6. Kalung Pemukul Bisbol (PAD)

5.3K 1.3K 90
                                    

Kalung Pemukul Bisbol

"Jadi, kamu itu satu kampus sama Ciara dan Auris?" Pertanyaan itu keluar dari bibir wanita di depanku. Dia adalah pemilik panti asuhan, sekaligus bundanya Auris—gadis yang tadi menyambutku di gerbang.

"Iya, Bu." Aku mengangguk membenarkan, meski jujur aku tidak mengenal dua gadis di sebelah wanita itu.

"Cia, tu, tau Kak Guinan, soalnya punya temen yang satu gedung sama dia, cuma beda kelas aja. Lagian Kak Guinan terkenal di kampus. Siapa, sih, yang enggak tau?" Ciara, gadis berwajah bulat seperti matahari mencerocos sejak tadi. Katanya dia mengenalku karena terkenal tampan dan banyak fans maba, jelas, anak siapa dulu, Lingga Kenway.

Setelah masuk ke panti, aku terus mengedarkan pandangan. Sesekali melirik pada Auris, gadis yang kucurigai ada hubungannya dengan Nael. Sayang, hantu satu itu tidak mau diajak masuk dan menemaniku. Awas saja, hukuman menanti di rumah dengan Surat Al-Baqarah yang kusiapkan.

"Tunggu!" Auris memekik, matanya menatap leherku. Reflek, aku memeriksa diriku sendiri, apa ada bekas kecupan di leher? Hei, aku masih suci tidak ternoda, sungguh, anak tampan ini tidak bohong.

"Kamu punya kalung pemukul bisbol?" Gadis berambut panjang hitam itu bertanya lagi.

Sontak, tanganku terulur memegang kalung hitam berliontin pemukul bisbol. Sepertinya ini yang dimaksud Nael, dia memerintah agar aku memakai bajunya, lalu kalungnya. Pasti Nael berniat memberi tahu kalau dia masih di bumi pada orang-orang yang dianggap penting lewat aku.

"Iya, dikasih sahabat." Aku harus terlihat natural dan tidak terburu-buru seperti pesan Nael, karena aku datang sebagai orang asing yang tidak tahu apa-apa.

"Mirip punyanya Bang Nael. Bukannya dia pesan khusus dulu waktu jadi atlet bisbol?" Ciara ikut memekik kaget.
Aku pun menjadi ikut terperanjat, Nael ternyata atlet bisbol. Bagaimana kalau mereka mulai bertanya yang aneh-aneh, dan Nael tidak di sini. Ayolah, Nael! Aku butuh bantuanmu Setanael.

"Ini ... emang dari Nael, sa—sahabat baik aku. Kalian kenal?" Ya ampun, aku sampai tergagap, sebentar lagi akan jadi pelawak seperti Om Aziz.

"Tunggu, kamu kenal Nael? Ini kalung Nael?" Auris terlihat membelakakkan mata, tatapannya sungguh membuatku takut. Aku hanya berharap Nael tidak menjerumuskanku ke lubang neraka.

"I—iya. Aku kenal Nael, dia ... dia–"

"Sejak kapan kamu kenal Nael? Dia enggak pernah ngenalin aku kalau dia punya temen kayak kamu." Auris memotong ucapanku, matanya masih menatap curiga. Duh, bagaimana ini, Dajjal satu itu tidak kunjung datang menyelamatkanku. Oh iya, lupa, Dajjal sejak awal memang sesat.

"Bilang kalau lo satu komunitas sama gue." Suara Nael membuatku lega, dia sudah duduk di belakang dengan wajah menunduk. Ah, dasar upil.

"Kita pernah satu komunitas, karena beda kampus jadi kita jarang bareng." Akhirnya aku dapat berbicara lancar, selancar buang air besar setelah makan cabai sepanci.

"Komunitas apa? Dia enggak pernah bilang kalau ikut komunitas." Auris masih sibuk mewawancarai dengan suara tidak ingin dibantah. Ternyata gadis itu galak juga. Namun, mamanya sudah mencoba menghentikan gadis itu.

"Ris, dia itu tamu." Bundanya berbisik memperingatkannya.

"Enggak, Bun, aku harus tau."

Pingguin Anak Duda | ENDNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ