24. Dosa (PAD)

2.8K 874 19
                                    

Dosa

"Sampai!" Seruan itu keluar ketika aku baru saja sampai di depan rumah Pak Eros. Kali ini tidak membonceng Nael, melainkan pacarnya.

Lihat, ada banyak kemajuan, Auris tampak nyaman, atau aku yang terlalu percaya diri.
Anehnya, Nael bilang tidak akan menggangguku jika tengah bersama Auris, pantas saja dia sering menghilang. Apa dia benar-benar ingin aku memacari gadis ini? Rasanya masih aneh.

Setelah turun dari motor keren yang Papi belikan, aku melepaskan helm milik Auris yang memang kuncinya sudah sedikit sulit dilepas. Pasalnya itu helm bekas Mami.

"Guin!" pekik Auris lalu tangannya terulur merapikan rambutku yang acak-acakan.

"Kamu enggak pernah pakai minyak rambut atau spray rambut gitu?" tanyanya masih merapikan rambutku. Sungguh, jantungku berdetak kencang, sekencang kuntilanak melayang.

"Pakai, dipaksa Papi. Lagian udah ganteng tanpa spray rambut juga." Aku menyengir.

"Kenapa kamu itu suka banget muji diri sendiri?" Auris berhenti merapikan rambutku, kali ini dia yang mengibaskan rambut panjangnya ke belakang.

"Karena kalau bukan diri kita sendiri yang muji, siapa lagi?"

Auris terkekeh keras. "Kan, banyak yang ngejar-ngejar kamu. Mereka bilang Guinan itu cowok nakal tapi ganteng, nyebelin tapi lucu, ditambah suaranya yang serak–"

"Itu bukan mereka, tapi secara enggak langsung lo yang lagi muji gue, 'kan?" potongku.

Gadis itu langsung terdiam dan mengatupkan bibirnya dengan rapat. Sesekali dia menggigit bibir bawahnya, dua pipinya merona.

"Iya, enggak mungkin juga aku bilang kebalikannya." Auris mengiyakan, setelahnya dia menunduk terlihat malu.

Gemas, aku mengusap kepalanya, membuat dia menengadah lagi. Tingginya yang sebahuku membuat dia terlihat lebih menggemaskan. Pantas saja Nael sangat mencintainya, sampai kembali ke dunia ini demi dirinya.

"Lo juga cantik."

Auris tersenyum lagi, aku juga ikut tersenyum seraya menggaruk tengkuk. Mengapa rasanya jadi malu, ini kali pertama memuji gadis dengan tulus. Biasanya menggombal pun karena bergurau, perasaanku masih sama, menganggapnya pacar Nael. Apalagi dia belum tahu kebenaran antara aku dan Nael, takut-takut dia malah akan membenciku saat tahu. Ya Allah, ampuni aku yang sudah membohongi banyak orang tentang persahabatan palsu yang berawal dari pertemuanku dengan hantu di lampu merah itu. Limpahkan saja dosaku padanya, dia penyebab utamanya.

"Oh iya, tunggu sebentar." Auris masuk ke rumah, lalu kembali dengan paper bag di tangannya. "Aku mau kembaliin sepatu kamu, makasih."

"Oh, iya. Sampai lupa pernah minjemin sepatu. Suka banget minjem, waktu itu kalung Nael. Asal jangan minjem hati buat neduh doang, habis itu tinggalin. Iya, enggak?" cerocosku menjadi Guinan yang lama, berisik.

"GUIN!" Pekikan dari seorang Bapak berkacamata membuat kami terlonjak. Dengan segera aku mencium punggung tangannya.

"Siang, Om," sapaku dengan tangan memberi hormat.

Pria itu lalu berdeham. "Auris, kamu boleh masuk."

Gadis itu patuh, dia langsung masuk setelah melambai padaku.
Kini, tinggal menyisakan aku dan Pak Eros yang galaknya melebihi Emak pasar yang dagangannya tidak dibeli.

"Saya ketemu sama Papi kamu, dia baik seperti kamu. Mukanya juga mirip."

"Ya, kan, anak sama Bapak," kataku mulai mencium bau-bau ajakan berdebat.

"Ngomong-ngomong, otot Papi kamu kekar, gimana caranya bisa kayak dia tetap bugar dan gagah?"

Aku menyeringai, lalu menjawab, "Bertapa di gua bareng anak buahnya buto ijo."

"Bocah gendeng."


.

.

****

Ini emang pendek, tapi double update ya. Dan masuk konflik di next part.

Sabar-sabar ya habis ini.

Makasih banyak buat yang aktif voment. Tentu yang baca juga makasih.

Pingguin Anak Duda | ENDWhere stories live. Discover now