28. Tanggung Jawab (PAD)

2.8K 895 96
                                    

Tanggung Jawab

"Papi udah ke rumah Hana, keluarganya minta pertanggungjawaban. Papi enggak ada pilihan selain menikahi dia."

Pernyataan pagi tadi membuat suasana hati ini semakin kalut. Bagaimana bisa saat aku melarangnya menikah lagi, kini Papi harus menikahi gadis yang berstatus pacar sahabatku. Bagaimana jika bukan Papi yang melakukannya dan harus bertanggung jawab atas perbuatan orang lain? Lelaki itu saja tidak ingat.

Kini aku berjalan sendiri, Raden tidak dapat memihak antara aku maupun Sakya, sehingga dia tidak dapat menghiburku. Meski beberapa kali dia berusaha mengirim pesan alay dengan gambar-gambar yang membuatku ingin mengajaknya tinju.

Sedangkan Nael, dia pergi setelah Papi tahu keberadaannya, meski tidak melihat, lelaki itu sering menguping ketika aku berbicara sendiri dan menyebut nama Nael. Aku tidak dapat memilih untuk mempertahankan Nael atau mengusirnya agar Papi menjauhi Tante Inez. Nyatanya Papi akan tetap menjauhi wanita itu karena Hana, dan Nael tetap pergi karena sudah diusir dua kali.

Kini tidak ada tempat berlari selain ke makam Mami. Di sana aku mengadu, menangis dan mengeluarkan semuanya.

"Mi ... kenapa Mami pergi secepet ini? Mami enggak kasihan Guinan kesulitan?" Sesekali aku mengusap nisan bertuliskan Vareta, mencium dan membayangkan Mami dapat melihatku di sini. Kini tidak ada lagi yang dapat mengusap rambut, memarahiku ketika terlambat makan dan memukul ketika belum mandi. Semua berubah dan menyisakan kisah baru antara aku dan Papi.

"Papi mau nikah lagi, Mi. Guinan cape harus nahan semuanya sendiri." Tidak terasa air mata menetes, buru-buru aku menghapusnya, takut Mami marah karena pernah berpesan untuk tetap jadi Guinan yang kuat.

"Mi ...." Bukannya mereda, tangisku semakin jadi, sampai-sampai lidah terasa kelu. Sekuat tenaga aku menahan isakan yang hampir keluar, bahkan tenggorokan terasa sakit karena menahan sesegukan.

"Mi, aku pikir akan lebih baik Papi enggak nikah lagi, apa aku salah? Aku cuma mau Papi mencintai Mami sampai kapan pun," sambungku setelah menyeka air mata, meski suara masih bergetar.

Gundukan tanah itu kuusap, andaikan saja aku dapat memeluk wanita yang melahirkanku itu sekali saja, pasti sangat menyenangkan dapat melihatnya lagi walau dalam wujud lain, bayangannya. Akan tetapi, itu hanya andaikan, kenyataannya tidak terjadi.

Ditinggal Mami karena sakit parah, lalu dengan mudah menerima wanita baru untuk menjadi seorang Ibu? Tidak semudah itu. Mungkin jika aku seorang anak perempuan, bisa semudah itu menerima pernikahan Papi yang baru. Namun, sangat sulit bagiku. Ah, mengapa rasanya begitu menyakitkan.

Lalu, dengan siapa aku akan menghadapi ini semua? Papi sibuk mengurus Hana, Raden tidak bisa, Mami sudah tidak ada, dan teman hantuku pergi. Beginikah akhir nasibku jika tengah dalam kesulitan? Sendirian, berbicara pada diri sendiri dan hanya ditemani kesunyian.

"Aku pulang dulu, Mi. Guinan akan lebih sering ke sini. Maaf, ya, Mi, Guinandra-nya Mami udah nangis." Kucium nisan, lalu keluar setelah meletakan sebuket bunga.

"Nael, gue butuh lo sekarang." Aku berucap lirih memanggil hantu sok kalem itu. Hanya Nael yang aku punya sekarang, dan dia pergi juga.

"Nathanael!" Sembari mengedarkan pandangan, aku terus mencari keberadaan Nael. Aku tidak tahu cara memanggilnya, dia tidak pernah mengajarkannya.

"Baru kemarin lo bilang bakal jadi temen yang setia, lo bakal ada buat gue, kenapa lo pergi? Gue enggak bener-bener ngusir lo, El." Dulu saat menemukan Nael aku sering mengusirnya, kini ketika aku membutuhkannya dia pergi.

"Kalau lo pergi, itu artinya Auris juga berakhir." Aku duduk di motor, lalu menelungkupkan wajah di antara dua tangan pada bodi depan Asep.
Sepertinya kali ini Nael benar-benar pergi. Seharusnya dia pergi saat aku mendapatkan imbalan yang pantas, nyatanya dia hanya memberikan pernyataan menyakitkan perihal Papi maupun Inez.

"Guinan ...."
Suara lembut itu membuatku menengadahkan kepala.

"Auris?" Mengapa gadis itu di sini? Ia datang dengan napas terengah-engah, seperti baru saja berlari.

"Kenapa kamu sendirian di sini?" tanyanya seraya mengelap keringat di kening.

"Gue ... gue mau sendiri." Tidak, aku tidak memiliki siapa pun untuk diajak berbicara, seandainya dapat mengatakan jujur padanya.

"Harusnya kamu ngajak aku," katanya membuatku terperanjat. Auris menatap dengan pandangan kasihan, apa aku semenyedihkan itu?

"Enggak, Ris. Lo enggak tau ...." Ucapanku menggantung, rasanya sulit untuk mengatakan banyak hal.

Tangan Auris terulur ke pundakku, ia lalu berucap, "Aku tau. Aku mau kamu juga tau kalau aku ada buat kamu."

Aku terkekeh miris, bagaimana mungkin saat Nael pergi, gadis yang berstatus pacarnya saat hidup yang mendatangiku.
Tidak kuat menanggung beban sendiri, aku berdiri dan meletakan kepala di bahu Auris. Biarkan sekali saja aku menjadi rapuh di depan orang lain, dan itu di hadapan Auris, gadis yang mulai masuk dalam hidupku.

"Sakit, Ris ...." Baru kali ini aku mengatakan apa yang selama ini mengendap di dada pada orang lain.

"Aku tau ini berat, tapi kamu harus hadapi." Auris menepuk-nepuk punggungku, tangan yang lain mengusap rambutku. Ternyata begitu melegakan mendapat perhatian dari orang lain. Rasanya, aku tidak lagi merasa sendiri.

"Ris, gue butuh Mami Vareta."

.

.

****

Ada yang menitikan air mata? Kayaknya enggak, tapi nyesek sih pasti.

Cowok humoris berubah sad boy, sakitnya bukan main.

Makasih yang setia baca dan voment.
Apalagi yang ikut promosikan, BIG THANKS.

G O M A W O.

Update cepat, tapi enggak double up.
Dan kayaknya, ENGGAK AKAN DOUBLE UP lagi.

Kenapa?

Kalian bacanya jadi loncat, dikira bukan double up.

Tetap nantikan kelanjutannya.

Pingguin Anak Duda | ENDWhere stories live. Discover now