Ivar Side Story (6)

2K 266 23
                                    

Mawar merah di tangan Ivar masih segar. Dia sengaja membelinya tadi pagi dan berniat memberikannya pada gadis istimewanya sesegera mungkin. Namun, sesampainya di tempat ini dirinya hanya bisa terpaku. Kakinya sepertinya terpatri di tempat dan tubuhnya membeku. Matanya tidak terlepas dari deretan tulisan yang terukir di permukaan nisan. Benda hitam dengan ukiran nama dan tanggal sebagai pertanda kalau tempat ini adalah peristirahatan terakhir gadis spesialnya. Dania Sofia, tertidur untuk selamanya.

"Kamu ingat kalau kamu bilang enggak mau dikasih bunga sungguhan karena maunya bunga dalam bentuk uang?" Ivar mengangkat buket bunga di tangannya dan menatap sekilas sebelum netranya kembali menekuni permukaan nisan seolah-solah Sofi memang ada di sana.

"Kamu juga seharusnya ingat, Sof. Kalau aku pernah bilang tetap hidup dan tunggu aku sampai aku bisa membuatkan bunga uang buatmu. Tapi—" Ivar mendesah dan mengakhiri kata-katanya sendiri karena dadanya mendadak sesak. "Kenapa kamu enggak mau nunggu? Sebegitu menarikkah alam baka buatmu? Memangnya apa sih yang bisa dipandang di sana? Seneng kamu bisa membusuk tanpa teman di bawah tanah begini? Aku mau tanya, itukah namanya lubang hitam?

Senyuman kecut lagi-lagi menelusuri bibir Ivar ketika pemuda itu menarik napas pelan. "Aku kasih tahu ya, Sof. Yang kamu tempati sekarang bukan lubang hitam tapi liang lahat. Memang sih dua-duanya bikin kamu enggak bisa kembali, kamu boleh samakan kedua jenis lubang ini. Cuma maafkan aku—" Ivar tercekat. Matanya memanas dan dia mulai menggigit bibir. "Maafkan aku yang terlambat sadar kalau lubang hitam buatmu adalah di sini."

Kakinya mulai lemas dan Ivar berjongkok di samping pemakaman. Jemarinya meremas tepian nisan sementara air matanya benar-benar mengalir turun. Rasanya satu kali kehilangan tidak pernah cukup untuk menggambarkan kepergian Sofi. Gadis itu seperti bolak-balik datang dari kematian untuk melubangi hatinya. Kehilangan Sofi maka sama seperti tidak lagi memiliki teman bermain games, tidak ada lagi orang yang akan merepotkannya dan tidak ada tawa renyah sambil bicara soal kematian seolah-olah malaikat maut itu adalah kawan lama yang perlu ditemui.

"Ya, aku tahu sih kamu enggak bakalan kesepian karena kamu pasti sudah menebak kalau aku yang bakal tersiksa sendirian dan kamu bahagia dengan teori lubang hitam konyolmu itu!" katanya lagi.

Selain Sofi, Ivar juga kehilangan teman-teman dan tim basketnya sejak kejadian hari itu. Mungkin dia juga harus bermain sendirian seperti saat dia tetap melemparkan bola itu ke permukaan lapangan lalu menangkapnya lagi dan memasukkannya ke keranjang. Dia sering melakukannya sendirian ketika rekan satu timnya sudah terkapar di pinggir lapangan dengan napas terengah. Namun, baik Sofi maupun teman-temannya sekarang sudah pergi. Ivar benar-benar sendirian sekarang. Dan semua ini salahnya. Dirinya yang membuat semua orang pergi.

"Aku yakin Sofi menyesal pergi duluan, Var."

Sebuah suara terdengar tidak jauh dari posisinya sekarang hingga membuat Ivar buru-buru mendongak. Matanya langsung membola. Ivar mengerjap beberapa kali untuk meyakinkan penglihatannya. Ini pasti bohong, hanya khayalannya saja karena Rylie kini berdiri dengan membawa buket bunga di tangan. Gadis itu tidak mungkin di sini, apalagi sejak kejadian terakhir kali. Sejak Rylie nyaris dilecehkan teman-teman di tim basket dan nyaris kehilangan nyawaketika terjun dari atas. Namun, ketika Rylie bergerak mendekat meski Ivar mengucek matanya berulang kali barulah Ivar percaya kalau semua ini nyata.

"Rylie?"

"Hai!"

"Kamu ngapain di sini?"

"Nyariin kamu," katanya dengan nada datar. Gadis itu berhenti dan berdiri di dekat makam Sofi.

Ivar langsung memutar tubuh dan melipat kaki sebagai penyangga tubuhnya. Kepalanya menunduk. Kini dia bersimpuh di depan Rylie.

"Maaf, Ry. Maafin aku semua ini salahku—"

"Var, aku juga minta maaf karena aku yang bikin Sofi meninggal."

"Bu—bukan, ini bukan salah kamu. Aku yang minta maaf, Rylie. Maafkan aku!" Ivar menggeleng dan sekarang tangannya memegang pergelangan kaki gadis itu.

"Kamu ngapain sih?" tanya Rylie sambil menggeser kakinya yang dipegangi Ivar.

"Enggak, enggak, kamu enggak perlu maafin aku. Asal kamu tetap hidup. Maaf, aku egois, aku—"

"Aku juga salah, Ivar."

"Enggak, ini salahku. Kamu enggak bersalah."

"Lihat sini deh!" Rylie kini berjongkok di depan Ivar dan mengangkat dagu pemuda itu dengan satu tangannya. "Kamu enggak perlu sampai seperti ini!"

Saat Ivar mendongak, dia menemukan Rylie yang hanya berjarak beberapa sentimeter darinya. Gadis itu mengulaskan senyuman tipis. Ivar ingin melepaskan pegangannya, tetapi Rylie malah menangkup wajahnya dengan kedua tangan.

"Tapi, aku—" Perkataannya terpotong saat air matanya mengalir turun.

"Aku maafin."

"Apa?"

"Aku sudah memaafkan kamu, Ivar. Jadi sekarang giliranmu untuk mengampuni dirimu sendiri!"

"Enggak, aku enggak pantas dimaafin."

"Kalau begitu berusahalah jadi lebih baik hingga kamu bisa memaafkan diri kamu sendiri!"

Kata-kata Rylie membuatnya kehilangan kata-kata dan hanya air matanya yang menderas. Untuk kedua kalinya, Ivar benar-benar menangis. Kali pertama, dia menangisi kepergian sepupunya. Kali kedua, dia menangis untuk dirinya sendiri yang menyedihkan. Dia tidak pernah terpikir untuk memaafkan dirinya sampai sekarang. Dia ingin berusaha lebih baik seperti yang Rylie katakan.

"Apa kamu bisa bantu aku?" tanyanya dengan suara serak.

"Bantu apa?"

"Jadi lebih baik?"

"Pasti, Ivar," ucap Rylie sambil menarik Ivar dalam pelukan.

Ivar pasrah saja saat Rylie memeluknya. Pelukan itu menyadarkannya kalau ternyata dirinya tidak baik-baik saja. Dia butuh ditenangkan, dihibur dan diyakinkan kalau dirinya masih bisa bertahan meski dunianya menggelap sejak kehilangan Sofi. Saudarinya itu memang depresi dan memilih mengakhiri hidupnya sendiri, dia hanya belum bisa menerima kalau Sofi memilih pergi tanpa alasan, tanpa pamitan dan tanpa penyesalan.

Sejujurnya, dia tidak mampu menahan rasa bersalah itu sendirian, pada akhirnya memilih menyalahkan semua orang termasuk Rylie. Dia nyaris kehilangan gadis itu dan memupus sisa-sisa harapan terakhir untuk bertahan. Namun, sekarang tidak lagi. Dia tidak ingin mengulang rasa bersalah dan menyakitkan itu untuk kedua kali. Ivar membalas pelukan Rylie sambil meyakinkan dirinya sendiri kalau kali ini dia akan melakukan apa pun agar gadis ini tetap hidup, bahkan kalau perlu dia akan menukar nyawanya.



Note:

Ini side story terakhir, semoga sedikit menjelaskan dan mencerahkan buat persoalan Sofi ini ya manteman. Kalau ada saran, silakan taruh di kolom komen ya. Terima kasih banyak. Selamat membaca, semoga suka ^^

SweetTalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang