16. Kantor Papi (PAD)

3.4K 948 19
                                    

Kantor Papi

~~~~

"Lo bakal jadi pewaris?"

Pertanyaan dari sahabat hantuku, membuat mata melirik.

"Iya, kalau enggak mati duluan kayak lo." Plak! Kepala dipukul oleh Nael lagi, demi apa pun aku bisa gegar otak.

"Lo ngajak berantem?" seruku membalas dengan memukulkan map di kepalanya.

"Lagian lo enggak boleh mati sekarang. Urusan gue belum selesai."

Memang dia tahu takdir? "Tujuan lo apa, sih, sebenarnya? Nyiksa hidup gue?"

Nael mendengkus. "Hampir selesai."

Hampir selesai? Sungguh, penasaranku sampai tulang terdalam. Entah tujuannya apa, tetapi jika dilihat-lihat Auris memang sudah membaik. Apa mungkin ini akan segera berakhir?

"Ngomong-ngomong, lo mau kasih sebagian warisan lo ke gue?" tanyaku penasaran dengan imbalan yang katanya setimpal.

Namun, wajah Nael datar, matanya menatap tidak suka. Baik, dia mulai mengamuk lewat tatapannya, aku memilih berdeham dan tidak melanjutkan obrolan tadi.

Kini kami berada di kantor Lingga Kenway alias papiku. Pasalnya, lelaki itu tengah keluar untuk potong rambut, dan dia memintaku menunggu di ruangannya karena sedang menganggur. Sepertinya lelaki itu tengah memberi kode karena anaknya hanya menjadi beban hidupnya.

"Oh iya!" pekikku ketika mengingat sesuatu. "Minggu kemarin pas habis ngurus Raden gagal bunuh diri gue ketemu Auris di halte. Pas mau pulang ada sejenis hantu kayak lo, dan entah dia atau siapa yang bisikin gue gini, 'Aku tau kamu kenal Nael', apa itu temen lo?"

Baru selesai bertanya, Nael langsung beranjak berdiri, dia mengusap wajah dan menjambak rambutnya. Bahasa tubuhnya mengatakan kalau dia tengah gelisah. Bahkan, dia seperti sengaja tidak menatap ke arah sini.

"Bukan apa-apa, gue bosen lihat muka lo," tuturnya minta dilempar ke rawa-rawa, kenapa suka sekali membaca pikiranku.

"Gue juga bosen lihat muka lo," balasku tidak mau kalah.

"Gue enggak tau dia siapa. Intinya, lo fokus ke misi," imbuhnya kembali pada pembahasan awal.

"Misi lo bikin Auris bahagia? Lo bakal kembali ke akhirat nanti setelah selesai?"

Nael memutar tubuhnya menghadapku, jika dilihat wajahnya menjengkelkan juga. "Mungkin."

Mendengar jawabannya, ada perasaan yang entah mengapa mengusik di dada. Namun, aku tidak dapat menjelaskannya seperti apa, intinya rasanya aneh mendengar Nael akan pergi. Seperti pikiranku kembali pada hari di mana kesepian di rumah, hanya bersama Papi. Apa ini perasaan tidak dapat ditinggalkan olehnya? Yang benar saja, makhluk astral sepertinya memang pantas lenyap bukan. Apalagi ekspresinya yang sok keren.

"Udahlah, lagian Auris kelihatan baik-baik aja tanpa lo. Buktinya dia selalu ketawa sama gue." Aku meraih ponsel Papi di atas meja, lalu mengotak-atik aplikasi hijau bergambar telepon di tengah.

Mataku melebar saat melihat tulisan tebal 'Grup Arisan' ada di papan paling atas. Sejak kapan Papi ikut arisan? Tunggu, ini arisan ibu-ibu komplek. Wah, ada yang tidak beres. Aku menggulir paling atas di grup tersebut, ternyata Papi baru bergabung beberapa hari lalu.

GRUP ARISAN KOMPLEK

Bu RT: Om Lingga saya masukkan grup ya, soalnya dulu Mbak Vareta masih tercatat ikut arisan

Lingga: Saya nanti lunasi arisan mendiang istri saya, supaya bisa lega

Bu Julaeha: Kenapa enggak diterusin aja?

Lingga: Saya terlalu sibuk

Bu Teti: Padahal rame kalau ada Om Lingga

Bu Marni: Uwuuu, ada duda keren nyempil di grup chat ibu-ibu

Bu Aya: Sibuk ngapain, nih? Sibuk cari Mami baru buat Guinan? Saya ada kenalan namanya Mbak Gendis, orangnya cantik banget, mau enggak? (Foto)

Hampir saja aku khilaf ingin membanting ponsel jika tidak ingat itu milik Papi. Apalagi Bu Aya menyertakan foto kenalannya yang hendak dicomblangkan dengan Papi. Mengapa Papi harus berurusan dengan makhluk jadi-jadian. Lagi pula lelaki itu tidak perlu menggantikan Mami di arisan ibu-ibu.

"Guin, gue mau nanya sama lo ...." Tiba-tiba Nael bertanya setelah lama hening karena aku sibuk memainkan ponsel Papi. Aku pun meletakan kembali ponsel ke meja dan beralih pada pemuda itu.

"Kenapa?"

"Kenapa lo sok kuat?"

Keningku mengerut, tidak mengerti apa maksud dari pertanyaan Nael. "Maksud lo?"

"Jujur, sebelum ada gue, lo sering nangis di kamar, 'kan?"

Aku terkekeh, hal itu setiap hari kulakukan. "Terus?"

"Kenapa lo sok kuat?"

Aku memalingkan wajah, berusaha menyembunyikannya pun Nael akan tahu juga. "Karena nyokap."

Satu tahun lalu, saat Mami masuk rumah sakit dan dinyatakan memiliki penyakit jantung yang parah. Aku menemuinya di ICU, dengan tubuh gemetar dan mata yang sulit menahan benda bening. Dari sudut mata wanita cantik itu meneteskan air mata setelah melihat kedatanganku.

"Guin ...." Dia memanggil dengan lirih.

"Mi, cepat sembuh, Mi, Guinan butuh Mami." Aku mencium tangannya.

"Mami merasa enggak kuat." Mami mengatakan kalimat yang sangat benci kudengar. Itu ampuh membuat benteng pertahananku runtuh, menangis adalah hal mudah jika menyangkut seorang Ibu.

"Mami tega ngomong gitu ke Guinan?" Aku mencengkeram seprei ranjang rumah sakit.

"Kalau Mami enggak ada, kamu harus tetap jadi Guinan yang sekarang. Ceria, penuh tawa," katanya lagi.

"Mi—"

"Kalau kamu nangis, Mami juga akan nangis."

Sejak itu, aku tertawa pada dunia, meski kadang menangis untuk diri sendiri. Bahkan dunia tidak melihat di mana lukaku berada.

"Mami minta gue jadi Guinan yang ceria. Malah jadi kayak orang setengah. Keren, ya, permintaan Mami gue?" tanyaku pada pemuda yang jika dilihat matanya memerah. Tunggu! Apa Setanael dapat menangis?

"Mata gue merah karena gue kesel, lo lagi sedih aja sok ganteng. Pengen gue ketekin!"

Astagfirullah, ternyata memang tidak ada untungnya memelihara hantu seperti Nael.

.

.
****

Jadi itu alasan Guinandra ceria.

Oh iya, B E R S A M B U NG.

Lanjutan di next part. Double up nih.

Pingguin Anak Duda | ENDWhere stories live. Discover now