Cerita

858 36 2
                                    

Dan pada bagian yang tak terlalu akhir, kamu dan aku kembali dipertemukan dengan bab "Melepaskan". Sebagaimana kejadian yang lalu-lalu, namun kali ini, semakin kau dan aku tua, hidup menawarkan sudut pandang yang kian rumit.

Di satu titik tertentu, ego adalah semacam entitas yang menuntut untuk diakui. Padanya, kau dan aku berharap bahwa rasa sakit yang kita terima akan menemukan balasannya sendiri. Tapi semesta yang memeluk kau dan aku tau, tak semua hal dibalas selaras.

Barangkali, rasa benciku dan bencimu adalah semacam anak kecil yang menuntut dibelikan permen; meminta untuk dipuaskan. Meminta untuk dilampiaskan. Tapi, apa memang begitu?

Lewat secangkir kopi atau segelas air putih, kamu dan aku meminta segalanya disegerakan. Rindu harus diutarakan. Cinta harus dilayarkan. Kau dan aku sama-sama membayangkan dunia ideal: dimana segala hilir menemui hulu, dimana segala sesuatu berjalan linier.

Kau dan aku sama sama membayangkan sebuah dunia imajiner. Sayangnya, tidak selalu, bukan begitu? Semesta seringkali tidak setuju.

Di ujung, kau dan aku, pelan dan sedikit terlambat, menyadari bahwa entitas yang tadi kita utarakan itu perlu diredam. Bagaimana caranya?

Dengan membiarkan. Dengan tidak membelikannya permen. Dengan tidak lagi berharap apapun tentang siapapun. Lantas di suatu ketika, kau dan aku akan duduk bersila di suatu padang rumput yang daunnya menguning; netra dihadapkan dengan netra; lalu kita berdua meletakkan apa-apa yang harus diletakkan.

Memeluk apa yang harusnya dipeluk.  Setelahnya kita sama-sama berdiri, lantas berjalan tegak mengarungi lautan pikiran sendiri. Tempat masing-masing. Kau dan aku sama-sama menghindari riuh, karena mungkin satu diantara dua ingin melangkah amat jauh, namun tertahan oleh hati yang terlalu rapuh.

Bagaimana jika kita cukup kuat untuk melepaskan?

---
Ekwa

HUJAN: Sebait Kenangan KusamWhere stories live. Discover now