SweetTalker (16)

1.4K 336 31
                                    


Selama dua hari Rylie hanya terus menangis dan menangis. Pipi dan lengannya juga berdarah karena terlalu banyak digaruk. Dokter mengatakan tidak ada yang salah dengannya, semua itu hanya efek shock karena ada seseorang yang meninggal di sekolahnya. Orang tuanya memang mengabulkan keinginannya untuk pulang esok harinya setelah dirawat semalam dan berkonsultasi dengan psikiater. Akan tetapi, mereka mungkin belum tenang jadi Papa bilang kalau sudah membuat janji dengan psikiater yang sesi konsultasinya harus diikuti Rylie setiap satu minggu sekali.

Selama itu, dia diam-diam membuka ponsel dan membaca semua hujatan di akun SweetTalk itu. Follower akun curhat itu berkurang nyaris setengahnya padahal dia sudah sangat berusaha untuk membesarkan akun itu selama ini. Kalaupun ada follower baru, mereka semua adalah akun-akun yang menginginkan tontona keributan. Semua hal yang dimilikinya mendadak hilang dalam semalam gara-gara kematian Sofi yang mendadak viral. Sekarang semua orang menuding, menghujat dan mengharapkannya mati saja. Seolah-olah dia malaikat pencabut nyawa yang membuat gadis itu meninggal. Padahal kenyataannya tidak begitu. Namun, suara-suara di dalam kepalanya juga sering berkhianat. Suara itu membenarkan perkataan orang-orang yang jahat padanya. Hanya saja, dia tidak bisa mengatakan apa pun pada orang tuanya.

"Sayang, Papa mau ngobrol. Apa Papa boleh masuk?" Suara Papa terdengar dari luar.

Rylie tidak menjawab. Akan tetapi, pria itu tetap mendorong pintu dan masuk ke dalam kamar. Ranjangnya terasa bergoyang sedikit, akan tetapi Rylie tidak ingin mengalihkan matanya dari langit-langit.

"Kamu dengar Papa kan, Rylie?" Papa kali ini mengusap kepala Rylie.

Rylie menoleh dan menatap wajah papanya lekat-lekat. Pria itu masih tersenyum padanya dan membantunya bangun karena ternyata di tangannya ada segelas susu—mungkin titipan Mama. Rylie menerima gelas susu itu dan meminumnya pelan-pelan. Rasa hangat dan manis itu pecah di dalam mulutnya. Hanya saja, cairan itu tidak membuatnya merasa lebih baik.

"Sayang!" Papa membuka suara lagi. Namun, Rylie tidak mengeluarkan suara sebagai jawaban.

"Rylie sayang!"

"Bicara saja, Pa!" kata Rylie setelah berhenti minum dan mengusap bekas susu yang menempel di bibirnya.

"Ini soal kejadian di sekolah," kata Papa tanpa basa-basi.

Rylie mengetatkan pegangan di permukaan gelas sambil sesekali melirik ke arah jendela. Selama itu, debaran jantungnya terus menanjak naik. Napasnya tercekat saat dia ingin mengatakan sesuatu sebagai jawaban.

Papa terdengar mendesah kasar lalu menepuk kepala Rylie. "Kamu tahu kan kalau Papa sama Mama itu pasti percaya sama kamu?"

Dia mengangkat pandang dan menatap wajah papanya. Mata pria itu juga memandang lurus kepadanya, tidak ada keraguan di dalamnya. Papa benar-benar bersungguh-sungguh dengan hal yang dikatakannya barusan.

"Iya, Rylie tahu," gumamnya nyaris tanpa suara. Dia kembali menunduk dan menjatuhkan pandangan pada tepian kasur.

"Papa juga enggak akan menyalahkan kamu, semua orang pasti punya kesalahan. Apalagi di usia kamu sekarang. Tapi, kita bisa belajar dari kesalahan-kesalahan itu. Tidak mengulangi kesalahan yang sama dan berbenah lebih banyak setelahnya."

Tatapannya kini berpindah pada gelas susu yang kini tergenggam di atas pangkuan. Dia tahu kalau papanya benar, semua orang bisa melakukan kesalahan. Hanya saja, rasanya semacam karena nila satu titik maka rusak susu sebelanga. Karena satu kesalahannya semuanya jadi terasa salah. Dirinya salah, hidupnya pun jadi terasa salah karena banyak orang yang berharap kalau dirinya mati saja.

"Sekarang Papa tanya sama kamu, apa kesalahan terbesarmu?"

Rylie meneguk ludah mengusap tengkuk dengan satu tangan. Papa bilang kalau tidak menghakimi, akan tetapi kenyataannya dirinya tetap dipersalahkan.

SweetTalkWhere stories live. Discover now