9. Chatting (PAD)

4.6K 1.1K 41
                                    

Chatting

Dari sekian banyaknya hari, aku hanya menyukai hari libur Papi. Namun, apa daya, justru hari itu aku memiliki jatah mengurus rumah. Lama-lama aku akan berubah jadi babu.

Sejak tadi aku menjemur baju dan ditemani sahabat tidak ada akhlak yang hanya bisa menonton. Dia baru pulang pagi ini sehabis pergi ke kuburannya mungkin.

"Kan gue roh, ngapain jemur baju?" Lihat, Setanael mulai menyahut.

Kalau dilihat-lihat, cowok menjemur cucian, menyapu, mengepel, ketampanannya meningkat 150%. Apalagi memakai sendal jepit ditambah kaus hitam dan celana jeans, dijamin para gadis kejang-kejang.

"Bukan ilfeel?"

Aku melirik kesal pada hantu ingusan di sebelah. "Bisa enggak, sekali aja jangan nyaut?"

"Kagak."

Astagfirullah, tabah, sabar, agar tanah semakin lebar.

"Semalam Auris masih wawancara," ungkapku mengalihkan topik. Jujur, bosan ditanyai tentang cowok muka tembok itu oleh Auris. Beruntung aku baik hati.

"Dia nanya apa lagi?" Nael langsung mendekat, tentang Auris saja paling depan.

"Dia nanya, kenapa gue bisa ke panti dan ngaku sahabat lo, tapi bisa enggak kenal Auris."

Terlihat Nael membelakakkan mata, sudah pasti dia terkejut dengan pertanyaan pacarnya. Tentu Auris curiga, pasalnya ada pemuda tampan sepertiku ke panti dan mengaku sahabat baik Nael, tetapi tidak mengetahui Auris itu siapa.

"Gue lupa enggak mikir ke sana," katanya seolah merasa bodoh, padahal memang iya.

"Gue tau, yang namanya bohong ada aja cara ketahuannya. Untung gue pinter, gue jawab aja kalau lo belum pernah nunjukin muka cewek lo, takut direbut."

Nael langsung menepuk kepalaku dua kali, kenapa rasanya geli. Memang aku gadis manja yang suka ditepuk kepalanya dengan mesra.

Sontak, tanganku menepisnya. "Gue enggak suka, ya, lo sok akrab gitu. Jijik gue."

Nael menatap kesal, lalu menjawab, "Gue lebih jijik."

"Cowok ganteng!"
Allahu Rabbi, lagi-lagi Mbak di pohon belakang rumah mengajak bicara.

"Apa? Naksir sama Nael?!" tanyaku membuat hantu sok tampan langsung mendecak.

"Boleh ganteng!" Mbak Kunti menjawab dengan semangat.

"Maaf, saya tidak menyukai sesama jenis setan. Kita beda kasta!" Nael membalas tidak mau kalah, serta memasang wajah paling dingin sedingin es kelapa di depan kampus.

"Sesama setan masih aja sok-sokan. Gue jual ginjalnya tau rasa lo berdua." Aku mencela seraya menahan tawa yang ingin meledak.

Kuntilanak malah terkikik, setelahnya dia menyibakkan rambut panjangnya dan langsung berbalik arah dengan sok cantik.

Setelah selesai menjemur cucian, aku masuk rumah dan mendapati Papi tengah memasak. Semoga saja masakannya enak, karena aku sudah menyuruhnya untuk pakai bumbu instan.

Mataku yang indah ini menangkap sesebenda yang tergeletak di meja. Mendadak, aku ingin tahu isi benda pipih yang disebut ponsel itu. Mumpung Papi sedang sibuk, aku langsung duduk di sofa dan meraih ponsel milik lelaki brewok itu.

Pingguin Anak Duda | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang