2. Lampu Merah (PAD)

11.1K 1.7K 130
                                    

Lampu Merah

Kepadatan jalan membuatku mendengkus. Di jok motor vespa hijau mudaku tidak ada yang membonceng memeluk dari belakang, layaknya orang pacaran, aku kedinginan. Apalagi, pengendara di sebelah adalah pasangan muda dimabuk asmara. Lihat saja, mereka mengobrol dan si gadis beberapa kali tidak dengar. Ingin kuceburkan ke kali mereka. Syukurlah, Tuhan masih memberiku akal yang sehat walafiat, sehingga jaket dua lapis menjadi pengganti gadis manis yang belum kutemukan untuk jadi pasangan. Ah, dasar jomlo mulai berkoar.

Di atas motor, aku membayangkan beberapa makanan enak yang semoga saja sudah menunggu di rumah. Hanya saja, mengingat telur gulung buatan Papi yang tidak ada rasanya membuatku ingin menangis. Terharu, ternyata Papi lebih buruk dibandingkan masakanku. Tidak apa-apa, semenjak Mami meninggal, aku dan Papi memang memiliki jadwal yang sudah di atas kertas. Tentang jatah memasak, membeli keperluan rumah, serta mencuci baju dan piring. Ya, meski selama setahun ini kami makan ala kadarnya. Walaupun beberapa kali membeli dari restoran juga.

Indra penciumanku mendadak tajam. Sesaat setelah ban motor berhenti di lampu merah, aku mencium bau bunga yang semerbak seperti kuburan baru.
Tidak bohong, sangat menyengat dengan siraman persis seperti bau kuburan.

Detik selanjutnya, aku dikejutkan dengan berdirinya pemuda berjaket biru donker di tengah jalan, tepat di zebra cross, sepertinya dia seumuran denganku. Pemuda itu berdiri dengan air mata mengalir, lengkap dengan ingus yang hampir jatuh dengan upilnya.
Ketika dia menatap ke arah sini, aku berpura-pura tidak melihatnya. Sesekali melirik, ih, dia masih menatapku dengan tajam seperti hendak menyantet. Aku santai, berusaha tetap tampan di atas vespa. Memangnya aku apaan? Beraninya dia menatapku, aku masih normal dan tidak akan tergoda sesama jantan. Namun, tiba-tiba dia mendekat.

"Lo lihat gue, 'kan?"

Aku diam, pura-pura tidak tahu apa-apa, meski sebenarnya aku tahu dia adalah salah satu penghuni lampu merah.

"Gue ngomong sama lo!" Dia berteriak, hampir aku membalasnya dengan semburan Mbah Dukun baca mantra.

Aku melanjutkan tetap tenang dan tidak peduli, intinya aku tidak lihat dia, hantu yang sok kenal dan sok dekat.

"Jangan pura-pura enggak lihat. Gue butuh bantuan lo. Guinandra!"
Tunggu! Dari mana dia tahu namaku?

"Dari mana lo tau nama gue?!" Seruanku didengar oleh pengendara lain, sontak aku berpura-pura mengangkat telepon, sebelum orang mengira aku tidak waras, meski kenyataannya memang begitu.

"Dari mana lo tau nama gue? Gue tau gue terkenal, tapi jangan sok deket gitu dong!" Aku mengulanginya lagi, dan dia menunjuk bodi motorku. Oh, dia tahu sebab ada stiker alay di sana dengan namaku. Ternyata aku sealay itu dengan menempelkan nama sendiri di bodi motor, mendadak jijik dengan diri sendiri.

Aku berpura-pura lagi tidak melihatnya. "Duh, bau danur." Masih akting, meski sudah ketahuan.

"Gue butuh bantuan lo." Cowok muka datar itu berucap lagi, aku masih memalingkan wajah ke arah lain. Mataku berbinar dan keluar love-love saat melihat lampu merah berubah hijau. Akhirnya, bisa kabur dari dedemit.

Ketika hendak mengegas motor, mendadak vespa-ku yang bernama Asep mogok. Kutukan apa lagi ini? Ah, pasti kerjaan hantu pucat.

Para pengendara lain di belakang sudah mengklakson beberapa kali. Aku yang sopan dan ramah lalu mengatupkan telapak tangan, tanda minta kasih sayang.

Setelah menepikan motor, aku mendelik pada pemuda yang masih saja mengikutiku. "Motor gue mogok, kerjaan lo pasti, 'kan? Mau apa, sih, lo?"

Dia menatap dengan mata sendu, drama dimulai, pasti akting.

Pingguin Anak Duda | ENDKde žijí příběhy. Začni objevovat