30. Bukti (PAD)

2.9K 852 49
                                    

Bukti

Sepulang dari panti, hanya ada tatapan canggung antara aku dan lelaki gagah yang tengah sibuk memasak.

Aku diam di meja makan tanpa mengajaknya bicara. Bahkan dia tidak mengatakan apa pun perihal Hana, aku juga tidak mampu menanyakannya. Entah pernikahan itu akan segera digelar atau mungkin batal.

"Papi akan menggelar akad pekan depan dengan sederhana." Penuturan itu seketika menjawab pertanyaanku tadi.

"Pi ...." Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi rasanya sangat sulit.

"Jangan marah, Guin. Ini kecelakaan," katanya dengan mata memerah.

Aku yang tidak dapat menjawabnya, lalu bangkit. "Guinan mau keluar cari angin."

Aku beranjak dan menaiki motor, Nael yang masih suka membuntuti ikut membonceng di belakang.

"Lo mau ke mana?" tanya Nael sesaat setelah aku berhasil keluar dari komplek.

"Ke mana pun gue nemuin jalan keluar."

Ada sesuatu yang tidak beres, pikiranku mengatakan Papi dijebak, entah oleh Hana atau mungkin teman Papi yang membawa Hana. Pokoknya sebelum pernikahan itu digelar, aku harus mencari bukti.

"Lo tau siapa temen Papi yang kira-kira mencurigakan?" Aku bertanya pada Nael, berharap dia dapat memprediksinya.

"Gue enggak tau, tapi orang yang nyuruh Papi lo nikah lagi waktu main ke rumah, mukanya enggak enak dilihat."

Dia pikir wajahnya enak dilihat? Dia juga pucat, datar, dingin, aneh dan menyebalkan. Di sini hanya Guinandra yang tidak bosan untuk dipandangi.

"Yang main ke rumah dan nyuruh Papi nikah lagi itu, kan, banyak dan sering. Pas kapan spesifiknya?" tanyaku masih belum mengingat.

"Waktu lo mau ke makam gue, temen bokap lo, kan, pas lagi main. Nah, itu mukanya gue inget tapi namanya enggak tau," jelas Nael masih membingungkan.

Ternyata ingatannya begitu tajam, masalahnya aku yang lupa. "Om Beni bukan? Apa Om Susilo?"

"Ulangi yang terakhir!"

"Susilo."

~~~~

Menatap tajam dengan tangan bersidekap, memamerkan wajah datar dan sikap dingin untuk mengintimidasi.

"Dari mana lo tau gue di sini?" Gadis yang akan dinikahi oleh Papi bertanya dengan wajah ketar-ketir.

"Enggak susah nyari cewek bentukan kayak lo di bumi," sahutku tegas. Dia pikir sulit mengetahui keberadaannya di salah satu klub? Apa dia mendadak lupa kalau dulu dia pacar seorang Sakya, sahabatku yang kini hancur karenanya. Jelas aku tahu tempat mainnya yang tidak lain rumah pesta setan. Semoga Nael tidak tersindir.

"Gue enggak tersinggung karena gue anak baik."
Terserah dia saja.

"Terus ngapain lo di sini?" Hana bertanya lagi.

Sial, setiap kali dia bicara aku menahan napas karena demi apa pun bau mulutnya hampir membuatku pingsan di tempat.

"Harusnya gue yang tanya, kenapa calon Mami baru gue di sini? Nakal banget, sih, nanti kalau calon bayinya keguguran terus gentayangan gimana?" balasku sedikit mengingatkan. Sebab, berani-beraninya dia ke klub jika memang hamil.

Detik selanjutnya, aku memintanya masuk ke taksi yang sudah kupesan sebelumnya. "Masuk!"

"Lo mau apa?!" pekiknya berusaha menolak.

"Mau bawa pulang ke rumah Papi, biar dijagain sama Papi, 'kan?" ujarku masih membalas dengan santai, meski sebenarnya akan membawanya ke tempat lain.

"Gue enggak mau!" Hana berusaha kabur, tetapi tenagaku masih jauh lebih kuat dari gadis nakal sepertinya.

"Lo mau, video lo joget-joget enggak jelas di klub kesebar? Masa wanita hamil pergi ke klub, apa itu masuk akal?" tukasku. Bahkan semakin curiga saat gadis yang mengaku hamil dengan berani datang ke tempat biadab itu.

"Gu–gue cuma–"

"Gue mau lo buktiin. Kalau enggak, lo jangan harap bisa nikah sama bokap gue." Aku memotong ucapannya yang terbata. Sangat terlihat kalau dia begitu gugup.

"Apanya yang perlu dibuktiin?" serunya sembari melotot. Beruntung tidak keluar itu bola mata, lalu dimakan Nael.

"Gue tegaskan, dulu gue manusia dan jangan bahas makanan gue." Nael menyahut dengan emosi.

"Buktiin kalau lo hamil beneran atau enggak," pintaku pada gadis yang kini terkekeh dengan nada meremehkan.

"Lo akan nyesel udah melakukan ini Guinandra." Hana mengais isi tasnya, lalu mengeluarkan amplop warna cokelat dan memberikannya padaku dengan tidak sopan. "Lo lihat baik-baik calon Adik lo!"

Aku melirik Nael, mendadak khawatir karena melihat Hana sangat percaya diri. Aku mulai membuka isinya dengan perlahan, lalu melihat catatan tes dan hasil USG atas nama Hana. Aku menggeleng, ini tidak mungkin, seharusnya gadis itu tidak benar-benar hamil karena terpergok minum bukan? Lalu, apa ini?

"Lo itu terlalu naif." Hana merebut kembali amplop tersebut.

"Buktiin kalau itu anak bokap gue!" Tidak habis akal, aku mencari cara lain.

"Lo masih aja pengen bukti padahal itu udah ada di depan mata lo!" Suara Sakya menginterupsi, akhirnya dia keluar dari persembunyiannya setelah ikut denganku ke klub mencari Hana. Semua itu demi memperlihatkan bukti kalau gadis itu berbohong atas kehamilannya. Namun, kenyataan tidak berpihak padaku.

"Sakya?" Hana terlihat terkejut, tanpa pamit dia langsung masuk ke taksi dan pergi begitu saja. Padahal urusan kita belum selesai.

"Ini yang lo mau perlihatkan? Hasil ulah Papi lo?" Sakya terbahak, terlihat jelas mengejekku.

"Ini enggak bener. Pasti dia hamil karena lo, 'kan? Lo enggak mau tanggung jawab, makanya lo nyuruh Hana buat bilang bokap gue yang lakuin itu, 'kan?" balasku sangat yakin. Pasti pasangan satu ini telah melakukan hubungan yang tidak seharusnya, lalu Sakya melempar kesalahan itu pada Papi.

"Lo yang enggak kenal bokap lo, atau lo yang enggak kenal gue, Guin? Papi lo aja udah bersedia nikah sama Hana." Sakya langsung beranjak. Dia benar-benar berbeda dari yang dulu aku kenal.

"Gue yakin ada yang salah," gumamku berusaha menghalau pikiran buruk di kepala.

"Entahlah." Nael malah mengedikkan bahu dengan santai. Apa dia tidak kasihan melihatku sudah dipermalukan?

"Gunanya lo di sini itu apa, sih, sebenarnya?" tanyaku membuat hantu pucat itu melirik aneh.

"Menurut lo apa?"
Lah, dia malah balik bertanya.

"Gue mau nanya sama lo, kenapa harus gue? Kenapa harus gue yang lo jadiin orang buat bantu selesaikan urusan lo yang belum selesai itu? Kenapa?" Aku penasaran, mengapa dia tidak dapat membantu sedikit pun selepas apa yang sudah kulakukan untuknya. Ah, memang tidak seharusnya berharap padanya, dia hanyalah hantu, derajatnya saja tidak lebih tinggi dari makhluk lain.

"Yang lo maksud imbalan?" Nael mendengkus. "Intinya lo tau kalau hantu bisa mendeteksi manusia mana yang punya kelebihan, dan itu lo."

Demi apa pun niatan Papi untuk menutup mata batinku seketika ingin aku realisasikan saat ini.

"Jangan tutup mata batin dulu, tapi kalau tutup mata kaki boleh."

Apa hubungannya Nael? Astagfirullah, mohon bersabar, ini ulangan.

.

.

******

Nael lagi usaha menghibur, tapi garing.

Kangen ngakak lagi enggak, sih?
Semoga next part kita ngakak lagi.

Makasih yang setia banget baca dan voment.
Lope lope.

Pingguin Anak Duda | ENDWhere stories live. Discover now