Pamit

932 53 2
                                    

Kilasan memori itu kembali. Suara decitan pena mengukir beberapa lembar kertas buram, huruf-hurufnya mencair karena air mata. Anak laki-laki itu sesekali menatap bias cahaya lampu kamar, pikirannya kosong, ia hanya terdiam disana. Tak tau apa yang sejak tadi ia tulis. Seakan sesuatu dari balik dadanya karam. Dari hulu ke hilir, suara lirih tangisnya menjadi pengisi lengang tanpa obrolan.

Dipeluknya dirinya sendiri, merapal mantra bahwa ini akan selalu menjadi baik-baik saja.

Rangkaian kata yang ia ukir selayaknya usaha untuk menyusun kalimat selamat tinggal. Semacam pamit. Semacam penghormatan terakhir atas apa-apa yang telah menyakitinya bertahun-tahun belakangan. Barangkali, nantinya tak akan ada lagi usaha mencintai dari jauh. Barangkali nantinya, tak akan lagi pengharapan dari ruang-ruang gelap yang selama ini memerangkap.

Karena jauh didalam hatinya ia tau, harapnya hanya akan menjadi duka.
Ia tak suka mengukir sedih, ia lebih memilih melangkah dalam diam, lalu menghilang bersama ketiadaan.

Baginya, sah-sah saja orang yang dulu mengukir senyum untuknya, suatu saat akan mengambilnya kembali. Seingatnya, dari sejak mulanya-- ia memang tak pernah benar-benar bahagia.

Tadinya, ia hendak mengeluh. Mengapa mencintai manusia menjadi sedemikian melelahkan. Sedemikian menyakitkan. Tapi, pikiran itu lenyap,--menguap. Barangkali, dalam batinnya, ini adalah cara semesta menjaga perasannya untuknya. Untuk dirinya sendiri.

Setelahnya, hal pertama yang ia ajarkan setelah melepaskan adalah menghapus air mata. Karena jauh didalam hati kecilnya ia tau;

Tangis itu melegakan,
Pergi itu membebaskan.

---
Ekwa

HUJAN: Sebait Kenangan KusamWhere stories live. Discover now