20. Rahasia (PAD)

3.2K 943 104
                                    

Rahasia

"Mas Guinan! Benerin keran air dong!"

Meski lelah, akhirnya aku ke belakang untuk memeriksa keran air yang kata Hadijah sudah mati sejak pagi.
Kedatanganku membawa banyak keuntungan untuk panti, tetapi kepegalan untuk sendiku.

Ya ampun, demi Auris yang bapaknya galak, aku menuruti semua kemauannya. Jangan bertanya mengapa aku bisa terjebak di panti lagi, kali ini bukan karena Nael, tetapi karena Papi dudaku menyumbangkan sebagian kecil rezekinya, dan ... anaknya ditinggalkan di sini menjadi babu.

"Allahu Akbar!" Aku memekik ketika air keran menyembur keluar sampai seluruh tubuh basah kuyup.
Setelah berhasil membaut keran tadi, aku kembali ke halaman luas panti asuhan.

"Airnya udah lancar!" Seruan itu terdengar dari dapur.

"Ya iyalah, gue yang benerin. Coba kalau bapaknya Auris, bukannya bener, makin rusak iya," gerutuku seraya mengusap-usap kaus oblong hitam yang telanjur basah.

Menengok ke teras panti, segerombol gadis berjilbab memandangi ke arah sini. Apa mereka tengah melihat wajah tampan ini? Sepertinya wajahku memang tidak dapat dipungkiri lagi ketampanannya.

"Kak!" Hantu anak kecil menarik-narik bajuku.

"Apa?" tanyaku.

"Kakak tau enggak apa perbedaan aku sama Kakak?"

Aku menaikan satu alis, apa hantu kecil yang berjenis perempuan ini akan menggombal? "Kita emang beda karena aku manusia dan kamu hantu."

Gadis itu menggeleng. "Salah. Bedanya, aku berani bilang suka sama Kakak, tapi Kakak enggak berani bilang suka sama Kak Auris. Sad boy."

Tunggu, kenapa dia menyebalkan sekali. Apa semua hantu itu menyebalkan seperti Nael? Ah, benar juga, mereka bukan lagi manusia yang memiliki hati nurani.

"Kamu memang pintar, Nak." Pintar buat Guinandra darah rendah. Beruntung aku tampan dan sabar, sehingga tidak membaca Ayat Kursi.

Auris yang baru keluar berjalan ke arahku, di tangannya ada handuk kecil. Dari cara jalan, senyum di wajahnya, tatapan mata yang meneduhkan, entah mengapa hati memuji gadis itu berkali-kali. Apa iya, aku menyukainya, seperti kata Nael. Ah, rasanya sulit mengakuinya.

"Ini, buat keringin rambut kamu. Atau, mau sekalian mandi?" Suara Auris menghentikan tatapan mataku yang sempat fokus padanya.

"Enggak, airnya dingin, sedingin hatiku yang sudah lama tidak dipeluk sang kekasih." Ucapanku membuat gadis itu terkekeh.

Kuterima handuk darinya, lalu menggosok rambut secara asal.
Sungguh, rasanya sangat penasaran dengan perasaan yang ada di dadaku. Rasanya tidak tahu apakah aku menyukai Auris, atau hanya sekedar mengaguminya sebatas pacar teman hantuku. Pasalnya gadis itu adalah pacar seorang Nael, tentu sebelum pemuda itu meninggal dan menjadi hantu gentayangan seperti sekarang.

"Mas Guinan ganteng banget, sih!" Teriakan seorang gadis dari teras membuatku menoleh. Beberapa dari mereka cekikikan dan langsung masuk ke dalam panti setelah Auris memberi isyarat.

Kadang, bersikap dingin itu perlu saat menjadi pusat perhatian, atau lebih tepatnya jaga image.

"Maaf, ya, anak-anak suka bercanda." Tiba-tiba Auris berucap dengan mata menatap lurus ke arahku.

"Tapi emang gue ganteng, 'kan?" tanyaku dan berhasil membuat gadis itu tersenyum simpul. Aku melanjutkan mengeringkan rambut seraya menikmati udara segar.

"Bajunya mau diganti? Biar pakai baju Ayah aja."

Aku menggeleng dengan tawarannya. "Enggak usah. Ini tinggal berdiri di lapangan bawah matahari juga kering. Palingan gosong doang."

Auris terkekeh keras. "Kamu itu bercanda mulu. Maaf, ya, Ayah udah ngerepotin kamu terus."

"Santai, cowok ganteng emang banyak cobaan. Ayah mertua emang suka gitu," gurauku berusaha terus mencairkan suasana.

"Guin ...." Suara Auris yang lembut mengalihkan perhatian.

"Hm?"

"Makasih udah ada."

"Maksudnya?" Kenapa mendadak jantungku ingin lepas dari tempatnya, dan pita suara menjadi serak. Apa leherku dicekik Nael? Ah, pemuda itu tidak ada hari ini.

"Anak-anak senang kalau kamu di sini."

"Oh. Kayaknya yang senang bukan cuma anak-anak, tapi lo juga, cieee," godaku membuatnya mendecak, baru kali ini aku melihatnya kesal dan cemberut.

"Serius!"

"Kalau serius, ayok, ke KUA."

Auris menjambak secuil rambutku yang basah dengan gemas. Ia tidak lagi bicara, pasti malas meladeniku. Namun, anehnya malah dia semakin menggemaskan jika seperti itu.

Aku menghela napas, rasanya berbagi tawa dengan anak-anak di yayasan membuat hidup jauh lebih menyenangkan. Di rumah bercat putih itu, ada banyak anak yang tidak lagi memeluk orang tuanya, tidak dapat berkeluh kesah dan dimanja seperti anak lainnya.

Kini aku pun merasakannya, hanya memiliki Papi sebagai tempat pulang dan melebur kesedihan. Mendadak merindukan lelaki menjengkelkan yang kemarin lusa membonceng janda. Mengingatnya membuat aku ingin menjadi ustadz dan ceramah di depan Papi.

"Guin, boleh ngomong sesuatu enggak sama kamu?" Setelah lama diam, Auris kembali bersuara, kali ini wajahnya tampak serius.

"Bukannya kita emang dari tadi lagi ngomong?" Aku terkekeh geli. Gadis itu lucu, padahal sejak tadi mengobrol, tetapi minta izin lagi. Atau, ada sesuatu yang lebih penting?

Jangan bilang dia ingin menyatakan perasaannya? Tunggu, mengapa jadi percaya diri seperti ini. Ya Allah, tolong jaga jantungku, baik ... tahan diri untuk tidak terlalu senang. Karena bisa jadi dia akan memberi kabar duka bahwa kumis ayahnya rontok.

"Jangan bilang apa pun tentang Nael di depan Ayah atau Bunda, mereka enggak tau banyak hal."

Ucapan Auris membuatku sedikit heran, sontak alis mengerut. Apa yang sebenarnya dia maksud. "Maksud lo apa, sih?"

"Tentang Nael yang kecelakaan bareng sama selingkuhannya."

*****

Tuh, kan, mulai deh.
Suka banget ngagetin.

Ada aja kejutan yang suka bikin terjungkal, terseret, terjerembap sampai termehek-mehek.

Ada yang ikut promoin PAD?
Makasih banyak ya.

Boleh banget bagi yang mau bikin trailernya.
Love buat kalian❤️

Pingguin Anak Duda | ENDWhere stories live. Discover now