-apa. Ia hanya melihat langit-langit ruangannya. Kondisinya baik-baik saja. Tapi, setelah mendengar kabar dari Daffa, Varel jadi menganggap pria itu tidak baik-baik saja. Sebelum pria itu pulih total, Varel akan terus menjaganya.

"Hai!" sapa seorang membuat pandangan Varel beralih pada suara yang menyadarkannya barusan. Orang yang ia jumpai kemarin. Bukan. Bukan ia jumpai, tapi tak sengaja berjumpa. Pria itu masih sama. Masih mengenakan pakaian pasien dan dengan senyum yang sumringah. Yang membuat Varel bingung adalah, senyum pria itu seakan menunjukkan kalau dia terlihat baik-baik saja. Padahal, dari pandangan Varel saat ini adalah, wajah pria itu terlihat sedikit pucat.

"Oh dia temen kamu?" tanyanya saat melihat ke dalam ruangan tempat Revan dirawat.

"Temen apa temen?" godanya.

"Kamu kenapa gak di ruangan?"

"Oh," pria itu memanyunkan bibirnya sembari menundukkan kepalanya. "Bosen, gak ada temen."

Alasan yang masuk akal juga. Tapi, Varel sangat kesal dengan orang ini. Sifatnya terlihat kekanak-kanakan. Kemarin aja untuk makan harus disuapin. Untungnya Varel termasuk orang yang sangat baik. Kalau tidak, mungkin dia sudah mengabaikan orang yang tidak ia kenali ini.

Varel memutar bola matanya lalu menghembusnya nafasnya kasar. Ia kembali melihat pria yang kini di hadapannya ini. Mengurus Revan saja sudah bikin dia pusing. Yang membuat pusing bagaimana membuat ingatan Revan kembali. Ditambah lagi tingkah konyol orang baru yang sangat tampan tapi penyakitan ini.

Sayup-sayup mendengar suara dari luar, Revan melihat ke arah pintu. Manik matanya melihat seorang pria yang bisa menyejukkan hatinya. Pria itu sedang mengomel. Seperti berbicara pada seseorang. Tapi, ia tak tau pria itu berbicara dengan siapa. Itu bukan jadi masalah. Yang penting kini, orang yang ia tak kenal itu terasa sangat dekat. Sekilas, ia melihat seseorang dalam pikirannya. Tapi orang itu tak begitu jelas. Dan saat itu juga kepalanya berdenyut hebat.

Sedang asik berbicara dengan pria yang susah sekali dibilangin itu, Varel mendengar seseorang berteriak dari salam ruangan. Matanya langsung menoleh ke arah Varel. Dengan keadaan sedikit panik, Varel langsung masuk ke dalam ruangan dan melihat kondisi Revan. Pria itu masih saja teriak sambil memegangi kepalanya.

"Suster!" panggil Varel saat ia kembali ke ambang pintu. Saat itu juga seorang suster datang dan langsung melihat keadaan Revan. Cemas? Pasti. Takut? Apalagi. Yang jelas, kini Varel hanya bisa berdoa semoga kekasihnya itu baik-baik saja.

Semuanya berjalan dengan baik. Revan kini tengah tertidur. Suster juga mengatakan kondisi Revan sudah kembali seperti semula. Setelah mendengar kabar baik itu, Varel langsung lega. Ia menghembuskan nafasnya lalu menatap Revan yang kini masih terbaring. "Cepat sembuh," gumamnya.

Teringat dengan pria yang sempat ia omelin tadi. Varel langsung melihat ke luar ruangan, kemudian melihat ke luar tak ada lagi orang di sana. Ia pun langsung menuju ruangan pria itu. Tak ada orang di sana. Matanya tertuju pada nampan yang masih berisi makanan di atasnya. Dilihat dari jam sekarang, itu adalah jatah makan siangnya. Tapi, ia sama sekali tak menyentuhnya. "Kemana orang gila itu?!" tanyanya.

Varel tau kemana ia harus pergi. Ia yakin pasti pria itu ada di sana. Menyendiri dan menikamati kesunyian yang Varel juga menyukai itu. Sunyi dan senyap. Tak ada keributan. Hal itu lah yang membuat hati dan pikirannya menjadi tenang. Setenang rumput yang bergoyang dihembus angin.

Benar dengan dugaannya, Varel melihat pria itu kini tengah duduk di kursi sambil menikmati hembusan angin. Tempat itu adalah rooftop. Melihat dari kebiasaannya, pria iru tak jauh beda dari Revan. Tempat yang paling disukai adalah rooftop.

"Aku tau kamu di sini."

Pria itu langsung menuli melihat Varel yang kini sudah duduk di sampingnya. Ia menatap wajah Varel yang nyaman dan menyejukkan hati. Tanpa ia sadari, senyumnya kini tak terpaksa. Setelah selama ini ia hanya memaksa untuk tersenyum ke orang-orang di sekitarnya. Tapi, setelah melihat Varel, senyumnya seakan datang begitu saja.

"Aku melihat kamu panik saat cowok itu kesakitan, jadi aku memilih untuk pergi saja."

Pengakuan itu terasa jujur dan tak terlihat kebohongan di sana. Varel menoleh dan menatap pria itu sambil tersenyum. Hembusan angin membuat rambutnya yang berantakan seperti tak pernah diatur bergerak mengikuti arah hembusan angin.

"Kenapa?"

"Aku gak mau menganggu," pria itu memain-mainkan ujung bajunya. Menundukkan kepalanya. Semuanya itu terlihat begitu lucu bagi Varel. Tanpa sadar, Varel tertawa kecil.

"Kenapa?" tanya pria itu.

"Kamu lucu, ganteng-ganteng manja," Varel mengakui kalau pria itu tampan. Tapi, Revan masih tetap yang terbaik. "Aku melihat nampan di atas meja."

Pria itu menoleh ke arah Varel. Ia mengembangkan senyumnya. Mereka berdua seperti sudah kenal lama, padahal mereka baru bertemu kemarin.

"Gak suka."

"Aku bilang apa kemarin?"

"Suka gak suka harus dimakan."

"Dan itu untuk?"

"Kesehatanku."

"Pinter, yuk! Makan."

***

Suapan terakhir dan habis. Pria itu memakan makanan yang katanya tidak ia sukai. Tapi habis dilahap begitu saja. Melihat mangkuk dan piring yang di atas nampan itu, Varel bertepuk tangan. "Pinter, aku kayak ngajarin anak tk makan ya, susah banget tinggal makan doang."

Pria yang sedang minum itu langsung menelan airnya lalu menatap Varel. "Kalau gitu, kamu rawat aku aja."

"Hah?"

"Iya, selama aku di sini, gak ada yang merawat. Temen-temenku juga datangnya jarang. Orang tuaku sibuk dengan urusan kantornya."

"Tapi-"

"Tenang aja, aku janji gak bakal ngerepotin kok."

"Aku-"

"Ya, please!!"

Seperti tak ada pilihan lain. Varel juga sudah terlanjut iba melihatnya. Denga terpaksa Varel meng-iyakan permintaan pria itu. Pria itu pun kegirangan. Secara refleks, pria itu memeluk Varel.

"Bentar," Varel menjauhkan wajah pria itu menggunakan telunjuknya. Wajah yang kini di dekatnya itu hanya melihatnya. Sungguh heran. Wajah tampan dan rahang yang tegas itu kalau manja sangat menggemaskan. Tapi lebih gemas Revan kalau lagi manja. Tapi, sayangnya, Varel tak pernah melihat Revan manja.

"Kalau aku datang, makananmu harus sudah habis."

Pria itu berpikir sejenak. Ia menaikkan bola matanya. "Oke."

"Oke."

Kesepakatan pun selesai. Tidak perlu harus tanda-tangan di atas materai biar terlihat sah. Cukup dengan berjabat tangan sudah membuat kesepakatan mereka sah. Dan mulai detik ini, Varel merawat dua pria tampan sekaligus. Yang satu kekasihnya, yang satu lagi orang asing. Kita panggil saja tuan tampan.



....................
6/28/2020

Love Addictive ✔️Where stories live. Discover now