SweetTalker (5)

2.7K 551 17
                                    


Desahan lega keluar dari mulut Rylie setelah keluar dari ruangan bimbingan konseling yang dialihfungsikan jadi ruangan interogasi sementara. Meski kepalanya berat dan matanya perih karena semalam sama sekali tidak bisa tidur, Rylie berhasil menjawab beberapa pertanyaan dengan lancar. Ternyata hal yang dikatakan Papa kemarin benar-benar terjadi. Meski sempat ramai di sosial media semalam, ternyata penyelidikan yang dilakukan tidak semengerikan di film atau di drama-drama. Siswa-siswa hanya ditanyai sekilas soal Sofi, kenal atau tidak serta hubungan yang mungkin pernah terjadi. Tentu saja, tidak ada koneksi antara dirinya dan Sofi. Meski sedikit takut, akan tetapi dia bisa menjawab dengan tenang. Setidaknya dia tidak gemetaran, mendadak mual atau sejenisnya.

Meski begitu, dia masih belum bisa tenang. Pihak berwajib kemungkinan akan memeriksa akun sosial media milik Sofi dan pasti akan menyisir bagian pesan yang dikirimkan. Hal ini masih membuat Rylie tidak tenang meski memang dia tidak mengatakan apa pun yang mengindikasikan tindakan buruk. Justru dirinya malah mencoba menenangkan gadis itu dan menguatkannya. Benar seperti itu. Dia hanya bersikap tenang seperti biasanya dan tidak perlu melakukan tindakan-tindakan tidak penting.

"Gimana? Kamu ditanyai apa saja?" Adel langsung memberondongnya dengan pertanyaan saat dia bergerak keluar dari ruang bimbingan konseling. Gadis itu sudah lebih dulu ditanyai tadi.

"Enggak gimana-gimana, aku enggak kenal sama Sofi juga," sahut Rylie malas.

Sejak kemarin dia memang malas menanggapi Adel, hanya saja dia juga tidak bisa langsung menjauhinya karena di atas kertas tidak ada masalah antara dirinya dan gadis itu. Walaupun Adel membeberkan keburukan sahabat sendiri di SweetTalk, dia tetap tidak berhak marah. Lagi pula, dia juga tidak berniat untuk membahas soal itu lebih lanjut. Apalagi di tengah situasi seperti ini. Hubungannya dengan SweetTalk adalah hal terakhir yang ingin dijelaskannya pada dunia dan dia ingin merahasiakan soal itu sampai kapan pun.

"Aku juga. Mungkin yang bakalan banyak ditanyai teman sekelasnya Sofi." Adel menimpali tanpa menoleh dan matanya lurus menatap ke depan.

"Iya. Mungkin interogasi ke kita itu cuma formalitas seenggaknya mencegah satu hal kecil terlewat."

"Mungkin."

Rylie melirik Adel yang kini berjalan di sampingnya. Gadis itu bukan teman yang baik dan setia, akan tetapi masih bisa ditanyai. "Kamu mutualan enggak sama Sofi?"

"Enggak. Kamu?"

"Aku juga enggak."

"Lalu kenapa?"

"Kupikir semua siswa yang berteman dengan Sofi di sosial media akan ditanyai soal hubungan mereka," katanya sambil mencoba menyembunyika getaran dalam suaranya. Meski mencoba bersikap sesantai mungkin ternyata menanyakan hal ini tetap membuatnya takut.

"Bisa jadi sih. Apalagi sempat ramai di sosial media semalam." Adel mengangguk sambil mengusap ujung dagunya.

"Menurutmu ada kemungkinan enggak sekolah ini bakalan menutup masalah ini?"

"Menutup gimana?"

"Ya, karena kejadian ini kemungkinan benar-benar percobaan bunuh diri maka untuk menjaga citra sekolah kita makanya diakhiri begitu saja."

Adel mengangguk lagi. "Bisa jadi sih. Lagi pula, tidak ada kemungkinan penganiayaan atau sejenisnya maka tidak ada alasan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut."

"Iya, aku berharap sekolah kita segera kembali normal."

"Aku juga, Ry."

Setelahnya mereka lebih banyak diam. Rylie sendiri tidak ingin memulai obrolan dan mungkin Adel pun sama. Rylie melirik sekilas saat melewati lapangan basket. Anggota klub basket kini sedang berlatih di sana. Hari ini memang katanya tidak ada pelajaran, akan tetapi para siswa tidak diperbolehkan pulang sebelum jam pulang sekolah nanti. Melihat hal itu mendadak dia merasa iri. Anak-anak cowok itu punya kegiatan untuk mengisi waktu luang sebelum pulang, sedangkan dirinya mungkin hanya bisa menatap layar ponselnya sampai beberapa jam ke depan sambil menahan rasa gatal untuk tidak membuka SweetTalk dan membalas pesan yang sejak kemarin berjejal di direct message akun tersebut. Ah, dia bisa saja ke perpustakaan dan menghabiskan waktu di sana. Benar, membaca pasti bisa membuat waktu lebih cepat berlalu. Namun, semua susunan rencana di kepalanya mendadak buyar kala Adel menyentuh lengannya.

"Kenapa?"

"Kita nonton mereka latihan dulu yuk!" ajak Adel sambil menunjuk ke lapangan basket.

"Hah? Ngapain?"

"Kan jam kosong nih, lumayan kan buat habisin waktu," bujuk gadis itu.

Rylie sekarang mengarahkan pandangan ke lapangan basket yang mulai ramai. Puluhan siswa perempuan kini duduk di pinggir lapangan untuk menonton. Mungkin mereka ingin berlama-lama memandangi anggota tim basket sekolah yang terkenal tampan dan cowok banget itu. Bukan hal yang aneh juga kalau dirinya dan Adel ikut bergabung.

"Ayolah, Ry! Sekali-kali!"

Rylie belum sempat mengatakan apa pun kala Adel menarik paksa tangannya. Ya, sudahlah, toh hanya karena jam pelajaran dikosongkan. Kalaupun dia ke perpustakaan, belum tentu juga bisa berkonsentrasi saat pikirannya penuh seperti sekarang. Adel mengajaknya ke pinggir lapangan dan duduk di sana.

Permainan basket terus berlanjut bersama sorak-sorai murid perempuan di pinggir lapangan. Dia tidak mengenal semua orang, akan tetapi dia yakin pasti beberapa dari mereka menghubungi SweetTalk demi curhat masalah percintaan dengan anggota tim basket. Meski seingatnya anggota tim basket itu tidak pernah curhat masalah asmara padanya. Ya, mungkin semacam cinta bertepuk sebelah tangan. Rylie tersentak kala ponselnya bergetar di saku celana. Satu pesan dari papanya mengambang di layar. Jantungnya berdebar kencang kala ujung jarinya mengetuk layar dan senyuman langsung mengembang di bibirnya dia membaca pesan yang tertulis di sana.

"Pak Handoko bilang kalau pihak sekolah akan menutup kasus ini sebagai kecelakaan biasa saja."

"Yes! Akhirnya!"

"Apanya?" Adel ini menoleh dan menatap dengan kening berkerut.

"Bu—bukan apa-apa!" kilahnya berbohong sambil mencoba memupus senyuman.

"Ih, apa sih? Kasih tahu dong!" rengeknya sambil menggoyangkan lengan Rylie. Tindakan yang membuat Rylie mendengus pelan dan menahan sebal.

"Papa tadi ngajak makan malam bareng," katanya berbohong lagi.

"Ah, kirain apa," sahut Adel sambil menarik tangannya dari lengan Rylie dan kembali menonton.

"Ya, bukan apa-apa juga, kamunya aja aneh dan mau tahu urusan orang lain!" gumamnya nyaris tanpa suara.

Rylie masih sibuk menjejalkan ponselnya kala teriakan terdengar di sekitarnya. Dia baru saja mendongak kala wajahnya terhantam sesuatu yang keras. Tidak membutuhkan waktu lama sampai hantaman lain terasa di bagian belakang kepalanya. Suara teriakan itu mendadak reda berganti dengan dengingan kencang yang bergema di telinga. Rylie mengerjap ketika menyadari sekarang dirinya menatap pemandangan berwarna biru dengan noktah-noktah putih. Ah, dia ternyata dia menatap langit dan awan-awan. Apa terjadi gempa bumi makanya langit bergetar seperti sekarang dan semuanya terasa bergoyang?

"Kamu enggak apa-apa?" Sebuah suara maskulin yang asing terdengar.

Mendengar suara sapaan yang ditujukan entah untuk siapa itu membuat Rylie mengerjap. Pemandangan biru itu berubah jadi sebentuk wajah seorang pemuda kala dia mencoba menutup kelopak mata dan membukanya lagi beberapa detik setelahnya. Kening di wajah pemuda itu terlipat sementara manik matanya menyiratkan kekhawatiran. Ah, semua ini pasti hanya khayalannya. Gempa bumi ini sampai membuatnya berhalusinasi.

SweetTalkWhere stories live. Discover now