13. Bunuh Diri (PAD)

3.9K 1K 71
                                    

Bunuh Diri

"Bangun tidur kuterus ngaca, tidak lupa memuji muka, habis mandi kutolong Papi, membersihkan kotoran anakonda." Nyanyian yang diplesetkan membuat lelaki di sampingku terkekeh.

"Kamu terobsesi sama anakonda?" Papi bertanya, sepertinya penasaran.

"Enggak juga, cuma aku penasaran sama mamakonda dan papakonda. Anakonda aja udah bahenol, gimana sama orang tuanya coba?" celotehku membuat Lingga Kenway, alias Papi terbahak.

"Anak Papi udah tau yang bahenol?"

Aku bergidik. "Aku masih polos, Pi. Cuma bisa bedain mana ayam kampung dan boiler yang montok karena suntikan."

Papi tertawa lagi, kali ini Nael juga ikut cengar-cengir. Mendadak aku ingin mendaftar sebagai peserta stand up comedy. Siapa tahu laku dan jadi artis terkenal.

"Mimpi, lulus kuliah aja untung." Nael menimbrung. Dia masih belum tahu seberapa besar otakku.

Kini, aku dan Papi tengah mempersiapkan sepeda untuk olahraga di hari libur. Ya, semua berubah setelah Mami tidak ada, dan Papi selalu mengajak olahraga bersama agar lebih dekat, sekaligus membentuk tubuh yang bagus.

"MAS GUINAN! OM LINGGA!"
Sontak beristigfar saat mendengar suara menjengkelkan Beby. Seharusnya aku berdoa tadi malam agar gadis itu belum bangun tidur saat kami bersepeda.

"Ikut dong!" pintanya langsung mendapat tatapan jengkel dariku.

Demi apa pun kali ini saja gadis itu tidak mengganggu, sungguh, rasanya aku ingin bunuh diri jika begini.

"Biar lo enggak bunuh diri sebelum urusan gue berakhir, gue udah kempesin ban sepeda Beby." Nael berbisik memberi tahu kecerdikannya. Eh, tetapi tidak juga, dia membantu karena membutuhkanku, dasar parasit.

"Mau sepedaan bareng? Enggak apa-apa, Om bolehin, kok." Papi mengizinkan.
Karena sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, kepalaku mengangguk mantap beserta senyuman manis seperti madu.

"Boleh banget, yok!" Aku berseru seraya mengayuh sepeda, dan Papi menyusul. Setelahnya, Beby berteriak menghentikan kami.

"Banku bocor!" teriak Beby kali ini terdengar indah. Ah, ya ampun, Nael pintar juga mengurus hal demikian. Ngomong-ngomong, bagaimana cara pemuda itu memegang benda? Dia, kan, hantu.

"Lo lupa gue semaleman nulis pake pulpen alay lo waktu itu? Susah payah gue buat bisa pegang benda, meski yang tadi sebenarnya emang ban dia udah kempis, cuma gue tambahin dikit biar natural." Nael menjelaskan panjang. Baiklah, kini waktunya membujuk Papi untuk segera berjalan saja tanpa memedulikan Beby.

"Pi, biarin aja Beby pompa bannya. Kita duluan, keburu siang!" seruku membuat lelaki itu mengerutkan kening.

"Tapi Beby butuh bantuan," sahut Papi masih dengan ekspresi iba. Lelaki kalau baik hati memang seperti itu.

"By! Enggak usah sepedaan hari ini, mending lo jalan kaki aja keliling komplek, siapa tau dengan itu lo punya niat buat tobat gangguin gue!" Aku langsung melajukan sepeda, tidak peduli jika Papi masih di sana menunggu Beby. Ini sekaligus mengetes Papi, siapa yang jauh lebih penting, aku atau anak janda itu.

Pingguin Anak Duda | ENDWhere stories live. Discover now