40 - Nanti Suatu Saat

7.4K 823 59
                                    

Setelah melihat amarah Varel saat di taman tadi, Revan melihat sisi Varel yang lain. Wajah dan emosi yang ditampilkan pria itu terlihat sangat maskulin. Wajahnya yang selama ini menggemaskan itu mendadak berubah. Bahkan, dia merasa, wajahnya kalah maskulin dengan pria itu. Tapi, melihat Varel marah seperti itu membuat Revan juga menjadi takut. Dia takut pria itu bakal menjauh darinya. Dia takut kehilangan lagi. Sudah cukup.

Revan duduk terdiam di tempat yang selama ini menjadi tempat kesukaannya setiap kali bosan atau kebingungan. Rooftop sekolah. Ini juga menjadi tempat saksi awal kisah cintanya dengan Varel. Bahkan tempat ini memang benar-benar menjadi tempat favorite nya selain danau. Tempat ini banyak diketahui siswa lain. Tapi, Revan adalah pengunjung setia tempat ini. Hampir setiap hari sebelum dia mengenal Varel. Tapi, semenjak dia mengenal Varel dan menjadikannya kekasih, tempat ini sudah sangat jarang dia jumpai. Karena, tempat yang dia kunjungi adalah kelas Varel.

"Gue seneng banget lo lupa ingatan, gue jadi punya kesempatan buat rebut dia dari lo."

Ucapan Bara seketika terlintas di pikirannya. Membuat dia merasa terganggu dan mengingat kembali masa SMP nya. Itu adalah masa pahit yang pernah dia alami seumur hidupnya. Berjauhan dengan Reza yang merupakan sahabatnya. Bahkan mau ketemu pun, hanya di waktu weekend dan yang berkunjung adalah Reza. Karena, Daffa tak pernah mengizinkan Revan kembali ke kotanya sebelumnya.

Tapi, awalnya dia merasa beruntung karena mengenal Bara. Dia menceritakan semua kepahitannya ke pria itu. Dia tumpahkan semua kesedihannya pada teman barunya yang merambat jadi sahabatnya itu.

Sayangnya, persahabatan mereka harus berakhir karena ulah Bara yang membuat Revan marah besar. Dia mengira bahwa Bara adalah orang yang dapat dipercaya. Tapi ternyata, pria itu lah yang sudah merusak persahabatan mereka.

Revan menutup matanya. Melupakan semua yang terlintas di pikirannya. Dia ingin menenangkan pikirannya. Sekaligus memcari cara untuk minta maaf ke Varel karena ulahnya. Dia sadar, di situasi ini, dia salah. Jadi, biarkan Revan menenangkan pikirannya dulu.

Belum sempat pikirannya tenang, sesuatu menutup wajahnya dari cahaya matahari. Kelopak matanya langsung terbuka dan melihat siapa yang sudah berani menganggunya saat ingin menenangkan diri. Saat itu juga di langsung terkesiap dan bangkit. Dia duduk sambil melihat pria yang kini sudah duduk bersamanya itu sambil membawa minuman kesukaannya.

"Va-Varel," Revan mendadak gugup. Bahkan, ingin membuka mulut saja terasa kaku.

"Kamu memang gak berubah."

Revan memicingkan matanya. Kalimat itu seperti seolah-olah, Varel sudah mengenalnya sangat lama.

"Kalau lagi suntuk, pasti ke sini."

Varel menoleh dan menatap Revan dengan senyuman indahnya. Dia memberikan tatapan menyejukkan dan berusaha memberikan ketenangan pada pria itu.

Setelah melihat wajah Revan, Varel beralih melihat tangan yang berurat tebal itu. Diraihnya lalu dirabanya buku-buku jarinya. Melihat tingkah Varel membuat Revan sedikit kebingungan.

"Tangan ini bahkan gak pernah memukulku," ucap Varel. "Tapi tangan ini pernah mendorongku sampai aku jatuh," Varel mengalihkan pandangannya menatap wajah Revan yang masih kebingungan.

"Temen-temen kamu bilang, tangan kamu kasar, tapi-" Varel menempelkan telapak tangan Revan ke pipinya. "Kalau tangan ini meraba pipiku, rasanya nyaman banget," Varel menyamankan pipinya di telapak tangan pria itu.

Varel menutup matanya menikmati sentuhan tangan Revan di pipinya. Dia masih tetap membiarkan tangan itu meraba pipinya. Tak bisa disangkal lagi, memang itu terasa sangat nyaman. Tiba-tiba, Varel merasakan hal yang sama di pipinya satu lagi. Matanya langsung terbuka dan melihat Revan. Dia mengembangkan senyumnya.

Love Addictive ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang