17. Aura (PAD)

3.2K 923 36
                                    

Aura

~~~~

"Pingguin!" Seruan dari ambang pintu membuat kami terperanjat, semoga saja Papi tidak mendengar aku berbicara sendiri lagi. Sudah cukup lelaki itu protes karena mengira anaknya gila.

Namun, perhatianku dicuri oleh penampilan baru Papi. Rambut, kumis serta jenggotnya sudah menipis dan terlihat rapi.

"Pi, Papi kelihatan lebih muda," ungkapku jujur.

"Lebih muda berapa tahun?"

"Dua hari."

Hening. Kemudian terdengar tawa menggema dari Papi. "Kata Mbak atau Mas pokoknya di salon, Papi mirip artis Turki."

Hidungku mengembang. "Iya, artis Turki yang baru pulang dari goa."

Lagi-lagi Papi tertawa. Namun, ku akui wajahnya memang tampan di umurnya yang sudah menginjak kepala empat, tetapi tentu aku jauh lebih tampan.

"Kepedeannya tetap ngalir. Lo, kan, keturunannya Kenway, jelas muka lo sama kayak dia. Palingan nanti tuanya juga kayak Om Lingga, cuma bedanya lo lebih centil kayaknya." Lihat, Nael kembali dengan sifat suka mencelanya.

"Pi, kalau Guinan punya pacar boleh?" Aku membuka obrolan, mengalihkan pembicaraan tadi.

"Siapa?" tanya Papi.

"Namanya Auris." Sengaja menyebut nama gadis itu, agar Nael cemburu. "Kata sahabatnya, dia suka sama aku, Pi. Kayaknya Guinan terlalu ganteng."

"Ya udah kalau terlalu ganteng operasi aja jadi gerandong," sahut Papi tidak berperasaan.

Lihat, lelaki itu tertawa dan Nael juga ikut terbahak. Tumben, hantu datar itu tertawa paling kencang. Kenapa Nael tidak cemburu? Padahal niatku membuatnya kesal.

"Untung aku sabar." Aku mengelus dada.

"Jidatnya lebar enggak?" Lelaki bernama Lingga memang sama menjengkelkannya dengan sang anak.

"Akhirnya lo sadar atas ketidakwarasan otak lo." Kan, Nael nyahut terus.

"Pi, Guinan pulang, ya?" Aku mengemasi barang setelah dirasa tidak ada kepentingan lagi di sini, lelaki itu kemudian mengangguk.

"Jangan lupa beli makan di jalan, nanti di rumah kelaperan. Papi pulang malam."

Aku mengangguk, tetapi teringat sesuatu. "Pi, apa perlu aku nikah aja biar ada yang rawat aku di rumah?"

Wajah Papi mendadak datar, matanya menatap kesal dan hidungnya kembang-kempis. "Kuliah dulu, cari kerja dan jadi sultan. Kalau enggak, mau dikasih makan apa keluargamu?"

"Kan, ada Papi. Tinggal Papi pensiun aja, biar Guinan yang urus kantor," jawabku enteng seraya cengengesan.

"Kamu mau kerja di kantor? Mulai dari nol, ya?" Papi mengatupkan kedua telapak tangan seperti Mbak penjaga pom bensin.

"Maksud Papi dimulai dari nol?" Mata memicing, mulai curiga ada ending tidak mengenakkan.

"Kamu boleh kerja di kantor ini dari bawah. Dimulai dari OB."
Kejamnya dia melebihi Bapak tiri.

Lihat, bahkan Nael ikut tertawa, pasti dia senang aku dicampakkan Papi sendiri. "Katanya pewaris."

Aku menarik napas pelan, lalu buang berserta polusinya. "OB, 'Orang Berwenang'. Oke, Pi, makasih jabatannya."

Aku keluar ruangan setelah melambai pergi, tidak perlu memedulikan teriakan Papi yang protes karena arti OB menurut versi Guinan. Intinya aku pewarisnya, titik.

Sampai di parkiran, Nael sudah lebih dulu naik ke motor lengkap dengan jaket biru donkernya.

"Setan bisa kedinginan?" tanyaku tidak paham.

"Takut masuk angin."
Bercandanya sangat lucu, tetapi aku tidak ingin tertawa.

"Itu ceweknya temen lo bukan?" Nael menunjuk ke tangga kantor Papi.

"Iya. Hana!" Aku berteriak memanggil gadis berbaju dres seatas lutut. Pantas saja Sakya suka, Hana gadis seksi. Sayang, seleraku bukan dia.

"Gu–Guinan?" Ia sampai terbata ketika melihatku, sepertinya terkejut.

"Ngapain lo di sini?" tanyaku setelah menghampirinya.

"Gu–gue ... gue ... gue mau ngantar makan malam buat saudara gue."

Apa seaneh itu ketika melihatku? Mengapa Hana terlihat masih terkejut sampai tidak dapat mengendalikan ucapannya. Atau, dia melihat Nael? Tidak mungkin, paling-paling dia grogi melihat wajah tampan ini.

"Emang ada saudara lo yang kerja sama Papi gue? Baru tau," sahutku seadanya.

"Iya. Lo udah mau pulang?"

"Iya, duluan, ya!" Aku kembali ke parkiran dan langsung menaiki motor.

Namun, Nael lagi-lagi memperingatkanku. "Dia itu punya aura negatif. Setiap gue lihat dia, gue merasa ada sesuatu yang kuat, yang enggak bisa gue prediksi dan baca."

"Tunggu. Apa aja yang enggak bisa lo baca?"

"Gue enggak bisa baca pikiran orang yang gue sayang, enggak bisa baca pikiran orang yang punya aura kuat, terutama yang negatif, tapi entahlah."

Aku menyerongkan tubuh menghadap belakang, lalu menatapnya kesal setelah menyadari sesuati. "Apa aura gue lemah sampai lo bisa baca pikiran gue, hah? Ini enggak adil!"

"Bukan Guin. Ini masalah yang gue aja belum tau apa maksudnya." Wajahnya terlihat jujur kali ini.

"Demi apa pun pernyataan lo suka bikin gue enek sampai ginjal. Kayaknya harus mempertebal iman."

"Iman Pak RT di komplek rumah gue."

"Diem, Setanael, gue serius."

****

Kayak ada misteri-misterinya ya wkwkw.

Yuk, voment gengs.
Makasih udah baca.

Pingguin Anak Duda | ENDWhere stories live. Discover now