SweetTalker (28)

982 240 2
                                    

Rumah Sofi terlihat sepi, akan tetapi sepertinya tidak kosong. Rylie langsung mendekati satpam penjaga gerbang depan dan mengatakan niatnya untuk bertemu pemilik rumah. Pria itu terlihat sedikit ragu, akan tetapi Rylie berusaha meyakinkan kalau dirinya tidak akan lama-lama berkunjung dan bukan orang jahat. Dia juga menjelaskan kalau memiliki alasan mendesak hingga bertamu malam-malam begini. Pada akhirnya petugas keamanan itu mengalah untuk mengantarkannya, akan tetapi semua itu bukan jaminan kalau pemilik rumah akan menyambutnya dengan baik. Benar saja, Tante Nadia yang membuka pintu langsung mengirimkan tatapan tajam pada Rylie dan bapak satpam yang berdiri di sampingnya.

"Malam, Tante Nadia!" sapa Rylie begitu wanita itu muncul dari ambang pintu.

"Bapak kan sudah saya bilangin buat enggak sembarangan nerima tamu!" bentak wanita itu. "Lagian, ini kan sudah malam."

"Tapi, Bu, katanya mendesak dan cuma sebentar saja," ucap pria itu memberi alasan.

"Ini Rylie yang maksa, Tan. Bukan salahnya Bapak," kata Rylie menyela.

"Kamu juga, mau ngapain lagi ke sini?"

"Tan, saya mau bilang ke Tante perihal Sofi."

Kelopak mata wanita itu langsung melebar hingga bola matanya terlihat membulat. "Memangnya mau bilang apa lagi? Masih belum cukup buat ganggu orang yang sudah dikubur?"

"Rylie tahu alasan Sofi memang bunuh diri. Makanya Rylie datang ke sini sekarang buat ngasih tahu ke Tante Nadia."

"Saya juga sudah tahu alasan anak saya bunuh diri. Alasannya itu kamu dan akun instagram sialanmu itu, jadi apalagi yang mau kamu katakan?" hardik Tante Nadia.

"Oke, saya akui soal itu. Tapi, mungkin Tante enggak tahu kalau Sofi minum obat—"

"Usir dia dari tempat ini, Pak!"

"Tan, dengarkan Rylie dulu! Tante harus tahu soal ini!"

"Ayo, Neng!" Lelaki itu menarik lengan Rylie dengan paksa. Sementara wanita itu kini bergerak masuk kembali ke dalam rumah dan langsung membanting pintu.

"Tan! Tante Nadia!" pekiknya meski lelaki kekar itu menariknya dengan paksa.

"Tolong, jangan teriak-teriak sudah malam!" kata pria mengingatkan. Nadanya halus, akan tetapi ada ancaman yang kentara dalam suaranya.

Saat tidak ada harapan lagi untuk bertemu dengan wanita itu, Rylie melirik pria yang kini mencekalnya. "Saya bisa jalan sendiri!"

"Lebih baik pulang saja, Neng!"

"Iya, ini mau pulang. Jadi tolong dilepasin ya, Pak!" sungutnya sambil mengibaskan tangan pria itu.

Saat lelaki itu melepaskannya, Rylie langsung berpamitan dan memesan taksi untuk pulang. Dia akan pulang sekarang, akan tetapi akan kembali besok lagi. Meskipun Tante Nadia menolak, memukul atau bahkan membunuhnya, dia memang harus datang ke tempat ini lagi. Selain itu, dia tidak bisa berhenti begitu saja karena sudah berdusta pada Mama dan membohongi Ivar. Padahal dia sudah berjanji pada pemuda itu untuk tidak pernah datang ke rumah Sofi lagi. Namun, menyerah demi Ivar dan menghilangkan kesempatan ini rasanya bukan pilihan yang bijak. Apalagi saat melihat berita heboh yang melabelinya sebagai murid vulgar dan tidak bermoral, rasanya dia harus bergerak lebih cepat dari sebelumnya sebelum ada berita lain yang mengatakan dia pembunuh. Dengan keyakinan itu, Rylie naik taksi yang akan membawanya pulang ke rumah.

Keesokan harinya, Rylie benar-benar kembali. Satpam yang berjaga di luar langsung mendekatinya dan memintanya pergi sambil mengatakan kalau pemilik rumah tidak ingin menemuinya. Namun, Rylie belum menyerah untuk menemui wanita itu dan memilih menunggu berjam-jam di depan rumah itu. Rylie tidak peduli, meski satpam rumah itu juga mengabaikannya dan mungkin menganggapnya tidak ada demi menghindari masalah. Selama menunggu, dia memesan makanan dan minuman untuk mengisi perut, selebihnya dia memilih diam saja dan memainkan ponselnya. Namun, sampai matahari terbenam, tidak ada tanda-tanda pemilik rumah akan keluar jadi Rylie memutuskan untuk pulang dulu karena pada Mama dia beralasan pergi dengan Ivar. Sedangkan pada Ivar dia bilang akan tidur seharian dan tidak mau diganggu. Jadi membuat mereka curiga jelas bukan pilihan yang tepat saat ini, untuk itu Rylie memutuskan pulang saja saat menyadari kalau tidak ada gunanya lagi berdiri di depan rumah Tante Nadia lebih lama lagi.

Rylie mengulang lagi aktivitasnya mendatangi rumah Sofi pagi-pagi sekali karena hari ini hari Minggu. Satpam yang kemarin mengabaikannya kini bergerak mendekat. Rylie bersiap-siap untuk memegang jeruji gerbang dengan kedua tangan, demi berjaga-jaga kalau dirinya diusir paksa.

"Rajin bener, Neng. Enggak ada PR atau kerjaan di rumah?" tanya pria itu, di luar dugaan bertanya dengan nada cukup ramah.

"Ini pekerjaan saya sekarang," sahutnya sarkas.

"Kalaupun datang pagi-pagi Bu Nadia enggak akan keluar, Neng. Apa enggak capek?"

"Memangnya saya bisa capek kalau masa depannya saya dipertaruhkan?" sahutnya dengan kepala tertunduk, lebih pada dirinya sendiri ketimbang menjawab pertanyaan pria itu.

"Bapak tidak tahu ada masalah apa, tapi sepertinya hari ini kesempatan terakhir, Neng."

"Maksudnya? Memangnya Tante Nadia mau ke mana, Pak?"

"Rumah ini sudah dijual."

"Terus Tante Nadia mau pindah?"

"Sepertinya sih begitu."

Jika ada berita yang lebih buruk dari sekedar petisi maka pindah rumah ini adalah sejenis pesan pembawa kematian. Semua yang dilakukannya akan sia-sia kalau wanita itu pergi keluar dari rumah itu, sedangkan dirinya tidak tahu alamat barunya. Selain itu, kalau rumah ini dijual artinya papanya Sofi juga tidak akan tinggal akan tinggal di sini, entah memang sudah pindah sejak awal atau masih ada di rumah itu sampai saat terakhir. Namun, intinya dia akan kehilangan jejak kedua orang itu. Sialnya, mereka tetap bisa menuntutnya, sementara dirinya tidak bisa melakukan apa pun. Sialnya, dia sudah skak mat bahkan sebelum pionnya sempat bergerak. Tidak, tidak, semua tidak boleh berakhir begini.

"Kalau boleh tahu Tante Nadia pindah ke mana ya, Pak?"

"Soal itu, Bapak kurang tahu, Neng."

Sial! Jemari Rylie yang semula mencengkeram jeruji kini terkulai.

Tapi, tunggu. Kesempatan terakhir katanya. Maka artinya masih ada kesempatan. Rylie menatap wajah pria itu lekat-lekat dan menelan ludah sebelum melontarkan pertanyaan.

"Tapi, Tante Nadia belum pergi, kan?"

"Belum."

"Kalau begitu, tolong izinkan saya masuk, Pak."

Ada kekagetan yang kentara dalam ekspresi pria itu. Namun, pria itu bereaksi cepat dengan menggeleng. "Saya bisa dipecat, Neng."

"Lho, tadikan Bapak bilang kalau rumah ini dijual maka artinya pemilik rumah ini bukan lagi mereka. Entah Bapak diperkerjakan oleh pemilik baru atau tidak artinya tindakan Bapak tidak akan memberi pengaruh apa pun, kan? Lagi pula, majikan Bapak sudah bukan lagi Tante Nadia. Benar begitu, kan?"

Hujaman pertanyaan Rylie yang panjang lebar itu membuat pria itu menggaruk kepala berulang kali lalu menatap ke dalam rumah lalu menunduk. Sepertinya semua pertanyaan itu tepat sasaran. Pria itu mendesah lalu gantian memandangi Rylie.

"Bapak tidak bisa mengizinkan Eneng masuk—"

"Tapi, Pak. Tolongin saya, saya mohon!" potong Rylie tidak sabar.

Pria itu mendesah. "Bapak bisa kasih kode kalau Bu Nadia mau keluar rumah. Bagaimana?"

Rylie memikirkannya sejenak. Bukan tawaran yang buruk. "Terima kasih, Pak."

"Sama-sama, Neng. Semoga berhasil kali ini!" kata pria itu sebelum melenggang pergi.

Rylie mengangguk lalu tersenyum. Benar-benar berterima kasih dengan dengan bantuan yang didapatkan dengan cara tidak terduga. Tentu saja, dia masih merasa bersalah pada pria itu karena sempat marah-marah. Akan tetapi, dia akan meminta maaf nanti jika masalah ini selesai.

Sambil menunggu, Rylie sudah selesai membaca sekitar sembilan bab buku misteri yang dibelinya bulan lalu. Selama itu, dia sudah melirik ke arah pos satpam lebih dari tiga puluh kali dan hanya disambut dengan gelengan. Namun, kode itu akhirnya datang menjelang tengah hari ketika dia menggulir layar ponsel untuk membaca bab berikutnya.

Rylie buru-buru menoleh ke dalam, benar saja wanita yang ditunggunya kini sedang berjalan keluar dari teras dan hendak masuk ke dalam mobil. Melihat hal itu, Rylie langsung menjejalkan ponselnya ke dalam tas secara serampangan lalu bergerak cepat menuju pos satpam. Dia tidak boleh melewatkan satu menit pun, kalau tidak ingin kehilangan wanita itu.



Note: Cuma pecahan dari chapter 27, biar enggak terlalu padat dan memusingkan buat dibaca. Selamat membaca, semoga suka ^^

SweetTalkDonde viven las historias. Descúbrelo ahora