37| Penyesalan

469 21 2
                                    

Lebih bagusan mana gagal berkali-kali daripada tidak mencoba sama sekali?

_____

Sudah tiba saatnya pengumuman kelulusan untuk kelas 12. Deretan nama menjuntai pada kertas lebar yang di tempelkan ke mading.

"Aduh namaku mana, nih?"

"Kok namaku ga ada?"

"Yeah, lulus."

"Yah lulus, jadi pengangguran deh."

"Hiks, aku gak lulus."

Begitulah riuh suara, keluh kesah dari kumpulan siswa-siswi yang berjejer di depan mading.

Berdesakan, bertumpuk, berhimpitan.

Sungguh situasi yang paling di benci Reni. Lebih baik Ia menunggu orang berkurang dulu.

Lagian, madingnya juga gak bakalan lari.

Nanda menyikut Reni yang sedang serius melihat keramaian dari kejauhan. "Yuk ke mading! Ga sabar gue pengen liat nama gue ada di sana." Ajaknya.

"Kamu duluan ajah! Aku, nunggu kerumunannya agak berkurang."

"Yaudah deh, gue barengan lo ajah."

Sekitar beberapa menit menunggu, akhirnya kerumunan siswa siswi kelas 12 tersebut berkurang, yang membuat Reni lega dan bersenang hati untuk melihat mading.

"Ren, gue lulus. Senang banget gue." Histeris Nanda.

"Selamat ya, Nan." Ujarnya memberikan pelukan hangat untuk sahabatnya.

"Oiya Reni, gue juga liat nama lo tadi, ada di list atas nama gue."

"Ohya? Yaudah aku mau mastiin dulu deh." Ujarnya. "Kira-kira namaku di urutan berapa-," ucapannya terpotong, karena telunjuknya tak sengaja bertubrukan dengan telunjuk seseorang.

Dilihatnya orang itu dari samping. What the hell? Itu Bian guys. Malu banget nih.

"Ekhem." Nanda berdehem seolah menggoda keduanya.

Bukannya tersipu, kedua orang ini malah menampakkan wajah tak suka satu sama lain.

"Nan, yuk pulang!"

"Tapi lo belum liat nama lo-,"

"Yang penting tadi kamu udah liatkan?" Nanda mengangguk dan hanya pasrah tangannya di tarik paksa oleh Reni.

Segitu kecewanya Reni kepada Bian sampai bahkan melihat wajahnya saja Ia muak.

Begitulah jika orang tulus dikecewakan.

Ibarat, air menetes diatas batu. Lambat laun, batu tersebut akan terkikis juga oleh air yang menetes diatasnya.

°°°°°°

Sudah seminggu Harun koma di rumah sakit. Dan tak ada pertanda satupun bahwa dia akan sadar.

Hal ini membuat Windi sedih, dan menatap nanar suaminya yang terbaring lemah dengan selang oksigen di hidungnya, serta perban yang ada di kepala dan lengannya.

"Papa, sampai kapan papa akan tidur seperti ini? Papa gak kangen sama mama? Sama Bian?" Windi mengecup punggung tangan suaminya yang lemah.

"Udah seminggu papa koma. Dan udah seminggu juga menantu kita pergi dari rumah karena Bian. Andai papa sadar, semua ini gak bakal terjadi. Bian tidak bakal berani untuk ngusir Reni. Karena mama yakin, dia gak salah apa-apa."

Altruistic✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora