Saturn

190 21 0
                                    

babak satu: waktu. kamu. pilu.

"aku ingin berhenti meminta; padamu lalu pada siapapun." ujarku waktu itu kalut.
tatapannya penuh tanya; semacam ingin membaca apa yang ada dipikiranku, menelisiknya, lalu menarik kesimpulan. Ia menarik nafas dalam, memalingkan wajahnya ke seberang jalanan Soekarno yang riuh. Matahari sore bak api yang membakar jalanan Surabaya, warna oranye berpadu cantik dengan hamparan debu yang bertengger di setiap sudut kota. Hening cukup lama. Sama sepertinya; aku juga sedang menerka, menunggu, mengira.

"Kota ini ramai, namun sunyi untukku. Bertahanlah, sebentar saja. hanya sebentar." balasnya. ada semacam keraguan dan permohonan di nada suaranya yang sangat familiar untukku, semacam puisi-puisi tua yang tak lagi bisa dibaca.
Di otakku hanya ada aksara; panjang, rumit.
korneanya melembut, titik hitam di atas putih itu menatap lurus ke cangkir kopi yang sejak tadi tak berubah posisinya. waktu itu, kita berdua menyadari bahwa ini bisa jadi kali terakhir ia melihatku, lalu aku melihatnya. bisa jadi kali terakhir ia merengkuhku, lalu aku merengkuhnya.

Kubentangkan jarak, yang pada tiap menitnya, ribuan kilometer tercipta. matanya memerah, ditengguknya sedikit rasa pahit itu, lalu ia tarik nafas panjang. tatap matanya lebih kalut dariku, aku tau ia merasa sakit, matanya sedikit berair,  ada banyak rasa sedih yang tertahan—lalu tenggelam dalam dengungan kendaraan yang menari di atas aspal; menyublim bersama uap hangat kopi yang sekarang telah jadi dingin.

aku mati rasa. tak ada rasa benci, pun cinta disana. yang memenuhiku waktu itu hanya tanya, melihat sosoknya yang amat familiar perlahan jadi satu raga yang tak lagi kukenal. kisah-kisah klise antara dua manusia yang dulunya percaya akan kata 'selamanya', lalu harus menemui 'sampai jumpa'.

hal paling menyebalkan dari ini semua adalah; bagaimana bisa aku hidup tanpamu namun pada saat yang sama aku tak bisa hidup denganmu; tidak dengan rasa sakit itu, tentunya. yang paling menyebalkan dari ini semua adalah mengulang dari awal, merapikan kenangan; semacam membersihkan meja belajarmu setelah mengejar ujian, semacam mencabut sticky-notes dari dinding kamar, semacam merapikan kasur setelah hari yang teramat panjang.
bersamamu sakit, tidak bersamamu pun lebih sakit. aku benci membencimu. namun aku harus melakukan itu.

Ide-ide tentangmu mengalir diantara neuron-neuron otakku, ada denyut sakit di dada kiri; ia adalah kekosongan, kehampaan, semacam cara tubuhku memberi tau bahwa si pemilik ruang telah pergi; neuron lantas bertanya "nanti siapa yang akan menggantikan dia?"

babak dua: rasa. kala. karma.

"Tolong aku. kali ini saja tolong. Hanya kau yang bisa mencintaiku setelah aku patah berkali-kali".

ini seperti memori lama; bulir air matanya membawaku ke sebuah tempat familiar— aku berjalan diantara rerumputan kering, sebuah rasa sakit yang sama— janji-janji, lalu imaji tentang perubahan dari karikatur yang luntur. tatapan mataku kosong; lurus ke depan, menembus tempurung kepalanya lalu jatuh pada hampa-hampa. tak ada satu kata yang berhasil kucipta, aku hanya menatap matanya lamat-lamat; semacam bertanya kenapa kisah kita lantas jadi sedemikian rupa; tak bisa kembali jadi sediakala.

ditariknya nafas panjang, mata itu dilanda hujan; ia basah dan berair. ucapnya lagi "aku takut. aku takut kamu menyayangi orang lain sebagaimana kamu menyayangiku. aku takut orang itu akan lebih mencintaimu lalu kau lupakan aku, karena ia tau cara menghargaimu. hal-hal yang belum bisa kulakukan sepenuhnya, hal-hal yang kusesali seluruhnya"

dalam tiap bait yang terlontar, ia seperti mantra yang membekukan raga. raga itu tampak rapuh, seperti bangunan tua yang dimakan waktu. pilu-pilu memenuhi serambi ruang tamunya, lalu sedih menghiasi dindingnya. ia takut kehilangan. ia takut ditinggal. seperti anak kecil yang tersesat di karnival, ia lemas dan lunglai.

di dalam hati, aku ingin melupakanmu dan pergi. lantas mengapa ini seperti deklarasi bahwa aku telah kehilangan diriku sendiri? mereka bilang waktu dapat menyembuhkan, aku tak setuju, waktu hanya membuatmu lupa bagaimana rasa sakitnya; tapi tidak dengan lukanya. ia serupa bayang bayang yang mengikutimu ditengah terik matahari. ia tetap disana, ada dan abadi.

luka itu kian menghantui, ragaku rapuh, jiwaku tak lagi utuh. melupakanmu akan memakan banyak waktu— batinku. ada irisan perih yang memenuhi serambi hati, ia seumpama kaset tua yang rusak. aku marah tapi aku juga pasrah, mengamini kata pepatah bahwa ada beberapa manusia yang memang tak tercipta untuk raga kita. ia sementara; ia fana.

Semesta dan kejutannya. Tuhan dan cobaan-Nya. Setan dan kisahnya. ada banyak kata yang tersusun di kepala; namun yang kuucap waktu itu hanya "entahlah" dengan nada pasrah. diantara lembaran-lembaran mimpi burukku, inilah yang paling kutakuti: kembali menjadi asing. mengulang, mengulang, mengulang. menjauhkan diri dari sesuatu yang amat familiar. mengasingkan diri dari gambar-gambar di telfon genggam.

pada akhirnya, menyerah bukanlah aib. kupikir; ada beberapa hal yang memang tak bisa luput dari takdir, kukira beberapa hal memang diciptakan untuk berakhir. kehilanganmu mungkin akan menjadi patah hati paling sakit untukku, namun aku tau, kamu akan selalu terganti. ini cukup menyadarkanku untuk tak lagi menempatkan manusia tinggi-tinggi di hati; menempatkan manusia secukupnya dan sewajarnya. sepantasnya dan seadanya.

aku melepasmu.
kuharap kau dan aku bisa sama sama belajar; belajar untuk jadi tegar lalu belajar memaafkan;
belajar untuk mendengar lalu belajar merelakan;
atas hal-hal yang belum bisa kita lakukan sepenuhnya,
atas hal-hal yang kita sesali seluruhnya.


Surabaya, 5 September 2022

EKWA

HUJAN: Sebait Kenangan KusamTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon