Thirty : A Painful Decision

388 63 21
                                    


“Apa aku terlihat bagus mengenakan jas ini?”

Hanbin yang baru selesai mengenakan jas berwarna abu yang baru dibelinya pekan lalu itu berdiri di hadapan Jinhwan yang tengah menikmati kopi paginya. Beberapa saat lalu mereka telah menyelesaikan sarapan paginya dan Hanbin kini sedang bersiap-siap pergi ke kantor. Jinhwan mengamati sambil menyeruput kopinya. Dia melihat Hanbin yang begitu tampan pagi ini, dengan set pakaian berwarna abu yang pas di tubuh proporsionalnya dan up hair style yang membuat jidat indahnya terlihat. Jinhwan tersenyum dengan manis, memuji pria itu dalam hati.

“Memangnya kapan kau tidak terlihat bagus dengan pakaian manapun yang kau kenakan?” Jinhwan berucap dengan nada acuh tak acuh.

Hanbin tersenyum miring lalu berjalan mendekat. “Apalagi saat aku tak berpakaian, bukankah terlihat jauh lebih tampan?”

Jinhwan berdecih dan kembali menyeruput kopinya, setelah itu memilih untuk memfokuskan diri pada surat kabar di tangannya. Hanbin berdecak dan duduk di kursi seberang meja bundar di dekat jendela itu, mengamati Jinhwan yang terlihat sangat serius membaca berita di surat kabar. Kacamata bacanya bahkan nyaris merosot andai saja hidung mancungnya tidak menahannya. Hanbin menopang dagu dengan tatapan yang terus tertuju pada pria mungilnya.

“Sungguh membosankan. Kau terlihat seperti seorang pria di usia senja yang hanya suka menikmati kopi hitam sambil membaca koran di teras depan rumahnya.” Komentar Hanbin malas.

Jinhwan meliriknya sebentar sebelum kembali fokus pada surat kabar di tangannya. “Kau terlalu cerewet. Urus saja hidupmu dengan baik dan segeralah berangkat kerja.”

Hanbin menyandarkan punggunya pada kursi dengan lengan bersilang di dada. “Masih ada waktu setengah jam. Aku bisa tiba di kantor dengan cepat.”

“Ya, ya, ya. Kau adalah seorang veteran di jalanan, tidak mengherankan. Bahkan dulu hampir membuatku mati di tengah jalan.” Sahut Jinhwan tanpa menoleh.

Hanbin terkekeh, gemas dengan sikap Jinhwan yang tidak pernah berubah dari dulu. “Hei, ayolah. Bahkan kau terlalu sibuk dengan kertas-kertas membosankan itu. Apa tak berkeinginan untuk memberiku sebuah hadiah sebelum pergi bekerja? Agar aku melalui hari dengan semangat.”

Jinhwan mengangkat kepala, menatap datar pada Hanbin yang menyeringai polos di depannya. “Sungguh mulut yang berisik.” Gumamnya kemudian bangkit dari duduk dan berjalan ke arah sofa dimana tas kerja Hanbin mendarat setelah dilemparkan dengan sembarangan oleh pemiliknya. Meraih tas kerja berwarna hitam itu lalu mendekat pada Hanbin.

“Nah, memang seharusnya seperti itu sebagai seorang ist-“

“Ambil ini.” Jinhwan menekan tas itu ke dada Hanbin untuk dia pegang. “Lalu pergi.” Tangannya meraih tubuh Hanbin untuk berdiri.

Mata Hanbin membola. “Hei, kau. Kenapa kau memperlakukanku begitu jahat? Kau suka sekali mengusirku.” Omelnya tak terima.

Jinhwan masih mendorong Hanbin ke lorong depan pintu keluar. “Kau adalah seorang junior di perusahaan ayahmu. Jadilah junior yang baik, jangan bertindak seenaknya hanya karena itu adalah perusahaan milik keluargamu.”

“Siapa yang seenaknya? Sejauh ini aku selalu menjadi karyawan yang baik dan pekerja keras di kantor.” Hanbin membela diri.

Jinhwan merasa geli dan dia segera berhenti, membalikan tubuh Hanbin dan mengamati penampilannya. Tamparan lembut dia daratkan pada pipi kekasihnya yang cemberut itu.

“Jangan terlalu tampan saat berada di luar. Kau tahu kan wajahmu ini begitu berbahaya jika ditampilkan begitu bagus di depan orang banyak?”

Hanbin sejenak memikirkan ucapan Jinhwan, lalu dia tiba-tiba terpikirkan satu hal yang membuatnya tiba-tiba menyeringai. Tatapan nakal dia arahkan pada Jinhwan.

Let You FlyWhere stories live. Discover now