8. Pacar Hantu (PAD)

5.9K 1.2K 121
                                    

Pacar Hantu

Aurisalva Raya. Membaca namanya saja sudah tertebak bagaimana wajahnya. Cantik, mata indah dengan tatapan teduh, senyumannya manis seperti gulali.
Beberapa jam lalu, Ciara—teman Auris yang super aktif itu ke gedung tempat kelasku berada, dia meminta izin untuk memberikan kontak WhastApp kepada Auris. Aku menyetujuinya, karena ini memang kemauan Nael.

Ya, si hantu satu itu belum menyelesaikan urusannya dengan Auris. Katanya, dia ingin memastikan beberapa hal, termasuk tidak ingin melihat pacarnya itu menangisi kepergiannya lagi. Padahal kalau aku menjadi Auris, setelah ditinggal Nael, aku akan segera mencari pengganti dengan cepat, apalagi wajah cantik Auris cukup untuk memikat banyak pemuda. Tunggu, apa aku terlihat keterlaluan? Tidak salah bukan, jika mencari pengganti pacar yang sudah mati? Baik, maafkan ketidakpedulian anak tampan ini.

Setelah mendapat pesan singkat dari Auris, aku menyimpan kontaknya. Namun, mataku yang nakal menggoda otak untuk menyuruh jempol imut ini menekan foto profilnya. Penasaran, karena pose di foto tersebut Auris tengah tersenyum memegang kue ulang tahun. Pasti foto tersebut diambil saat dia ulang tahun, tetapi tidak ada Nael di sana.

Tidak terasa, sudah dua menit aku menatap foto tersebut. Betah, ternyata dia manis sekali. Sssttt, jangan katakan pada Nael kalau aku menatap foto pacarnya sedikit lama. Bisa-bisa dia membuatku kesurupan nanti.

"Allahu Akbar!" Aku memekik saat foto manis Auris diganti foto lelaki brewok tipis yang tidak lain adalah Papi. Dia meminta panggilan telepon yang hampir membuat anaknya melempar ponsel ke rawa-rawa.

"Tolong foto profil Papi diganti. Lihatnya horor aku, tu," omelku padanya setelah menerima teleponnya.

Lelaki itu tertawa di seberang telepon. "Buat yang lain muka Papi paling ganteng."

Tidak anak, tidak Bapak, sama-sama percaya dirinya setinggi jambulnya Kipli.

"Apa? Mau beli kaus kutang lagi?" Pertanyaanku lagi-lagi membuatnya tertawa. Tebersit di hati, aku merasa senang melihat Papi baik-baik saja, tidak sepertiku yang terlihat kuat di luar, padahal di dalam sangat hancur seperti kayu yang digerogoti rayap.

"Kamu bisa datang ke kantor Papi? Soalnya mau ada acara, temennya Papi ulang tahun."

"Papi enggak nyuruh Guin buat jadi tukang sulap, 'kan?"

Lelaki itu kembali tertawa, lama-lama risih juga mendengar dia tertawa padahal tidak ada yang lucu. Ah, humornya memang receh.

"Buat rame-rame aja. Soalnya kayaknya bakal pulang malam, Papi enggak mau kamu di rumah sendiri."

Tidak tahu saja anaknya memiliki sejuta teman tak kasat mata yang rasanya ingin kubacakan Ayat Kursi.

"Tapi nanti malam, 'kan? Guinan masih ada keperluan." Terasa sekali kalau kami ini anak dan Bapak yang sangat kompak.

"Iya, nanti malam, jemput jam delapan. Jangan lupa pakai jaket."

"Iya, paham."

Telepon dimatikan, setelah pembicaraan dirasa selesai.
Detik selanjutnya, mendadak merasa kesepian karena tidak ada yang mengajak bicara. Biasanya Nael yang akan mengoceh dan merecoki setiap detik. Akan tetapi, kali ini hantu sok dingin itu pergi, katanya ada urusan penting yang harus dia selesaikan. Geli, sudah mati saja masih dapat mengatakan ada urusan.

Pingguin Anak Duda | ENDOn viuen les histories. Descobreix ara