12. Makam (PAD)

4.2K 1K 90
                                    

Makam
"Muka tembok tidak pantas ditangisi, yang pantas itu kalau dia setampan aku."

"Gue diajak Auris ke makam lo buat nyekar." Ucapan itu terlontar ketika aku tengah mengancing baju kemeja, berniat memberi tahu pada hantu sok kalem yang duduk di meja belajar.

"Kirim doa yang baik-baik, awas aja kalau sampai lo kirim gue doa yang jelek-jelek," balas Nael terdengar khawatir. Sepertinya ini senjata ampuh menyiksanya.

"Nanti gue kirim nasgor, migor, batagor, serba gor-gor, sekalian batu akik, siapa tau lo bosen pakai batu nisan," kataku seraya memakai sarung. Sialnya, kepalaku dipukul oleh Nael tanpa perasaan.

"Pas pembagian otak kayaknya lo pergi ke neraka buat jenguk salah satu kerabat lo, deh." Nael sudah bisa bercanda, menggelikan.

"Iya, sekalian silaturahmi, biar akrab," sahutku pasrah.

"Lo mau nyekar apa sunat, sih, pakai sarung segala?"

"Mau sepak bola, ya ziarah ke makam lo lah. Kan biar sopan pakai baju kemeja sama sarung. Ngomong-ngomong, gue kasihan lihat lo," ungkapku dengan wajah serius, pemuda itu pun ikut serius menanggapi.

"Kenapa?"

Mendadak sedih, kali ini aku sungguh-sungguh. "Lo di sini, gue nyekar di kuburan lo, kasihan aja, padahal masih muda udah mati."

Brak!
Nael menyerang sampai aku terjatuh ke lantai karena dia smackdown.

"Lo cari mati?!" Nael berseru tidak terima.

"Jangan dong, gue belum nikah!" Kepalaku dipiting olehnya, tetapi dengan kekuatan super mega tampan, aku balik menyerang sampai barang-barang di kamar berjatuhan.
Namun, Nael tidak mau kalah, dia juga menindihku dengan kekuatan gorila.

"Lo yang udah mati aja balik lagi, heran gue sama lo Solimi!" Sembari berucap aku menahan agar Nael tidak kembali menyerang, tetapi sayang, tenaganya kuat juga. Dia masih saja memiting kepala tanpa dosa.

"Kalau lo siksa gue, gue balas lo di kuburan!" teriakku berhasil membuatnya melepaskan cengkeramannya.
Aku terbatuk karena tadi leher diapit tangannya. Kalau sampai mati, demi dewa Yunani aku akan membunuh Nael di dunia roh, membalaskan dendam yang belum terselesaikan.

"Pingguin!" Suara Papi menginterupsi, tidak lama pintu terbuka dan aku buru-buru merapikan penampilan yang telanjur berantakan.

Mata Papi membelalak seraya mengedarkan pandangan karena keadaan kamar yang berserakan. "Ada apa? Kenapa dari tadi berisik banget?"

"Habis nyobain goyang Tek Tek, Pi." Alasanku sungguh menggelikan.

"Kirain Papi kesurupan."

Aku menggeleng, lalu menyengir. "Sebelum setannya masuk ke badan aku, mereka udah insecure duluan, Pi. Orang Guinandra seganteng ini."

Papi tertawa. "Kalau kesurupan ajak temen Papi di bawah, biar rame. Sekalian mendem jaran goyang."

Lah, kenapa malah bercanda, anaknya baru saja beradu dengan salah satu penghuni alam gaib dan lelaki itu malah meledek.

"Jaran kepang kali. Jaran goyang bukannya kue kering itu?"

Papi menghela napas berat. "Itu kembang goyang. Ngomong-ngomong tumben pakai sarung? Mau ceramah di mana?"

"Di RT sebelah." Aku mendecak, Papi bercanda terus. "Pi, aku mau ziarah ke makam temen yang enggak ada akhlak," tuturku meminta izin lelaki tertampan sejagat komplek, dengan memelankan suara di tiga kata terakhir.

Pingguin Anak Duda | ENDWhere stories live. Discover now