Falaise d'Etretat

1K 47 16
                                    

"Tout ira bein. Trust me." Ujarnya. Ada sependar nanar kosong melampaui batas samudera, segala keraguan yang datang seiring cahaya yang beranjak pergi. netraku mengunci birunya laut dibawah sana, suara gemuruh ombak menelisik setiap sudut kota Etretat, tebing tinggi menjulang, tiga puluh dua kilometer dari kota Le Havre, tempat yang sempurna untuk mengistirahatkan perasaan, jika kata membunuh terlalu kasar untuk kupakai.

"Jene regrette rien. But it is just like how the waves come and go, rien n'est éternel." Balasku. Ada perasaan kalut saat aku menatap binar retina yang membiaskan cahaya emas itu. Tujuh puluh meter diatas permukaan laut, bersama tebing kapur yang membentuk L'Aiguille, segalanya terasa hampa untukku.

"Je suis désolé. I didn't meant to hurt you. Everything was just--happen. I didn't have control of everything. Even myself." Balasnya.
"Rien ne vaut son chez-soi. You will always be l'amour de mavie. But i realized, i have to let you go. No. I have to let everything go." Berat rasanya mengucapkan kalimat ini, tapi hidup seakan tak pernah berhenti membuat siapapun terperangah akan kejutan takdir yang dibawanya.

No matter how much you surrounded by the people who loved you, you will always feel alone. You will always being alone. Melepaskan tak pernah mudah bagi siapapun, begitu juga dengan mengikhlaskan. Bersama deburan ombak yang mengiring akhir di penghujung hari, pesanku pada diri sendiri;
kau belum punya lidah sebelum mencicip pahit, dan kau belum punya jiwa sebelum mengecap sakit.

---
Catatan kaki :
Kisah pendek ini terilhami oleh Tebing Etretat (lihat media). Saya menyukai segala hal tentang Prancis, dan saya harap suatu saat bisa menginjjakkan kaki disana. Doakan ya, readers.
---
Ekwa.

HUJAN: Sebait Kenangan KusamWhere stories live. Discover now