Firasat

557 36 4
                                    

aku pernah berkelakar bahwa aku telah melupakanmu, seutuhnya dan seluruhnya. menciptakan kisahku sendiri agar usahamu melupakanku tak menemui jalan buntu, serta usahaku melupakanmu tak lagi abu-abu.

secangkir teh hangat dan surat yang kutulis untukmu, seperti rongsokan mesin waktu yang memaksaku kembali ke masa lalu, merindukanmu sama sakitnya, merindukanmu sama pilunya. senyumanmu dalam bingkai foto yang meredup seiring waktu, seperti layaknya kita. tulisan tanganmu dalam jurnal-jurnal lamaku, bersumpah bahwa kau akan ada disini untukku selamanya —dan kau membuktikan itu, sampai hari dimana langkah kakimu menggema di pintu itu, meninggalkanku.

dan kuharap kau temukan seseorang yang bagimu—sebagaimana kau bagiku. karena aku tak mau kamu merasa sepi dan sendiri. merasa sedih dan  letih. jauh di dalam hati, ku harap kau merindukanku, meski kecil, meski sedikit. bukan dalam cara yang menyakitimu, tapi dalam cara yang mengingatkanmu bahwa diantara kita tak lagi sama.

aku masih disini, mungkin kau akan butuh aku dalam sebulan, atau dua belas tahun, atau bahkan tidak sama sekali.

'tak apa' ujarku pada diri sendiri. kuulang, terulang, berulang. berusaha sembuh meski masih rapuh, sebuah usaha-usaha kecil melupakanmu lalu menyadari utuhnya aku.

di akhir— bagian yang paling tak kau suka adalah ketika aku menyadari bahwa yang kau berikan padaku hanya luka yang berbalut janji-janji bahagia, bersamamu hanya menyadarkanku bahwa aku takut merasa sendiri. aku takut ditinggal, bersama diri sendiri. bersamamu menyadarkanku bahwa selama ini yang justru kutinggalkan adalah aku.
'tak bisakah kau lihat bahwa kita ditakdirkan bersama?' adalah tanya yang kau ucap ketika aku merasa ini benar-benar berakhir. ketika aku akhirnya punya kekuatan untuk pergi dari hidupmu dengan menggenggam tanganku sendiri, bukan lagi tanganmu.

'bagaimana bisa kau meninggalkanku seperti ini?' ucapmu, namun yang kudengar justru 'sadarkah kamu bahwa kau bukan siapa-siapa  tanpaku?'. lihat, ini adalah titik dimana aku hidup dengan membohongi diriku sendiri agar aku tak kehilangan imaji tentangmu. tentang kamu yang sempurna dalam pikiran-pikiran liarku. karena nyatanya, aku adalah siapa-siapa, meski tanpamu. aku segalanya, dan dengan melepas tanganmu, aku merasa lebih dari itu.
dan kini, aku menyadari sepenuhnya bahwa diantara kita tak pernah ada cinta, ini memperkuat segalanya bahwa diantara kita tak akan pernah jadi cinta.

biar aku jujur tentang satu hal: alasan aku pergi bukan karena itu lebih mudah daripada tinggal. tidak. bahkan mungkin ini bukan keputusan yang terlalu tepat untukku. apapun alasannya, aku tau ini untuk yang terbaik— bagiku kemudian bagimu. kau mungkin tak melihatnya sekarang, dalam sebulan, atau dua bulan, namun kelak ketika kita sudah lebih tua dan hidup kita lebih tertata, aku akan menatapmu lamat-lamat di retina dan berkata bahwa ini memang yang terbaik, dan memang beberapa hal ditakdirkan berakhir pahit. supaya aku dan kamu bisa belajar; belajar mendengar, belajar sabar, lalu belajar merelakan apa-apa yang samar.


3 Januari 2021

ekwa

HUJAN: Sebait Kenangan KusamDonde viven las historias. Descúbrelo ahora