7. Gagal Cool (PAD)

5.7K 1.3K 84
                                    

Gagal Cool

Aku berjalan ke gunung, tetapi tidak lama merasakan perut terasa gatal. Semakin lama, perutku gatal sekali, kugaruk, tetapi tidak ada rasanya. Apa tubuhku lumpuh di bagian perut saja? Mengapa rasanya gatal sekali.

Plak!
Aku membuka mata ketika sadar perutku ditabok tangan sendiri.

"Udah molornya? Jam berapa ini Guin?" Suara Papi membuatku semakin malas bangun. Aku kembali menutup mata dan segera tidur lagi. Akan tetapi, tangan Papi menggelitiki perutku. Oh, jadi dia yang tadi membuat perutku gatal di alam mimpi.

"Apa, sih, Pi?" Aku merengek karena kesal, sungguh aku masih mengantuk sekali.

"Tidur enggak pakai baju, udah gitu bangun kesiangan. Habis ngapain semalam? Ronda?" Si Papi kalau bicara suka nyentil di lambung.

Tidak tahu saja kalau anaknya semalam terjaga, karena mendapat siraman rohani dari setan yang belum selesai urusan dunianya. Parahnya, Nael bercerita panjang lebar dalam satu malam, memberi tahu tentang hobi, makanan kesukaan, serta nama-nama temannya. Demi apa pun, nama keluarga sendiri saja tidak hafal, dan kini aku dipaksa mengingat semua nama orang yang berhubungan dengannya.

Setelah kesal dengan segala ocehannya, semalam aku membaca Ayat Kursi demi mengusirnya, sampai-sampai aku sendiri yang kepanasan karena marah. Alhasil, Papi mendapatiku tidur tanpa baju pagi ini.

"Ini udah siang, Anakonda." Lah, suara Nael datang lagi. Tidak kapok sudah dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an.

"Gue akan tetap di sini, sebagai sahabat lo."
Memang siapa juga yang butuh sahabat.

"Semalem aku habis dengerin temen curhat, Pi. Sumpah curhatannya kayak sampah, enggak guna banget." Aku bangkit dan tidak menoleh pada Nael, karena wajahnya pasti menyakitkan mata.

"Pi, hari ini jatah Papi masak, ngapain bangunin Guinan yang manis dan ganteng ini?"

"Alay."
Iri bilang Setanael.

"Mumpung Papi libur, kita ke mal, sekalian makan di sana," ungkap lelaki brewok itu dengan senyuman manis. Ah, kalau dilihat-lihat kami mirip, kok, bisa?

"Dia Bapak lo! Jangan nunggu gue bikin amnesia itu kepala." Nael berucap seolah paling benar. Kini kelakuan aslinya mulai terlihat, sok kalem padahal durjana.

"Mau ngapain ke mal? Mending kita lomba lari." Aku memakai baju kaus semalam, lalu bercermin, memastikan kalau aku masih tetap tampan meski semalam sempat hampir bunuh diri.

"Lari dari kenyataan?" Si Papi bisa bercanda.

"Iya, kenyataan yang membuat Guinandra Kenway gelisah, galau, merana." Sembari mengobrol, aku melakukan push up. Ini salah satu tuntutan Papi, supaya tubuh tetap seksi, padahal aku suka sekali makan kentang goreng, jadilah perutku tidak lagi berbentuk kotak-kotak, melainkan seperti tahu bulat yang dijual seribuan. Ah, aku mulai berbohong dengan menistakan diri sendiri.

"Kan Papi udah janji mau beliin kamu pakaian dalam, biar enggak ketukar lagi. Nanti sekalian beli kutang." Penuturan Papi membuat aktifitasku terhenti, mata sontak melotot ke arahnya.

Setelah menutupi kesalahannya yang tidak dapat membedakan dalaman miliknya sendiri, kini dia memberi pernyataan lebih parah. Aku bangkit dan menatap lelaki itu dengan setengah marah, untuk siapa dia membelikan kutang, hah?

"Maksud, Papi? Papi enggak akan pakai kutang, 'kan?"

Wajah Papi terlihat santai, apa dia tidak merasa bersalah telah keceplosan ingin membeli kutang.

Pingguin Anak Duda | ENDWhere stories live. Discover now