07| New house

486 31 3
                                    

Sepandai-pandainya burung terbang, pasti bakalan hinggap juga. Dan sepandai-pandainya kita menutupi kebohongan pasti akan terkuak juga.
______

Selama diperjalanan, tidak ada satupun dari mereka berdua yang membuka suara. Bian fokus menyetir mobil dan Reni sibuk dengan fikirannya sendiri.

Sampai akhirnya, mobil yang mereka kendarai memasuki sebuah pelataran rumah yang terbilang besar jika hanya di tempati oleh 2 orang.

"Rumahnya besar sekali." Reni takjub dengan rumah pemberian mertuanya yang terbilang minimalis namun masih terlihat mewah.

"Lo mau matung di situ terus sampai besok? Sana ambil koper lo!" Bian memudarkan lamunan Reni yang terpesona dengan rumah barunya.

Ketika memasuki rumah, kita bisa melihat perabotan rumah tangga yang sudah lengkap. Rumahnya terdiri dari 2 kamar utama dan 2 kamar tamu. Begitu luas untuk mereka yang hanya tinggal berdua.

Reni kemudian memasuki kamar pertama yang berada di lantai atas. Namun, Ia juga kaget ketika Bian mengikutinya dari belakang.

"Bi, pilih kamar ini juga? Yaudah aku pilih kamar yang lain."

"Kamar yang mana? Mama hanya ngasih kita dua kunci. Satu kunci untuk pintu utama dan satu kunci untuk kamar ini. Mama dan papa tau, kalo kita akan pisah kamar, makanya kamar yang lain mereka kunci."

Reni mematung dan mencerna perkataan Bian. Jadi, mulai dari sekarang Ia harus sekamar dengan Bian? Ya Allah tolong lindungi hamba mu ini, dari mahkluk seperti Bian.

Saat memasuki kamar, Reni melihat Bian sudah tengkurap di atas kasur sambil bermain ponsel. Suasana sekarang menjadi begitu canggung baginya. Karena tak ada kerjaan, Reni memilih membongkar koper dan memasukkan pakaiannya ke dalam lemari.

"Rapihin pakaian gue yang di dalam koper dulu!" Titah Bian tak berpaling dari ponselnya.

"Iya, nanti selepas aku beresin koper aku."

"Lo mau jadi istri durhaka?" Perkataan Bian barusan, membuat Reni tersentak. "Emang pakaian lo akan keringatan dalam koper kalo lo rapihin pakaian gue lebih dulu?" Reni hanya termenung, seharusnya Ia menuruti perintah suaminya itu.

"Beresin cepat! Abis itu masakin gue makanan, gue laper." Bian berjalan hendak mengeluari kamar. "Oiya satu hal lagi, rahasiain tentang semua ini dari Nanda." Ujar Bian sebelum lenyap dari ambang pintu.

Yeah, Reni baru teringat tentang sahabatnya itu. Sudah dua hari Ia tak mendengar kabar sahabatnya. Bahkan Ia sengaja tidak mengundang Nanda untuk hadir di acara pernikahannya, karena Reni tau Nanda dan juga Bian masih menjalin suatu hubungan.

Setelah merapikan semua pakaian, Reni bergegas meraih ponselnya yang belum Ia buka selama dua hari terakhir ini. Dan benar saja, ada banyak missed call dan juga pesan dari Nanda. Matanya berkaca-kaca, melihat sahabatnya yang begitu peduli padanya. Ia tak tau, bagaimana jika Nanda mengetahui segalanya, apakah dia masih ingin bersahabat dengannya atau malah berakhir.

"Aku jahat banget ya Nanda jadi sahabat untuk orang sebaik kamu." Nanar Reni, menatap list panggilan dan juga pesan dari sahabatnya.

"RENI BURUAN, GUE LAPER!"

Reni menghapus air matanya, sesaat setelah mendengar teriakan Bian dari bawah. Karena keasyikan melamun, Ia lupa bahwa harus memasakkan makanan untuk suaminya itu.

"Bi, mau makan apa?" Tanyanya saat sampai di depan Bian yang tengah duduk di ruang tengah.

"Terserah."

"Kalo gitu, Bi mau sup ayam?"

"Bisa gak sih lo gak usah manggil gue, Bi? Geli tau nggak." Tegur Bian. "Emang lo kira gue pembantu di panggil bibi." Gerutunya, membuat Reni tersenyum simpul.

"Terus aku panggil apa? Abi, boleh?"

"Abi-abi, terus gue manggil lo umi gitu?"

Reni menahan tawanya, melihat muka Bian yang kesal.

"Mas Abi?"

"Mas? Gak sekalian manggil gue batu akik?" Kesalnya, karena istrinya ini banyak tanya.

"Abang?"

"Abang-abang, gak ada yang lebih aesthetic apa? Panggil Bian aja! Udah sana buruan masak! Emang lo pikir diskusiin nama panggilan bisa bikin gue kenyang?"

"Iya tunggu sebentar." Reni bergegas menuju ke dapur untuk memasak sesuatu yang dapat membuat perut suaminya kenyang. Karena kesal juga pasti butuh tenaga.

"Nyesel gue bahas nama panggilan. Malah buang-buang tenaga dan bikin gue tambah lapar." Gerutunya, yang masih bisa didengar oleh Reni. Reni hanya tersenyum geli mendengarnya.

°°°°°°°

"Ren, lo darimana aja sih dua hari gak masuk sekolah?" Tanya Nanda saat Reni memasuki kelas. Tapi Reni hanya diam.

"Gue telfon-telfon gak di angkat. Gue chat gak di balas. Kenapa? Ada masalah?"

Reni menggeleng cepat. "A-anu, aku gak enak badan." Dia tidak tahu, udah berapa kali Ia membohongi sahabatnya.

"Kenapa gak ngabarin? Kalo tau, gue ngejenguk lo kalo gitu."

"Gakpapa, aku udah sembuh kok."

"Ren, dua hari lo gak masuk sekolah gue udah kangen banget sama lo. Ada banyak hal yang ingin gue ceritain sama lo."

Reni menatap Nanda dengan nanar, segitu pentingnya Ia dimata sahabatnya, sampai Nanda rela menunggunya hanya untuk menceritakan keluh kesah kepadanya saja. Nanda selalu berbagi semua cerita hidup nya ke Reni. Namun Reni, Ia banyak menyembunyikan hal dari Nanda.

"Tau nggak Ren, gue kesepian banget tau waktu lo gak masuk sekolah. Apalagi, Bian juga kebetulan gak masuk sekolah dua hari juga."

"Gue kayak aneh deh sama Bian. Akhir-akhir ini seperti ada yang dia sembunyiin dari gue. Dia udah jarang ngabarin gue. Menurut lo gimana?" Lanjutnya melempar pertanyaan ke Reni.

Keringat dingin Reni mulai bercucuran. Udara pagi yang segar, terasa panas baginya saat ini.

"Heum!! sa-saran aku, coba kamu tanya sama Bian aja langsung. Biar gak salah paham." Gugupnya, Ia mengatakan hal demikian agar dia tidak kelepasan jujur dengan Nanda.

"Nah itu dia kenapa gue suka cerita sama lo. Karena Lo selalu kasih gue jalan keluar agar tak berujung nethink. Makasih ya Ren, nanti gue tanya Bian pas jam istirahat." Reni hanya mengangguk tak enak mendengarnya.

"Dan, aku minta maaf ya Nan. Sudah merusak kepercayaanmu." Batinnya.

TBC

(╭☞•́⍛•̀)╭☞ ⭐(Ditunggu itikad baiknya kawand-kawand)

Altruistic✓Where stories live. Discover now