SweetTalker (8)

2.1K 469 22
                                    


Tubuhnya mulai menggigil dan jantungnya berdebar kala membaca deretan kalimat yang tadi dibukanya di bagian pesan. Sudut bibirnya berkedut pelan kala hatinya rasanya seperti melesak ke dalam lubang hingga membuatnya menggigil. Tangannya mengucek mata berulang kali, akan tetapi tulisan di layar ponselnya tidak kunjung berubah. Benar-benar ada pesan yang menyiratkan tuduhan secara terang-terangan. Tidak ada yang tahu soal ini selain dirinya dan Sofi. Lalu dari mana pengirim pesan ini tahu kalau kasus Sofi ditutup begitu saja? Padahal informasi soal ini baru diterimanya beberapa jam lalu, itupun karena papanya menyewa pengacara makanya dia mendapatkan informasi ini. Jadi kemungkinan belum banyak murid yang tahu soal fakta ini. Kalau begini maka siapa sebenarnya pengirim pesan teror ini?

Pekikan pelan meluncur dari mulutnya saat dia bergerak bangun dari tidurnya karena matanya mendadak perih. Ughh, dia benar-benar lupa kalau Ivar sejak tadi memegangi kantong es di keningnya hingga gerakan tiba-tiba tadi membuat kantong es itu memukul matanya. Dia langsung memegangi matanya dengan satu tangan.

"Kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Ivar sambil menaruh kantong es di atas nakas lalu menarik tangan Rylie.

Rylie menggeleng. "Maaf, tadi aku langsung bangun. Lupa kalau kamu pegang kantong es."

"Enggak masalah. Tapi, matamu enggak kenapa-napa, kan?" Ivar benar-benar terdengar khawatir.

"Cuma agak perih, tapi enggak apa-apa."

"Sini aku lihat."

"Enggak usah!" tolak Rylie sambil menepis tangan Ivar yang hendak menyentuh dirinya.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Rylie menggeser tubuh dan bergerak turun dari ranjang. Dia melirik tas miliknya yang sudah diambilkan oleh Ivar, artinya dia tidak perlu kembali ke kelas dan bisa langsung pulang saja.

"Kamu mau ke mana?" Kali ini Ivar benar-benar memegangi lengan Rylie.

"A—aku mau pulang."

"Gimana kalau kamu istirahat dulu saja di sini!"

"Enggak, aku mau pulang sekarang!" Rylie menegaskan sambil lagi-lagi mencoba melepaskan pegangan Ivar.

"Oke, oke, kita pulang sekarang!"

"Aku bisa pulang sendiri," tolaknya lagi.

"Enggak. Aku antar kamu pulang!" Ivar kembali bersikeras.

Rylie mengangkat pandang untuk menatap Ivar. Pemuda itu juga memandanginya tanpa berkedip, sepertinya dia mau mengalah untuk urusan pulang, akan tetapi tetap ngotot untuk mengantar. Rylie mendesah, sepertinya tidak ada pilihan lain untuk persoalan ini. Meski begitu, kalau dipikir ulang akan lebih untung kalau diantar pulang oleh Ivar karena rasa malunya akan sedikit berkurang kalau pergi berdua. Benar, pulang bersama tidak ada ruginya.

"Rylie!" Suara Ivar terdengar tenang, akan tetapi cengkeraman jemarinya di lengan Rylie rasanya lebih erat dari sebelumnya.

"Ya sudah, ayo kita pulang!" Rylie akhirnya mengiyakan.

"Kamu masih pucat lho, yakin mau pulang?"

"Iya."

"Baiklah," kata Ivar sambil melepaskan tangannya dari lengan Rylie.

Ivar langsung mengambil tas miliknya yang ternyata sudah sekalian diambil dan menyampirkan selempangnya di bahu. Sementara tas milik Rylie digendong di bagian depan. Ivar menolak mentah-mentah kala Rylie memohon untuk membawa tasnya sendiri. Pemuda itu mendadak jadi overprotective pada tas orang lain jadi Rylie akhirnya memilih mengalah karena Ivar terus mengingatkan kalau dirinya sedang terluka dan sakit sekarang jadi memang perlu bantuan orang lain.

Setelah berpamitan pada dokter Hira, mereka memutuskan untuk pulang. Hanya saja, kepercayaan dirinya langsung musnah ketika melangkah keluar dari ruang kesehatan. Baru juga satu langkah sudah membuatnya ingin mengubur diri sendiri. Apalagi ketika melihat banyak siswa duduk yang berkeliaran di dekat ruang kesehatan. Kemungkinan makin banyak orang di sekitar lapangan basket atau koridor. Lalu bagaimana caranya dia melewati semua orang dengan wajah babak belur begini? Pasti dirinya akan ditatap dan ditertawakan. Tangannya mengepal saat dirinya mencoba mengumpulkan tekad agar bisa mengabaikan semua itu. Rylie nyaris berjingkat kala kain besar jatuh di atas kepalanya dan menutupi wajahnya. Namun, Ivar berbisik pelan saat dia hendak menyingkapkan benda itu.

"Itu jaketku, kamu pakai saja dulu!"

"Tapi, gimana aku bisa jalan?" sanggah Rylie cepat. Dia tidak bisa melihat apa pun karena jaket milik Ivar kini menutupi wajahnya.

"Kamu bisa pegangan sama aku!"

"Pegangan ke mana? Tasmu di sebelah mana?" Rylie mencoba mencari tas gendong Ivar yang bisa digunakan sebagai satu-satunya sarana untuk mencari jalan.

"Di sini!" bisik Ivar pelan.

Ada desiran pelan seperti kupu-kupu yang mengepakkan sayap di dalam perutnya kala tangannya bukannya menyentuh permukaan tas, akan tetapi bersinggungan terlebih dahulu dengan kulit Ivar. Napasnya tertahan dan kupu-kupu di perutnya langsung terbang kala pemuda itu menelusupkan jemarinya di sela-sela jarinya. Saat Rylie hendak memprotes, Ivar malah mengetatkan pegangannya. Sepertinya percuma saja kalau dia memaksa untuk melepaskan pegangan karena Ivar salah satu jenis yang sulit dilawan. Sialnya lagi, debaran jantungnya juga mulai liar di situasi seperti ini.

"Kita pergi sekarang?" tanya pemuda itu lagi.

"I—iya."

Akhirnya, Rylie memilih pasrah saja kala Ivar mengajaknya berjalan sambil memegangi tangannya. Mungkin banyak mata akan memandang aneh padanya atau Ivar, akan tetapi yang terpenting dia tidak melihatnya. Dia hanya perlu berjalan dan menatap beton di bawah kakinya untuk sekedar memastikan kalau dirinya masih ada di bumi bukannya melayang ke langit. Dia mencoba menghitung setiap langkah yang diambil, akan tetapi langsung gagal karena debaran jantungnya yang mulai menggila. Saat akhirnya Ivar melepaskan pegangannya, ada rasa kecewa yang mendadak muncul.

"Kita sudah sampai jadi kamu bisa buka jaketnya!" kata pemuda itu.

Ivar tetap membantunya melepaskan jaket yang menutupi kepalanya meski dia mengatakan semua itu. Lagi-lagi Rylie merasa kecewa saat aroma citrus bercampur grapefruit yang muncul dari jaket Ivar tidak lagi bisa dihidu lebih lama lagi. Apalagi setelah jaket terangkat, Rylie menyipitkan mata karena mendadak tidak terbiasa dengan cahaya berlimpah dan jadi silau.

"Masuklah, aku antar pulang!" kata Ivar lagi sambil membuka pintu mobilnya.

"Engg—enggak, aku bisa pulang sendiri," tolak Rylie sambil menggeleng beberapa kali.

"Akukan harus minta maaf sama orang tuamu kalau aku bikin putri kesayangannya babak belur."

"Itu enggak perlu!"

"Naik saja!" Ivar sepertinya benar-benar membenci penolakan karena pemuda itu langsung mendorong tubuh Rylie dari belakang. Tidak terlalu keras, hanya saja cukup untuk memberi peringatan kalau Ivar ingin dia naik ke mobil sesegera mungkin.

"Ya sudah," sahut Rylie akhirnya.

Saat dia hendak masuk ke dalam mobil, Ivar langsung menaruh tangannya di atas kepala Rylie. "Hati-hati!"

Pemuda itu melakukannya sampai Rylie duduk di dalam mobil. Ivar juga membantunya memasang sabuk pengaman dan menutup pintu mobil hingga Rylie tidak perlu melakukan apa pun. Ketika Ivar sedikit berlari melewati bagian depan mobil, Rylie langsung menunduk untuk menyembunyikan pipinya yang mulai memanas. Mendapatkan perlakuan super istimewa dari cowok yang tidak terduga itu membuatnya kembali berdebar-debar. Tidak, debaran jantungnya bahkan lebih cepat dari sebelumnya. Rylie menyembunyikan senyuman saat dia menambahkan lagi satu hal baik dalam list yang dibuatnya tentang Ivar dan mengakhirinya dengan satu kesimpulan. Ivar sempurna dan tidak bercela hingga rasanya tidak mirip manusia.

SweetTalkKde žijí příběhy. Začni objevovat