10. Imam Dadakan (PAD)

4.6K 1.1K 56
                                    

Imam Dadakan

"Assalamualaikum warahmatullah ...." Salam terakhir di ujung salat dzuhur. Aku meraupkan kedua tangan seraya berucap 'Aamiin' setelah berdoa.
Ketika sadar, aku mematung di tempat duduk, masih lengkap memakai sarung dan peci milik Pak Eros—lelaki yang mendadak memintaku jadi imam di panti asuhan miliknya.

Ya, jam sebelas tadi aku diminta Nael untuk menggali lebih banyak perihal Auris, alhasil pergilah ke panti asuhan. Sayang sekali, di yayasan aku malah bertemu dengan ayahnya Auris. Kumisnya yang tebal dan suaranya yang terdengar tegas membuat jantungku beberapa kali hendak copot. Sialnya Nael tidak memberi tahu ayahnya Auris begitu galak.

Apalagi saat memintaku menjadi imam dadakan di yayasan, sungguh, hampir saja aku gantung diri di pohon kangkung. Meski entah ada kesalahan atau tidak dalam mengimami mereka, tetapi aku masih tahu doanya. Hanya saja sedikit gugup sampai lutut hampir lepas.

"Nak, habis ini kamu tolong cabutin rumput di halaman, itu udah pada tinggi." Suara Pak Eros membuatku menoleh, memastikan dia tengah berbicara dengan siapa.

Namun, matanya menatap tepat ke arahku, seketika menyesal tujuh turunan karena sudah menoleh. Apa dia tengah memintaku mencabuti rumput? Apa ini caranya menyambut tamu?

"Saya?" Aku menunjuk diri sendiri, memastikan kalau Pak Eros tidak berbicara padaku, semoga.

"Iya, siapa lagi? Kan, kamu anak kampus, di sini datang jangan cuma berkunjung, meski enggak nyumbang duit, seenggaknya nyumbang tenaga."

Lah, lah, lah, seenaknya saja memerintah, kata-katanya terlalu jujur dan menyentil empedu. Mentang-mentang tidak menyumbang ucapannya setajam pisau dapur di rumah Berbie.
Papiku saja tidak pernah meminta mencabuti rumput rumah sendiri, sayang tangan mulus anak tampan ini.

"Ayah, Guinan itu temennya Nael, dia tamu kita, loh." Suara Auris terdengar dari balik tirai yang memisahkan saf laki-laki dan perempuan. Alhamdulillah, gadis itu membela.

"Justru karena dia temennya Nael, biar tau temennya juga suka bantu-bantu di sini."
Alamak, Pak Eros masih bersikukuh menyuruhku mencabuti rumput. Apa tidak sekalian mencabuti kumisnya juga? Ini semua karena Nael, si tukang kabur.

Kesal, aku langsung menuju halaman. Mata mengedar mencari Nael yang pergi setelah mengetahui aku menjadi imam di panti. Pasti dia menjelma menjadi Jaelangkung berkepala siomay.

"Apa?" Tiba-tiba Nael datang, sepertinya dia tahu tengah dicari harimau kelaparan, dan wajahnya tetap sama, menjengkelkan seperti tembok.

"Gara-gara lo gue harus cabutin rumput!" Kalau saja tidak ada anak-anak panti yang berlalu lalang, aku sudah mengajak Nael duel dan berteriak memaki.

"Santai. Auris pasti ke sini, dan lo harus bisa mastiin apa dia baik-baik aja setelah gue enggak ada."

Aku menyilangkan kedua tangan di dada, lalu menatap heran dengan satu hal di diri Nael. "Kenapa lo enggak baca pikiran dia? Gue tau, lo pasti takut dengan kenyataan kalau dia malah seneng ditinggal lo."

Nael mendecak, wajahnya berubah kesal. "Kalau gue bisa baca pikirannya, gue enggak akan minta bantuan lo."

Oh, iya juga. "Kenapa lo enggak baca pikiran orang-orang di sekitar Auris?" tanyaku masih tidak paham.

"Guin, plis, lo bikin Auris keluar dari zona nyamannya sama gue!"

Apa? Apa maksudnya meminta mengeluarkan Auris dari zona nyaman? Apa gadis itu terlalu nyaman dengan pemuda yang tidak lebih tampan dariku itu? Sangat tidak estetik. 

Pingguin Anak Duda | ENDWhere stories live. Discover now