31. Merenggut Kebahagiaan (PAD)

2.7K 853 37
                                    

Merenggut Kebahagiaan

"Jangan mencuri kebahagiaan orang lain demi kepentinganmu sendiri, karena kamu tidak akan pernah tenang."

"Lo lumayan cakep kalau pakai kemeja batik." Pujian yang keluar dari mulut Setanael terdengar menyinggung.

"Jangan nunggu gue bacain ayat Kursi," balasku lirih.

Kini aku dan Papi tengah duduk di ruang tamu milik keluarga Hana. Tujuan? Tentu menjemput Hana untuk dijadikan istri Papi besok sekaligus lamaran sederhana.
Sejak tadi, aku hanya merasakan gerah meski AC di rumah ini dinyalakan.

"Saya permisi ke toilet." Aku beranjak ke belakang, entah kenapa Nael juga ikut membuntuti.

"Gue takut lo bunuh diri," ujar Nael mengungkapkan alasannya mengikutiku.

"Gue enggak mau mati muda kayak lo."

Sebelum masuk ke toilet, aku berpapasan dengan Hana yang sudah berdandan rapi. Aku menatap penuh kebencian, rasanya menjijikkan sekali mengetahui dia mengandung anak Papi, dan dia masih ke klub. Tidak masuk akal, tetapi sayangnya hasil tes itu menandakan Hana positif hamil. Membayangkan ada janin calon adikku di perutnya, rasanya dada sesak.

"Guin ...." Suara Hana menghentikanku yang hendak melanjutkan melangkah. "Gue tau lo enggak terima ini, tapi gue tetap–"

"Satu peringatan buat lo." Aku memotong ucapannya. "Jangan mencuri kebahagiaan orang lain buat kepentingan lo sendiri, karena lo enggak akan pernah tenang."

Aku masuk ke toilet, lalu membasuh wajah beberapa kali, berharap semua ini hanya mimpi dan aku akan terbangun di kamar.

"Lo enggak bisa rubah keadaan, masalahnya ini udah sampai tahap terakhir." Nael memang bisanya membuat panas.

"Kalau setiap ucapan lo itu enggak guna, akan lebih baik lo diem," sahutku membuatnya kesal, lihat saja wajahnya yang sudah datar kembali seperti triplek.

Aku kembali ke ruang tamu, tetapi situasi sudah berubah. Bukan lagi kecanggungan dan formalitas yang ada, melainkan kegaduhan. Ada apa ini?

"Pi!" seruku memanggil laki-laki yang sudah berdiri tegak.

Hana sudah menangis sejadi-jadinya. Jika tadi hanya ada aku dan Papi, kini tamu bertambah Om Susilo dan wanita yang tengah menangis, kemungkinan adalah istrinya.

"Saya tau ini akan menjadi kegaduhan, tapi saya minta untuk membuktikan satu hal sebelum terlambat." Papi berucap tegas. Meski wajahnya justru ingin membuatku tertawa, entah kenapa melihat wajah Papi selalu saja komedi.

"Fokus Guinan!"
Baik Nael.

"Apa yang perlu kamu buktikan, hah?" Pak Waman, ayah Hana bertanya kebingungan.

Papi menarikku untuk mendekat, tatapannya santai dan tidak ada beban. "Papi akan buktikan di sini. Di depan mata kamu."

Papi langsung merogoh saku, ia mengambil sebuah diska lepas dan menyalakannya di laptop. "Simak baik-baik sebelum kalian berdua hancurin hidup saya."

Video terputar, sepertinya itu diambil dari CCTV. Di sana memperlihatkan kedatangan Hana di tengah lima laki-laki yang tengah berkumpul, termasuk Papi. Awalnya Hana menyapa Papi dan memilih duduk sendiri di pojokan. Posisi ada di kantor milik Om Beni.

Singkat video, beberapa orang pergi setelah perkumpulan itu terjadi. Papi yang keluar dari ruangan Om Beni pamit dan terlihat menegur Hana, tetapi saat gadis itu ingin menyentuh lengan Papi, lelaki kebanggaanku itu menepisnya. Kemudian, setelah Papi benar-benar pergi, tersisa Hana, Om Susilo dan Om Beni.

Om Beni keluar setelah menegur Hana yang masih menunggu di sana. Tidak lama, Om Susilo dan Hana saling bercengkerama dan keluar bersama.

"Di sana saya dan Beni menegur Hana untuk pulang, karena kedatangannya tidak memiliki tujuan. Apalagi saya tau dia pacar teman anak saya," jelas Papi panjang. Ia kembali menekan video untuk lanjutannya.

"Stop!" Om Susilo ingin menghentikan Papi, tetapi nyatanya Papi sudah mengantisipasi dengan menyewa beberapa orang untuk menjaga kekondusifan di sini.

Video berlanjut di parkiran, Hana masuk ke mobil Om Susilo yang berjalan saja terhuyung. Jangan tanya apa yang selanjutnya terjadi, pasalnya Papi mematikannya karena sudah dapat diketahui.

"Tuduhan saya tidur bersama Hana itu salah besar. Saya ketiduran di ruangan Beni karena penat. Jadi, saya tidak pernah menyentuh wanita ini. Saya ingat setelah CCTV ini ditemukan." Papi menjelaskan dengan rinci.

Pantas saja Papi tidak mengelak atas tuduhan ini, dia yang tidak sadar kejadian malam itu baru mengingatnya setelah melihat CCTV.

"Kenapa enggak ada yang bilang kalau suami saya selingkuh sama mahasiswi ini?" Istri Om Susilo meradang.

"Sayang, ini enggak bener. Ini akal-akalan Lingga!" balas Om Susilo.

"Hana! Apa lo akan diam aja?!" bentakku pada gadis yang kini sudah menangis sejadi-jadinya.

"Kamu datang ke kantor saya dengan alasan ngantar makan siang atas perintah pacar kamu. Terus datang ke acara kumpul temen saya dengan alasan mau bekerja sambilan di perusahaan milik salah satu dari kami. Padahal kamu ini wanita gelapnya Susilo, 'kan?" cerocos Papi panjang lebar.

"Om Susilo emang keterlaluan, ya. Kenapa Om lempar kesalahan sendiri ke Papi? Om bukan manusia." Melainkan iblis kurang belaian, ah rasanya ingin memaki.

"Cukup!" Hana berteriak. "Iya, aku hamil sama Mas Susilo, dan dia enggak mau bertanggungjawab karena masih ada istrinya, sedangkan dia nyuruh aku deketin Mas Lingga supaya Mas Lingga yang tanggung jawab."

Mas? Hana memanggil om-om 'Mas'? Mengapa mendengarnya aku menjadi geli.

"Gue lebih geli, sumpah pengen muntah." Nael menyahut. Ngomong-ngomong hantu bisa muntah, ya?

"Bohong! Tadinya kamu mau dekati Lingga, tapi dia dingin sehingga kamu dekati saya!" sela Om Susilo membela diri.

Suasana semakin gaduh karena saling menyerang dengan ucapan. Terlebih istri Om Susilo yang menyerang dengan kata-kata juga fisik pada Hana. Aku hanya dapat diam dan menatap Nael yang sama bingungnya, kini kami seperti tengah menonton cerita azab, tinggal menunggu tobatnya.

"Cukup! Pergi dari rumah saya!" Pak Waman mengusir kami semua. Bagus, sejak tadi aku menunggu dia beraksi seperti Wiro Sableng.

"Gimana sama kehamilan Hana? Dia harus mendapat tanggung jawab dari bapaknya!" Papi masih peduli meski sudah dijebak? Ah, malaikatku, tampanku, papiku, kau ini baik atau bodoh.

"Aku udah keguguran, jadi enggak ada yang perlu dibahas."

Benar dugaanku, pasti saat ke klub pun dia sudah keguguran. Kata Nael juga benar, kalau wajah Om Susilo memang tidak enak dilihat.

Aku pun mengucap Hamdallah, kemudian pamit. "Baiklah, sekian dan wassalamualaikum."

.

.

*****

Gagal nikah sama si aura negatif.

Double up ya. Part 31 & 32.
JANGAN DILEWATIN PARTNYA.

Yuk, ramaikan vomentnya lagi.

Btw, readers lama mana nih?
Yang aktif di kolom komentar.

Meski aku enggak bisa balas satu-satu, tapi aku setia baca komen kalian. MAKASIH.

Pingguin Anak Duda | ENDWhere stories live. Discover now