25| Bisa merubah?

227 19 1
                                    

Kenapa setiap aku berusaha tabah dengan sikapnya, ada saja kata-katanya yang membuat aku sendiri patah.
______

Libur panjang selepas ujian semester ganjil, merupakan hal paling ditunggu-tunggu oleh semua siswa. Namun, tidak dengan Bian. Ia merasa, bahwa libur panjangnya merupakan sebuah kutukan untuknya, karena dia harus bertemu dan bersama Reni setiap saat. Sungguh membosankan.

Namun dampak baiknya, Bian bisa bermalas-malasan, tidak usah bangun pagi, dan bisa tidur sampai puas. Seperti sekarang, matahari sudah mulai meninggi, namun Ia masih setia dengan selimut dan bantalnya.

Tingg... Tongg...

Tidur yang awalnya damai, berubah jadi gelisah saat bel rumah yang dipencet berkali-kali, membuatnya sedikit terganggu.

"Pagi Reni."

"Eh, Alam." Jawabnya tersenyum manis, setelah melihat orang yang memencet bel dari ambang pintu.

"Ini! Bokap gue baru pulang dari penelitiannya di Jepang, dia nitip oleh-oleh nih buat kalian."

Dengan sumringah, Reni menerima dua paperbag yang disodorkan Alam untuknya. "Wah, makasih ya Alam. Makasih juga untuk papa nya Alam." Gumamnya.

"Iya, nanti gue sampein. Yaudah kalo gitu, gue pulang dulu ya."

"Tidak mampir dulu?"

Alam menggeleng. "Sebenarnya mau mampir, tapi gue juga harus ngasih oleh-oleh Rio nih, ke rumahnya. Lain kali aja ya!" Jelasnya, membuat Reni mengangguk.

"Kalo gitu, hati-hati. Sekali lagi, makasih."

"Iya." Alam melaju dengan cepatnya, sampai punggungnya tak terlihat lagi oleh pelupuk mata Reni.

Tanpa mereka sadari, Bian mengintai mereka berdua dari atas jendela kamarnya dengan tatapan tajam. Sangat tajam, melebihi tatapan tajam yang dimiliki oleh Elang.

Reni belum membuka paperbag tersebut. Rencananya, Ia akan membukanya setelah memberikan milik Bian pada sang empunya.

Perlahan, Ia membuka pintu kamarnya. Takut, jika dia membukanya dengan keras, Bian bisa terbangun dari tidurnya.

"Gak punya malu banget sih lo jadi cewek." Suara dingin itu menusuk pendengaran Reni.

Mata Reni seolah mencari sang empunya suara di tempat tidur, namun nihil. Orangnya tidak ada. Ketika Ia membuka pintu secara lebar, terpampanglah sesosok lelaki di depan jendela seraya membelakanginya.

"Ternyata, selain gak tau malu, sok-sokan berlagak polos, lo juga matre ya?" Ujar Bian lagi, masih dalam posisi yang sama.

"Ma-maksud Bian, apa?" Reni bingung, kenapa tiba-tiba Bian berkata seperti itu.

"Gak usah berlagak polos deh lo." Bian kini membalikkan badannya menghadap Reni. "Lo, dengan gak tau malunya, meminta cowok untuk membelikan lo sesuatu. Apalagi itu kalo bukan, matre?" Cercahnya.

Reni tersentak. Semudah itu Bian menilainya. Semudah itu Bian menuduhnya. Padahal, ini semua tidak seperti apa yang dia fikirkan.

"Bukan sep-"

"Gak usah jelasin! Gue gak ngelarang lo dekat dengan siapapun, gue gak perduli. Tapi, setidaknya lo bisa jaga gerak gerik lo. Lo mau, secara tidak sengaja nyokap dan bokap gue liat? Apalagi Alam bukan orang asing bagi mereka."

Air matanya kini lolos. Pipinya yang tadinya lembab, kini basah dibuatnya. "Tapi, ini-" Lagi-lagi, ucapannya terpotong oleh suaminya.

"Munafik lo!" Bian menyenggol bahu Reni, sehingga Reni hampir terhuyung. Ia melenggang pergi, meninggalkan Reni yang masih terisak.

"Kenapa sih, Bian selalu bersikap seperti itu sama aku? Kenapa setiap aku berusaha tabah dengan sikapnya, ada saja kata-katanya yang membuat aku sendiri patah." Tangisnya, Ia terduduk di atas dinginnya lantai yang menyaksikan air matanya.

°°°°°°

"Bian mau kemana? Bian belum makan siang, kan? Makan dulu ya! Aku udah masak." Ujarnya lembut. Namun, tidak membuat hati Bian luluh.

"Gak usah urusin hidup gue!!" Gertaknya, membuat kedua sahabatnya yang ada disana kaget, begitupun dengan Reni.

Bian meninggalkan rumah, berlalu pergi dengan pintu yang ditutup dengan kerasnya.

Alam dan Rio sedikit berkerut, ada apa dengan Bian sebenarnya? Marah-marah dan kesal memang sudah menjadi jati dirinya, namun tanpa alasan seperti ini, sulit dimengerti.

"Aku tidak tau kenapa Bian dari kemarin marah-marah terus sama aku?" Lirihnya.

Jujur, sebenarnya Ia tidak ingin menceritakan masalah rumah tangganya pada orang lain. Namun, mau bagaimana lagi, Ia tidak kuat untuk memikulnya sendiri. Ia butuh orang, untuk menjadi tempatnya bercerita.

Rio dan Alam saling bertatapan. Menurutnya, Bian sudah melampaui batas, bagaimana bisa Ia memarahi istrinya tanpa alasan yang jelas.

"Reni, kami tidak tau harus berbuat apa untuk kalian. Tapi, kami selalu siap jika lo butuh tempat cerita." Jelas Alam, yang diangguki Reni.

"Reni, kamu yang sabar ya! Bian memang seperti itu, gue yakin lo bisa ngerubah dia jadi lebih baik."

Reni menggeleng atas pernyataan Rio. "Tidak, aku tidak mungkin bisa merubah Bian."

"Lo bisa Reni. Lo memang gak bisa ngerubah Bian, tapi yakin lo bisa jadi alasan berubahnya Bian."

Reni diam. Ia tertegun dengan pernyataan Rio. Apakah benar, Ia bisa merubah Bian? Entah itu besok, atau nanti? Biarlah waktu yang menjawab semuanya.

"Aduh-aduh, kok jadi melow gini sih? Daripada sedih mending kita makan, gimana? Cacing-cacing di perut gue, udah nyanyi dudidudidamdam, nih."

Reni dan Rio tertawa, melihat aksi Alam menepuk-nepuk perutnya seperti bedug.

"Itu sih emang lo nya aja, yang rakus. Malah jadiin, cacing sebagai alasan." Rio melempari Alam dengan bantal sofa, yang bisa dihindari oleh Alam.

Reni tersenyum melihat aksi keduanya. "Sudah! Mari makan. Aku sudah masak banyak tadi untuk Bian, tapi dia sendiri tidak mau memakannya."

"Reni, tenang! Daripada mubazir, kami yang akan memakannya."

"Iya, Reni. Makanan seenak ini cuman Bian yang menolaknya. Kami mah, diberi segudang pun, dengan senang hati kami siap habisin."

"Huh! Tadi ngatain gue rakus, sekarang malah-"

Tok!!

"Udah makan aja!" Rio mengetuk kepala Alam dengan sendok, yang membuat sang empunya meringis.

Reni tertawa, menyaksikan kelakuan receh dari kedua sahabat Bian, yang lebih memilih membelanya dibandingkan sahabatnya sendiri.

TBC

Jangan lupa Vomment-nya bestie✨🦖

Altruistic✓Onde histórias criam vida. Descubra agora