19. Pacar? (PAD)

3.1K 931 69
                                    



Tin!

Klakson motor mengagetkanku. Dari sini kuperhatikan dua gadis yang berboncengan lengkap memakai helm.

"Kak, Guinan!" Gadis berwajah bulat seperti matahari memekik setelah melepas helmnya.

"Cia? Auris?" Ya ampun, bagaimana bisa dua gadis itu sampai ke sini?

"Nyari rumah Kakak enggak susah ternyata. Keluarga Kenway," kata Ciara seraya merapikan poninya dan turun dari motor, disusul Auris di belakangnya.

"Kalian ngapain di sini?" tanyaku masih terkejut. Nael juga tampak kaget, bahkan tumben tidak membaca pikiran keduanya untuk mengetahui tujuan mereka datang.

"Gue enggak bisa baca pikiran Auris." Nael berucap masih betah menatap kekasihnya. Padahal dia masih dapat membaca pikiran Ciara.

"Males gue baca pikiran Cia, rumit kayak rumus matematika."
Alasan.

"Kata Ayah disuruh tengokin kamu, soalnya aku cerita tentang kamu yang ditinggal Mami, dan ... tentang kamu yang enggak punya asisten rumah tangga." Auris menjelaskan dengan pipi merona karena blus on. Jangan berpikir karena aku.

"Gue baik-baik aja kali. Lagian, Ayah lo yang galaknya mirip induk ayam baru punya anak, kok, bisa kepikiran nyuruh ke sini?" Pertanyaanku malah ditertawakan oleh keduanya.

"Aku bilangin Ayah Eros, loh, kalau dia dibilang mirip induk ayam," ancam Cia membuatku menggeleng.

"Jangan dong, nanti disuruh cabut bulu ketek–maksudnya rumput. Lagian itu umpama doang." Ya ampun ucapanku sudah tidak beraturan.

"Tapi, boleh masuk, 'kan?" Auris bertanya dengan lembut. Bagaimana mungkin menolaknya, Nael saja sudah mengangguk paling mantap. Enak menjadi Nael, sudah mati tetap bisa melihat pujaan hati.

"Boleh, Papi juga di dalem."

Keduanya ber-oh ria. Kemudian, aku mengajak mereka untuk masuk.

"Pi! Ada temen Guinan." Aku memanggil lelaki yang ternyata di dapur membereskan belanjaan tadi. Ia pun langsung menghampiri kami.

"Siapa ini?" tanya Papi lalu menerima jabatan tangan dari dua gadis itu.

"Auris, Om, ini temen saya namanya Ciara."

Detik selanjutnya, Papi menatapku dengan alis kanan yang naik. "Jadi ini pacar kamu?"

Hah? Apa yang dia katakan? Ya ampun, aku lupa kalau pernah mengatakan akan memacari gadis bernama Auris saat di kantor, padahal itu hanya untuk membuat Nael cemburu. Lihat, Auris sampai menatap ke arah sini dengan bingung.

"Bukan, Pi. Ini teman," tegasku menjelaskan.

Papi menampakkan wajah setengah mengerti dan bingung. "Oh, temen kamu yang namanya Auris ada berap–"

Sontak membungkam mulut Papi, lalu mengalihkan pembicaraan. "Papi belum beresin belanjaan?"

Lelaki brewok itu mengusap mulutnya seraya komat-kamit mengatai tanganku bau kemenyan. "Kalau gitu duduk aja, biar Papi bikinin minum–"

"Enggak, Om. Saya ke sini ada misi dari Ayah," potong Auris membuat aku maupun Papi saling melempar tatapan bingung.

"Jadi, Ayah minta Auris ke sini buat masak. Soalnya, Guinan pernah nyumbangin mainannya ke panti sama bantu-bantu di panti. Sekarang gantian saya." Auris menjelaskan panjang lebar.

"Jadi Pingguin Papi udah diem-diem nyumbangin mainan ke panti? Saya baru tau itu." Papi menepuk kepalaku dua kali dengan senyuman bangga. Ah, jadi malu-malu badak, dia tidak tahu kalau anaknya sudah menjadi budak hantu gentayangan.

"Boleh, 'kan, Om?" Ciara bertanya semangat, sampai wajahnya yang bulat semakin melebar.

"Boleh, kebetulan pagi ini belum sarapan karena baru belanja tadi."

"Kalau gitu kalian cukup duduk aja." Suara Auris semakin empuk saja seperti kasur busa. Auranya selalu membawa energi positif, tidak seperti Nael.

"Oke. Yang enak, ya?" Aku memberi senyum lebar, bermaksud menyemangati.

Ciara tampak menahan senyum, bahkan tangannya mencubit lengan Auris. Berbeda dengan Nael yang sudah mendecak dan menggerutu tidak jelas sendiri.

Tiba-tiba Auris memberikan ponselnya padaku. "Telepon Ayah, dia mau ngomong sama kamu. Biar aku masak dulu."

Aku bingung sehingga menatap punggung dua gadis itu yang beranjak ke dapur. Papi juga menatapku bingung.

"Jangan sampai salah ngomong sama calon mertua," ucap Papi menepuk bahu, lalu duduk di sofa. Setelah ketahuan membonceng bundanya Beby, Papi kembali seperti biasa tanpa perasaan bersalah, atau lebih tepatnya selalu menghindari permusuhan dengan anaknya.

Tidak ingin membuang waktu, aku menuruti perintah ayah Auris, menelepon lelaki galak pemilik panti asuhan tersebut setelah menjauh dari Papi.

"Assalamualaikum." Langsung mengucap salam setelah tersambung.

"Pencitraan." Nael menyeletuk minta dibacakan Yassin.

"Ada apa, ya, Pak? Kata Auris suruh telepon," tanyaku kembali pada sambungan telepon.

"Saya nyuruh Auris ke rumah kamu, katanya enggak ada yang masak di rumah setelah Mami kamu enggak ada. Tapi untuk sekali ini aja, karena balas budi. Apalagi kamu temennya Nael."

Oh, jadi dia balas budi saja.

"Sekaligus biar ngajarin kamu cara masakan rumahan. Auris jago masak, minta aja resep dari dia," sambungnya.

"Iya, Pak, makasih. Kalau bisa jangan sekali aja."

"Kamu pikir anak saya pembantu? Jadiin istri baru bisa tiap hari." Pak Eros berucap dengan suara memekik. Reflek aku menjauhkan ponsel dari telinga.

"Emang boleh jadiin Auris istri saya?"

"Boleh. Tidur aja dulu, nanti juga mimpi."

Ya Allah, berikan kesabaran dan ketampanan berlipat ganda untuk menghadapi Pak Eros yang ternyata suka menguji emosi.

"Ya udah makasih, Pak, saya mau tidur dulu. Wasalam." Kututup telepon dengan kesal.

Nael yang melendot tembok melempar tatapan kosong. "Lo suka beneran sama Auris?"

Aku langsung menggeleng. "Enggaklah. Dia, 'kan, cewek lo."

"Itu waktu gue masih hidup."

Aku melirik pemuda pucat itu dengan heran. Apa kali ini dia sedang membaca pikiranku atau hanya bertanya? Apa iya aku menyukai Auris? Tunggu, selama ini aku hanya bercanda menggombalinya.

Baik, tahan napas ... lalu jangan dibuang, mubazir. Untuk kali ini saja semoga Nael tidak membaca pikiran. Sungguh, aku tidak tahu apakah benar aku menyukai gadis itu atau tidak.

"Lo boleh pacarin Auris atas izin gue, bahkan gue saranin."

.

.
*****

Hei! Kok, Nael nyuruh Guinan pacarin Auris?
Sebenernya tujuan Nael apa sih?

Yuk, baca teruuuuuuuuuuuussss!!!!!

Eh, jangan lupa baca cerita yang lain, ya di akunku ya.

Pingguin Anak Duda | ENDWhere stories live. Discover now