34| Diusir

385 17 1
                                    

Hanya karena aku cukup kuat untuk menangani rasa sakit, bukan berarti aku pantas mendapatkannya.
_____

"Waahh, bisa ya lo! Tanpa rasa bersalah sedikitpun, lo malah enak-enakan berduaan disini."

Bian yang baru saja datang, bersedekap melihat dua orang yang tengah duduk di ruang tamu. Alam yang mengetahui bahwa sahabatnya sedang kalut, tidak mempermasalahkan pernyataan Bian tadi. Ia malah menghampiri sahabatnya, dan memegang pundaknya.

"Bro, istri lo sedang trauma sekarang. Setidaknya lo bisa menenangkan dia dulu."

"Karena apa? Trauma karena sengaja nyelakain bokap gue? Iya?" Bian melepaskan tangan Alam dari pundaknya dengan kasar.

Ia lalu menghampiri Reni yang masih duduk dengan mimik ketakutan.

"Gue tanya sama lo, salah bokap gue apa dalam hal ini? HAH?!" Bian menarik kasar kedua pundak Reni dan mencengkeramnya. Reni menggeleng dengan keringat dingin di pelipisnya.

Inilah yang Ia takutkan dan cemaskan dari tadi. Ia takut jika ada orang yang menuduhnya atas kejadian kecelakaan ini.

"Hanya karena semalam gue meminta hak gue, dan karena dendam lo ke gue, lo melampiaskannya pada bokap gue yang sama sekali tak berdaya." Kali ini, tangannyalah yang menjadi sasaran cengkeraman Bian.

Alam yang tak tahan melihat Reni disakiti, berusaha ingin menolong. "Bian!!"

"Lo gak tau apa-apa dalam hal ini. Jadi, lebih baik lo gak usah ikut campur!!" Peringatnya, yang membuat Alam menghentikan langkah.

"Bian, tangan aku sakit! Tolong lepasin!" Rintihnya. Sejak tadi, Reni sekuat tenaga agar bisa lepas dari cengkeraman tangan Bian yang begitu kuat.

"Sakitan mana dengan bokap gue? Lo udah sengaja nyelakain dia sampai akhirnya bokap gue koma." Tatapan Bian sangatlah tajam, bahkan dapat menusuk mata yang ditatapnya.

"Bu-bukan aku! A-aku tidak nyelakain papa." Raut wajahnya penuh dengan ketakutan.

"GAK USAH BANYAK ALASAN LO! GUE TAU INI SEMUA IMBAS DARI DENDAM LO KE GUE." Emosinya kini meluap, Bian sudah tidak bisa bersabar.

"Tidak!! Mana mungkin aku bisa nyelakain Papa, yang udah aku anggap seperti ayah aku sendiri."

"Alibi macam apa itu? Lo nyamain bokap gue dengan bokap lo, tapi lo nyelakain bokap gue. Lo juga tega nyelakain bokap lo?"

"Aku memang tidak nyelakain papa. Tolong percaya sama aku!" Ujarnya memohon. "Alam, kamu percaya sama aku, kan? Aku tidak mungkin sengaja nyelakain papa." Lirihnya yang membuat Alam mengangguk.

"Di kasih harga berapa buat jual harga diri lo ke Alam? Sampai-sampai dia ngebela lo?" Bian mendorong Reni ke pelukan Alam, karena begitu emosi dengan kedua orang itu.

"BIAN!!" Gertak Reni dan Alam bersamaan.

Tap! Tap! Tap!

Suara tepuk tangan itu menggelegar setelah gertakan dari Reni dan Alam.

"Si introvert kita marah, waduh bencana nih. Si humoris kita juga kayaknya ikutan marah." Bian seolah menatap remeh ke arah mereka.

"Bian!! Jika bagi lo marahnya si introvert adalah bencana. Maka marahnya si humoris adalah kiamat." Alam menarik kerah jaket Bian. Namun Bian melepaskannya, lalu bersikap seolah membersihkan kerah jaketnya dari bekas tarikan Alam.

"Baguslah, itu berarti kalian cocok. Sama-sama penghianat."

Alam sudah cukup sabar dengan sikap Bian yang semena-mena. "Omongan lo di jaga ya! Jangan sampai buat gue lupa, kalo lo adalah teman gue."

Altruistic✓Where stories live. Discover now