SweetTalker (29)

1K 244 12
                                    

Jantung Rylie berdebar kencang di dalam dada kala mobil itu akhirnya bergerak menuju gerbang. Saat gerbang belum terbuka sepenuhnya dan mobil berhenti agar bisa lewat, tungkainya langsung memelesat. Tubuhnya meliuk dengan cepat di celah yang terbentuk dan Rylie langsung menuju bagian samping mobil. Tanpa membuang lebih banyak waktu, dia langsung mengetuk bagian kacanya. Namun, wanita di dalam mobil tidak menoleh. Wanita itu bahkan memerintahkan agar sopir segera mengemudikan mobilnya.

Rylie langsung bergerak lebih cepat dan langsung berdiri di depan mobil. Dia sudah siap jika wanita dan sopir di dalamnya cukup nekat untuk menabraknya. Sejak awal dia sudah bertekad, tidak masalah meski Tante Nadia mungkin akan membunuhnya. Untuk itu, Rylie merentangkan tangan serta bersiap untuk semua kemungkinan terburuk. Matanya seketika memejam kala bunyi roda yang dihentikan paksa berdecit memenuhi udara. Namun, tidak ada gerakan apa pun selanjutnya dan dia tidak merasakan sakit jadi Rylie memberanikan diri untuk membuka mata dan mengintip.

"Kamu mau mati?" pekik Tante Nadia sambil membanting pintu mobil.

Senyuman mengembang di bibir Rylie. Akhirnya wanita itu keluar.

"Kalau Tante enggak bisa dengerin saya sekali ini saja maka saya mati, Tan."

"Jangan banyak alasan kamu. Minggir sana!"

"Enggak."

"Kalau begitu, saya enggak tanggung jawab kalau kamu kenapa-napa," sahut wanita itu sambil berkacak pinggang dan berbalik meninggalkan Rylie. Sepertinya sudah bersiap-siap untuk pergi.

"Prozac!"

Langkah wanita itu langsung berhenti dan dia menoleh. "Apa?"

"Obat yang dikonsumsi Sofi. Tante tahu, kan?" tanya Rylie sambil membuka tasnya dan mengaduk isinya. Dia mengambil botol obat yang dipersiapkannya sejak kemarin dan kini dia mengangkatnya. "Ini namanya Prozac, Tan. Obat antidepresan."

Wajah wanita itu terlihat membeku. Ekspresinya tidak terbaca. Namun, sudut bibirnya berkedut sedikit. Hal yang membuat Rylie yakin jika tebakannya benar dan tepat sasaran.

"Itu enggak benar."

"Enggak benar apanya? Merk obatnya atau kenyataan kalau Sofi meminum obat semacam ini?"

"Jangan main-main sama saya!" ancamnya.

"Oke, kalau begitu saya simpulkan jika obat ini milik Sofi."

"Bukan!"

"Kalau bukan punya Sofi, memangnya Tante bisa jelaskan soal perubahan sebelum kematian Sofi? Lalu perubahan pola makan? Semua makanan yang Tante sebutkan itu baik buat depresi, kenapa bisa begitu?"

"Kamu mengada-ada!" sahut wanita itu.

"Tuna itu mengandung banyak protein yang membuat manusia lebih waspada. Selain itu, ada selenium yang bisa menangkal depresi," ucap Rylie sambil melangkahkan tungkainya untuk mendekati wanita itu.

Tante Nadia tidak bergerak, dia masih membelakangi Rylie. Jadi, dia mengambil langkah labih panjang agar bisa segera sampai di depan wanita itu secepatnya.

"Bayam mengandung asam folat dan triptofan yang bisa meningkatkan level serotonin. Serotonin itu sendiri adalah neurotransmitter yang ada di otak dan usus dan terkait dengan kesehatan mental. Hormon ini juga berfungsi untuk mengatur tidur, nafsu makan, dan mood," katanya mencoba mengatakan semua hal yang dibacanya sejak kemarin. "Menurut Harvard Medical School, beberapa orang yang menderita depresi mungkin memiliki kadar serotonin yang terlalu rendah. Inilah mengapa inhibitor reuptake serotonin selektif seperti Prozac digunakan dalam pengobatan depresi, karena obat ini dapat meningkatkan kadar serotonin di otak." Rylie mengakhiri penjelasan panjangnya dengan berdiri di depan wanita itu. "Dari pola makan yang Tante jelaskan tempo hari, bukankah itu menegaskan kalau Prozac ini memang milik Sofi. Benar begitu kan, Tan?"

Tangan wanita itu mengepal. Bibirnya mengatup rapat sementara matanya menatap permukaan conblock di bawah kakinya. "Penjelasan panjang lebarmu itu enggak ada hubungannya. Kamu cuma mendongeng!"

"Prozac adalah obat antidepresan yang dipakai buat mengobati depresi dan gangguan mental atau mood disorder. Obat-obatan ini katanya dapat mencegah penderita memikirkan soal bunuh diri dan kalau Sofi mengonsumsi obat ini maka artinya Sofi depresi dan ada kemungkinan bunuh diri, kan?" Rylie memilih untuk tidak berhenti.

"Iya, Sofi bunuh diri. Tapi, itu semua gara-gara kamu!"

"Tante yakin?" Rylie mengangkat alis.

"Memangnya ada penjelasan lain. Kamukan yang kasih Sofi saran buat terjun dari atap sekolah?"

"Memangnya saya pernah bilang begitu, saya cuma bilang hal spektakuler—"

"Bukankah itu sama saja?" potong Tante Nadia cepat.

"Tante tahu kalau itu tidak sama artinya kan. Spektakuler itu artinya hal yang menarik perhatian atau mencolok. Tidak ada dalam KBBI yang menjelaskan kalau arti spektakuler adalah bunuh diri. Lalu kenapa, Sofi bisa mengartikan spektakuler itu sebagai mengakhiri nyawa? Bagaimana kalau sebenarnya Sofi sudah terkena pengaruh buruk obat antidepresan yang dikonsumsinya sendiri?"

"Sok tahu kamu! Memangnya kamu dokter?"

"Memang bukan, tapi saya punya rencana masa depan untuk jadi salah satunya. Makanya saya pernah baca, katanya ada penelitian menunjukkan kalau sejumlah kecil orang terutama yang berusia di bawah dua puuh lima tahun dan mengonsumsi antidepresan malah membuat gejala depresinya memburuk. Bukankah artinya Sofi bunuh diri karena pengaruh obat yang membuat depresinya jadi makin parah?"

"Saya bilang bukan maka BUKAN!" pekik wanita itu.

"Kalau bukan maka apa, Tante? Memangnya Tante bisa jelaskan foto-foto di instagram Sofi? Semuanya soal kematian, Tan. Memangnya Tante tahu betapa menderitanya Sofi kala orang tuanya hendak bercerai. Kalau mau menyalahkan saya soal membunuh Sofi, bukankah kita sama saja. Bedanya, Anda bisa berlindung di balik kedok orang tua. Lalu saya yang bukan siapa-siapa. Dibully, ditindas, dipetisi agar dikeluarkan!" Rylie menyemburkan semua rasa frutasinya yang terpendam sejak dua bulan belakangan.

"Saya bilang bukan begitu! Kamu salah! Semua itu cuma itu prangsakamu saja!"

"Kalau semua itu hanya prasangka lalu yang benar yang mana Tante? Sofi sudah mati, tapi Kenapa Tante enggak mau terima kenyataan?"

"Apa katamu? Dasar anak iblis!" Wanita itu langsung memekik mengayunkan tasnya ke kepala Rylie.

Sensasi yang sama dirasakan Rylie seperti bagian kepalanya terpukul ember beberapa waktu lalu. Bedanya, tidak ada Ivar yang menangkap tubuhnya kala dia kehilangan keseimbangan. Nyeri langsung menyerang kala lututnya membentur permukaan conblock. Namun, Rylie tidak mau kehilangan kesempatan. Dia langsung memeluk kaki wanita itu, tidak melepaskannya pelukannya meski tas di tangan wanita itu berkali-kali mengayun untuk memukuli kepala dan punggungnya.

"Saya mohon, Tan. Saya mohon bantu saya," ucapnya sambil terus memeluk kaki wanita itu. "Kalau prasangka saya salah maka tolong diluruskan. Saya mohon."

"Lepaskan! LEPAS DASAR GILA!"

Wanita itu menjerit dan menangis, akan tetapi Rylie tetap bertahan di posisinya. Dia menggeleng saat kepalanya mendadak pusing. Matanya berkunang-kunang dan mulai buram. Setiap hantaman tas itu memercikkan satu titik kuning lalu merah lalu biru. Fokus dan kontrol pada tubuhnya mulai hilang. Hanya saja, tidak boleh pingsan, dia hanya perlu bertahan sedikit lagi untuk meyakinkan wanita itu sebelum peringatan kematian Sofi. Bukankah katanya tidak ada hasil yang mengkhianati usaha, dia hanya perlu percaya itu.


Note:

Pecahan dari chapter 27 juga, biar enggak terlalu padat. Selamat membaca, semoga suka ^^

SweetTalkWhere stories live. Discover now