43. Surat (PAD)

2.8K 836 81
                                    

Surat

"Seharusnya aku enggak bilang semuanya ke anakku." Suara merintih disertai sesenggukan itu menghentikan langkahku.
Baru akan masuk ke kamar, aku mendengar suara lelaki menangis di kamar Mami.

Apa lelaki itu menangisiku setelah tidak mendapati anaknya ini pulang? Maafkan aku Papi, Pingguin-mu hanya perlu menenangkan diri.

Lagi pula, tidak mungkin kenyataan ini akan terus dirahasiakan sampai nanti, ada waktunya aku mengetahui dan harus menerimanya.

"Pi ...." Ucapanku langsung terhenti ketika lelaki itu terduduk di lantai dengan satu lembar kertas di tangannya. Penampilannya benar-benar kacau sekarang. Detik kemudian, Papi bangkit dan memelukku begitu erat.

"Jangan pernah pergi lagi, jangan pernah pergi dari Papi kalau enggak pengen lihat Papi meninggal," ujarnya pelan. Namun, ampuh membuat dadaku terasa sakit.

"Lupain ucapan Papi malam itu. Papi cuma kalut–"

"Pi," potongku lalu menenangkannya dengan mengusap punggung lelaki itu. Meski berat menerima pernyataan perselingkuhan Mami, tetapi jika itu benar, tidak ada yang salah untuk mengetahuinya.

"Guinan pengen tau siapa selingkuhan Mami," sambungku. Kali ini membuatnya melepas rengkuhannya dan menatap dengan wajah kacau. Ya ampun, ternyata kalau sedang begini Papi terlihat buruk sekali. Rambutnya tidak klimis lagi, pipinya penuh air mata, beruntung tidak ada ingus.

"Lupain ucapan Papi. Kita jalani hari kayak biasanya. Anggap aja Papi enggak pernah bilang itu ke kamu." Papi berucap seolah dia baik-baik saja.

"Tanggung, Pi. Guinan udah tau sejauh ini, jadi Papi harus bertanggung jawab sama pernyataan Papi."

"Kamu enggak perlu tau." Papi duduk di sisi ranjangnya.

Setelah kepergian Mami, dia tidak dapat masuk ke kamar lamanya karena kenangan Mami. Kupikir awalnya karena masih berduka, nyatanya lelaki itu tidak sanggup menjamah kamar lamanya bersama Mami, karena merasa sakit atas pengkhianatan wanita itu.
Namun, kali ini dia menangis di kamar Mami yang masih menyimpan banyak barang milik mereka.

"Guinan harus tau, laki-laki mana yang membuat Mami nyaman sampai berpaling dari papiku." Yang tampan, gagah, perkasa, tambahku dalam hati.

"Jangan paksa Papi buat ngasih tau tentang laki-laki itu. Papi enggak mau kamu mengenalnya," sahut Papi kekeh menolak permintaanku.

"Kalau enggak, Guinan nangis." Aku duduk di lantai, siap menangis dan guling-guling di lantai. Pokoknya, akan kulakukan apa pun sampai Papi mengakuinya.

"Sumpah, gue enggak tau caranya bikin lo normal sedikit aja. Kalau gue jadi bokap lo, udah gue lempar ke Planet Merkurius." Nael berucap seraya menepuk jidatnya.

Tidak ada cara lain, kepalaku memang sedang tidak ada ide, lagi pula Nael juga tidak pernah memberi gagasan yang lebih baik.

"Guinandra, jangan main-main, Papi enggak mau kamu kenal sama laki-laki itu."

"Jangan takut dia lebih keren dari Papi. Bagi Guinan, Papi paling keren dan gagah." Aku menyengir manis, semoga saja dia luluh untuk memberi tahuku setelah melihat senyuman anaknya.

"Buat apa kamu tau?" tanyanya membuang-buang waktu.

"Biar Guinan tau. Seenggaknya, Guinan pernah lihat laki-laki yang merusak kebahagiaan Papi." Tidak dapat kubayangkan, bagaimana bisa selama ini aku melarangnya menikah lagi, sedangkan Papi terluka karena pengkhianatan istrinya. Seketika aku menjadi anak tidak tahu perasaan orang tuanya.

Pingguin Anak Duda | ENDOnde as histórias ganham vida. Descobre agora