29. Sahabat

185 11 0
                                    

Vano sebenarnya menyadari ketidakberesan pada Arvan yang berubah drastis. Vano tidak tahu, kenapa ketua kelas itu sikapnya menjadi menyebalkan kepada Elsa. Vano tahu, kalau tadi Elsa di tarik keluar oleh Arvan. Ingin sekali Vano menghajar wajah cowok itu, namun ia berpikir dahulu sebelum bertindak, apalagi di kelas ini ada Reiskha, ia tidak mau gadis itu terluka atau melihatnya baku hantam dengan cowok lain hanya karena Elsa.

Labil? ya, Vano memang labil, dia ingin mendekati Elsa tapi tidak mau Reiskha menjauh. Vano mencintai Elsa tatapi ia juga menyayangi Reiskha. Vano memang senang bersama Reiskha, tetapi Vano nyaman bersama Elsa. Siapa yang harus Vano pilih? Elsa yang sudah ia tinggalkan atau Reiskha yang mulai membuatnya nyaman?

Mengembuskan napas gusar, Vano berdiri lalu keluar kelas untuk mencari Elsa yang entah dibawa kemana oleh Arvan. Vano ingin menanyakan keadaan gadis itu yang sudah mulai kembali masuk sekolah setelah tiga hari absen. Sebelum bel berbunyi tadi, Vano akan menanyakan kesehatan gadis itu, tetapi lagi-lagi ia tidak enak karena disampingnya ada Reiskha dan akhirnya memutuskan untuk mengikuti gadis itu yang mengatakan kepada Elsa ia dan dirinya ada urusan. Sudah pasti Elsa akan menebak-nebak soal ini.

Berjalan menuju lapangan basket, Vano melihat Elsa yang berlari sembari menangis, kenapa lagi cewek itu? Kenapa Vano selalu melihatnya disaat Elsa tengah menangis? Mana senyum ceria yang selalu gadis itu tunjukkan?

Vano mengikuti langkah Elsa yang menuju taman belakang sekolah, tetapi saat akan menyeruakan nama gadis itu, dua orang sahabatnya sudah menyemburkan pelukan kala mereka melihat Elsa menangis.

Vano berbalik badan untuk kembali ke kelas. Di depan koridor yang menuju kelasnya, Vano melihat Arvan yang sedang berjalan santai, Vano jadi bertanya-tanya apa Elsa menangis ada hubungannya dengan Arvan? Tadi kan sebelum bersama Arvan, Elsa baik-baik saja.

Vano menghampiri Arvan, lalu di tariknya kerah baju seragam Arvan dengan emosi yang tertahan semenjak ia melihat cowok itu menarik pergelangan tangan Elsa dengan kasar.

"Lo kan yang udah ngebuat Elsa nangis?!" Vano menunjuk wajah Arvan dengan telunjuknya, "ngaku lo!"

Arvan mendengus, dihempaskannya jari telunjuk Vano juga tangannya yang menarik kerah baju seragamnya.

Arvan merapihkan dahulu seragamnya yang kusut, kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, wajahnya terlihat santai tidak seperti orang yang telah berbuat kesalahan.

"Iya, gue yang udah buat dia nangis," Arvan mengakui. "tapi asal lo inget, ini baru pertama kalinya gue ngebuat Elsa menitikkan air mata. Gue gak seburuk lo yang sering banget membuat Elsa sakit hati sampai nangis berhari-hari, gue juga nggak sebrengsek lo yang menginginkan dua wanita!" Arvan menyinggung kan senyuman licik, ia melihat Vano terdiam setelah dirinya mengucapkan kalimat barusan.

"Gue gak seburuk yang ada dipikiran lo Ar!" kata Vano, membela. Ia mengepalkan kedua tangannya, kalau saja ini bukan di sekolah mungkin Vano sudah menghabisi cowok yang ada didepannya ini.

"Hah apa lo bilang?" Arvan berpura-pura tidak mendengar apa yang Vano katakan, ia tertawa sembari geleng-geleng kepala.

"Lo gak seburuk yang ada dipikiran gue?" Arvan mengulang, kemudian berjalan mendekat ke Vano, bukan untuk menghajar cowok itu, Arvan tidak mau nama baiknya rusak di sekolah ini. Bagaimana pun Arvan adalah ketua kelas X-MIPA 1 yang terkenal dengan ketampanannya juga kedisplinannya.

"Lo dan gue itu sama, sama-sama pernah membuat cewek yang kita cinta meneteskan air mata. Cuman bedanya, gue baru kali ini, kalo lo udah berkali-kali!" Arvan menepuk bahu Vano dua kali, "Semoga lo bisa bahagiain dia sebelum ada orang lain yang membahagiakannya."

Arvan kembali berjalan, namun baru tiga langkah cowok itu berhenti karena perkataan Vano.

"Gue udah pernah membahagiakan dia."

Vansa [Completed]Where stories live. Discover now