33. Petai (PAD)

3K 891 102
                                    

Petai

"Ya Nabi salam 'alaika, ya Rasul salam 'alaika, ya Habib salam 'alaika, sholawatullah 'alaika." Sembari berjalan ke tukang sayur yang sudah pergi menjauh, aku berselawat. Beruntung Nael masih di kamar, sehingga tidak merasa panas ketika aku melakukan kegiatan kesukaanku, selawat.

Sampai di tukang sayur yang sudah di penuhi emak-emak berdaster, aku memasang wajah datar.

"Cieee, yang enggak jadi punya Mami baru!" Bu Marni langsung menyeletuk. Suka sekali menggosip.

"Jangan larang Papi nikah dong, Guin, daripada nanti kejadian beneran kayak gitu, gimana?" Bu RT menimpali. Aku hanya tersenyum kaku, ternyata berita itu cepat sekali menyebar. Entah harus menyebut mereka penggemar Papi, atau haters.

"Bang, pete," pintaku membuat Bang Jepri mengernyitkan dahi.

"Ganteng-ganteng suka pete?" tanyanya.

"Daripada jelek tapi sok-sokan enggak doyan," sahutku seadanya.

"Guin, itu nasib cewek itu gimana?" Bu Julaeha bertanya, serentak yang lain ikut menatapku, sampai Bang Jepri ikutan.

"Cewek? Siapa?" Aku pura-pura saja tidak tahu.

"Yee, malah bercanda. Dia, gimana keadaannya sekarang?" seru mamanya Dista dengan jengkel.

"Dia? Enggak kenal yang namanya Dia." Masih berlagak polos.

"Si cewek yang ngaku dihamilin sama Papi kamu!" Bu Julaeha mencubit lenganku. Ih, tangannya nakal sekali.

"Cewek yang mana? Kolong Wewe?" Sungguh, aku ingin terbahak melihat wajah para ibu-ibu yang sudah kesal, pasti jengkelnya sampai ubun-ubun.

"Ganteng-ganteng gila."

Apa? Siapa tadi yang mengatakannya? Oh, si Beby tanpa Romeo, gadis bertubuh sedikit gempal menyebalkan yang berstatus anak janda.

"Senasib aja ngajak ribut," balasku tidak mau kalah. Sama-sama anak tunggal yang hanya memiliki orang tua tunggal dan dia masih menyebalkan.

Kesal karena menjadi bahan pembicaraan, aku memakan satu biji petai mentah dan sengaja mengebuskan napas lewat mulut. Makan, tu, petai.

"Guinandra, bau!" protes mereka bersamaan.

"Apa, mau? Hah!" Aku langsung berlari menghindari amukan para wanita berdaster, setelah selesai membayar tentunya.

Enak juga petai mentah. Jadi ingat kata Papi, kalau berciuman dengan istri setelah makan petai bagaimana, ya? Apa langsung digugat cerai? Itu terlalu drama.

"Mas!" Pekikan Beby membuatku membuang muka. Sudah dikasari dia masih saja sok akrab.

"Om Lingga enggak jadi nikah beneran? Syukur, deh, kelihatannya Mas Guinan patah hati waktu tau Om Lingga mau nikah. Iri, ya, papinya dapat gadis perawan?"
Mulut Beby minta diplester memang.

"Lo iri karena elo enggak dipilih sama Papi gue? Atau karena Bunda lo kalah sama cewek perawan?" Tidak mau kalah, aku juga menjawab sinis.

Gadis itu memukul lenganku dengan keras, matanya memerah seperti menahan tangis. "Salah Beby apa, sih? Kenapa Mas Guinan kalau ngomong pedes banget kayak ayam geprek level sepuluh?"

Pingguin Anak Duda | ENDWhere stories live. Discover now