Kalau sudah tidak bersama, baru terasa.

5K 761 72
                                    

#repost

Gika menatap apartemennya yang sudah luluh lantak. Apartemennya seakan-akan baru saja diterjang badai Tsunami. Beberapa barangnya pecah. Kapas di dalam bantal berserakan di lantai. Karpet mahalnya pun sudah terkena tumpahan air, saus, dan juga kecap. Semua ini karena ulah istrinya usai pulang dari rumah orang tuanya. Gika sama sekali tidak bisa menahan istrinya. Amukan Vanya benar-benar mengerikan. Beberapa propertinya rusak. Padahal, apartemennya belum lunas. Apartemen ini adalah impiannya dahulu. Ia pernah bermimoi tinggal bersama dengan Kiara. Sebelum ia benar-benar terperangkap oleh gairahnya Vanya. Jika sudah begini, apa yang bisa Gika lakukan? Tidak ada. Ia harus bisa menerima Vanya dan tingkah lakunya.

Gika menatap Vanya di sudut ruangan. Rambutnya tampak kusut dan berantakan. Tatapannya begitu kosong. Sejak semalam, ia terus memanggil nama Kala, calon suami Kiara.
Masih menjadi misteri bagi Gika. Kenapa Vanya selalu menginginkan apa yang dimiliki Kiara. Apakah itu bentuk rasa iri, dendam, atau hanya kebetulan saja.

Gika tidak bisa menampik. Pria yang bersama Kiara adalah pria yang sangat layak. Dilihat dadi sudut pandang mana pun, Kala adalah orang yang terpandang.  Dari ujung kaki hingga ujung kepala, semuanya bernilai mahal. Ke mana-mana mendapatkan pengawalan ketat. Memiliki mobil yang mahal. Gika langsung merasa tidak percaya diri jika berhadapan dengan Kala. Dirinya juga menjadi dibandingkan, karena sekarang Kiara mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik.

Matahari sudah bersinar. Tetapi, baik ia dan Vanya masih terjaga. Keduanya sama-sama terluka."Apa sebesar itu rasa sayangmu pada Kala? Sampai kau mengabaikan suamimu sendiri?" Akhirnya Gika buka suara setelah membiarkan istrinya berbuat sesuka hati.

"Aku tidak mengabaikanmu. Aku hanya sedang bersedih."

"Seharusnya aku tidak menikahimu. Harusnya kau tidak hadir di antara aku dan Kia. Kau harusnya kejar saja lelaki itu!" Gika berteriak frustrasi.

"Kau menyesal?" Vanya tertawa lirih."Jangan coba-coba berpikir untuk meninggalkanku. Aku sedang hamil dan kau harus bertanggung jawab. Jika kau macam-macam, aku akan menyebarkan kelakuanmu ini di kantor."

Gika terpana. Ia sampai tidak bisa berkata-kata karena ucapan Vanya mengejutkan dirinya. Bukankah Vanya adalah wanita yang lemah lembut dan manis. Lalu, di mana sikap yang membuatnya itu sampai meninggalkan Kiara. Apakah semua itu hanya topeng. Pria itu menggeleng frustrasi. Ini semua adalah kebodohannya yang mudah sekali dirayu oleh kecantikan dan kata-kata manis, lalu, sedikit kepuasan di ranjang. Jika ia bisa berpikir jernih sebelumnya, ia bisa mendapatkan kenikmatan lebih dari itu, sebab Kiara sama sekali belum tersentuh.

"Jika itu kaulakukan,kau sedang menjatuhkan harga diri suamimu. Membuang rejeki yang seharusnya kita terima." Gika menahan emosinya."Kau mau merusak reputasi yang sudah susah payah kubangun?"

Vanya bangkit, kemudian masuk ke kamar dan melewati Gika."Aku akan lakukan apa pun demi kebahagiaanku. Jangan coba-coba berbuat licik padaku! Aku akan membalasnya lebih dari itu."

Gika mengusap wajahnya kasar. Ia tidak tahu harus memulai membersihkan apartemen ini dari mana. Yang pasti, ia tidak bisa melakukannya sekarang. Ini sudah pagi. Ia harus segera bersiap untuk berangkat ke kantor. Urusan apartemen, ia akan urus nanti setelah pulang kerja.

---

Matahari pagi ini bersinar begitu cerah. Sepertinya sepanjang hari cuacanya akan begitu terik. Kiara menuju mobilnya yang sudah bersih dan berkilau. Ia tersenyum puas. Melihat mobil itu sama seperti melihat Kala. Terlihat 'mahal'nya. Kiara harus menerima kenyataan kalau Kala memang sekaya itu.

"Terima kasih, Pak, sudah dibersihkan." Kiara berkata pada Sopir sang Papa yang membersihkan mobilnya.

"Sama-sama, Bu. Hati-hati di jalan."

Kiara membalas dengan senyuman. Lalu, ia melajukan mobilnya menuju kantor. Hari ini, ia akan mengajukan surat pengunduran diri dari kantor. Ini memang berat. Kantor itu memiliki banyak kenangan. Ia harus berjuang untuk membuktikan bahwa ia bisa mandiri. Kiara juga sudah setuju untuk tinggal bersama Kala di Makassar. Artinya, ia harus berhenti dari pekerjaan ini.

Begitu di depan lift, Kiara menarik napas panjang. Semoga saja hari ini lebih baik dari kemarin. Kiara berharap tidak ada kejadian yang sama seperti sebelumnya.

Gika mengantre di sebelah Kiara saat menunggu lift. Kiara menoleh kaget. Ia pikir bukan Gika. Pria itu tidak memakai parfum yang selalu menjadi ciri khasnya. Penampilan Gika hari ini juga sedikit tidak baik. Wajahnya kusam. Rambutnya disisir sewajarnya saja. Bukan Gika yang selalu membuat rambutnya rapi dengan pomade. Kiara mengangkat kedua bahu. Ia rasa tidak perlu bertanya-tanya, sebab Gika bukanlah lagi urusannya.

"Hai, Kia." Mirima memeluk pundak Kiara..lantas wanita itu mengernyit saat melihat Gika.

"Hai, Mbak."

"Ini amplop apa?"

"Eeh~ini surat rahasia." Kiara menjawab sambil meringis.

"Surat rahasia apa? Jangan-jangan undangan pernikahan." Mirima menatapnya curiga.

"Ini surat pengunduran diri. Aku mau ke HRD."

"Mengundurkan diri?" Mirima terbelalak sambil melirik Gika kembali."Kenapa?"

"Setelah menikah, aku tinggal bersama suamiku di Makassar."

"Oh, ya, ampun iya~tentu aja kau harus resign. Karena setelah menikah, tanggung jawab dan bakti kita sudah pada suami."

Pintu lift terbuka. Semuanya masuk. Kiara harus berhenti di lantai yang sama dengan Gika. Keduanya tampak diam. Namun, begitu Kiara berjalan ke ruangan HRD, Gika memanggilnya.

"Kiara!"

Kiara menoleh."Ada apa?"

"Kamu mau resign?"

Kiara mengangguk."Iya. Kau mendengar obrolan kami, ya?"

"Tentu aja." Gika berjalan mendekat.

Tangan Kiara terangkat menghentikan langkah Gika."Di sana saja. Aku nggak mau istri kamu salah paham. Langsung katakan saja apa keperluanmu. Aku bisa dengar dari sini."

"Kamu sudah bahagia dengannya?"tanya Gika lirih.

Kiara terperanjat. Ia mematung menatap Gika yang sepertinya sedang sedih."Tentu saja aku bahagia. Dia memberiku banyak cinta."

"Bukankah kalian baru saja berkenalan? Apa semudah itu melupakanku setelah dua tahun bersama?"tanya Gika. Kenangan-kenangan masa lalu bersama Kiara kini terputar di otaknya. Kiara yang selalu mendukungnya, menerimanya ketika ia tidak punya uang karena sudah habis untuk membayar cicilan kartu kredit, cicilan apartemen, dan cicilan mobil. Kiara adalah wanita yang rela mengeluarkan uang untuk kencan, di saat ia kehabisan uang. Semua itu terputar jelas di kepalanya.

"Apakah semudah itu berpaling setelah dua tahun bersama?"

"Ya?"

"Aku menanyakan itu padamu." Kiara tersenyum." Setelah dua tahun bersama~kau berpaling pada Vanya. Apa kau tidak bisa menjawab?"

"Aku rasa~aku dan Vanya hanyalah perasaan sesaat saja. Aku menikahinya karena sudah telanjur hamil. Aku rasa begitu juga perasaanmu dengan Kala."

"Kala dan Vanya itu berbeda. Kala menyukaiku saat kita masih pacaran. Tapi, dia tidak pernah memberi tahuku, bahkan tidak pernah berusaha sedikit pun merusak hubungan kita. Padahal, itu sangat mudah untuk dia lakukan. Lalu, bedanya dengan Vanya. Dia menyukaimu, menunjukkan perasaannya, lalu diam-diam melakukan cara kotor. Hebatnya, kau tergoda. Dan berakhirlah. Menurutku itu adalah takdir, Pak Gika. Kita memang tidak berjodoh. Mau dibahas sepanjang apa pun, itu semua tetaplah takdir."

Gika terdiam. Penyesalan itu akhirnya tiba. Hati Kiara sudah direbut oleh lelaki lain. Itulah kenapa, pernah ada yang mengingatkan. Sayangilah orang yang bisa menerima dan keadaan dan selalu ada di sampingmu, ketika susah dan senang. Sekali saja kau menyakitinya, dia tidak akan pernah kembali.

"Apa ada yang ingin dibicarakan lagi, Pak Gika? Saya harus ke hrd sekarang."

Karena Gika tidak menjawab, Kiara memutuskan meninggalkan Gika. Biarlah lelaki itu di sana dengan setumpuk penyesalan.


💗💗💗

Save the Date Where stories live. Discover now