30| Bian vs Alam

272 20 2
                                    

Aku berada di titik dimana aku mencintai
seseorang dan lupa caranya berhenti.
_____

Hari ini adalah hari pertama sekolah, setelah libur panjang semester ganjil. Dan, ini adalah semester terakhir bagi seluruh kelas 12 yang nantinya akan menjalani ujian akhir semester.

"Aku sendiri bingung, Alam. Bahkan saat hubungan mereka sudah berakhir, tapi Bian masih saja selalu terkait dengan Nanda." Lirihnya, kini Ia sedang duduk di depan kelasnya.

"Maksudnya? Terkait gimana?"

"Yah, Bian masih belum bisa melupakan Nanda. Akhir-akhir ini, Dia masih sering ke tempat Nanda, ngigauin Nanda, meluk foto Nanda saat tidur."

"Bian, emang benar-benar ya!! Gak ngehargai perasaan lo banget. Kayaknya dia memang harus di kasih pelajaran." Geram Alam mengepalkan tangannya.

"Itu dia, Lam. Aku tidak tau lagi harus bagaimana? A-aku capek gini terus, sabar menyakitkan, diam juga menyiksa, tapi bicara juga percuma."

"Kalo lo capek, mending lo yang tinggalin Bian. Daripada lo bertahan tapi terus-terusan tersiksa."

"Aku memang capek, tapi aku gak bisa ninggalin Bian. Aku berada di titik dimana aku mencintai seseorang dan lupa caranya berhenti." Reni bersandar di bahu Alam, seraya menyalurkan kesedihannya.

"Tapi, aku lelah dengan sikapnya Bian. Semuanya sudah aku lakukan untuknya. Bersabar dengan sikapnya, memaklumi kesalahannya. Tapi, dia tidak pernah melihat semua yang aku lakuin untuknya." Sambungnya lagi.

Alam tidak lagi menjawab. Ia memilih mendengarkan keluh kesah Reni yang kini bersandar di bahunya. Alam sudah menganggap Reni sebagai adik, dan tentu saja sebagai kakak Ia tidak tega melihat adiknya sedih apalagi menangis.

°°°°°

Bugh!

Bian yang hendak membuka pintu mobilnya, kini tersungkur ke tanah setelah seseorang menendangnya dari arah belakang.

Bian menoleh untuk mengetahui siapa yang melakukan ini kepadanya.

Dan ternyata, dia adalah Alam. Sahabatnya sendiri.

"Lo apa-apaan sih, Lam? Maksud lo apa?" Ujarnya hendak berdiri, namun Alam dengan cepat menarik kedua kerah bajunya.

Bugh!

"Ini untuk lo yang udah buat Reni nangis."

Bugh!

"Ini untuk lo yang gak pernah hargain dia."

Bugh! Bugh!

"Dan ini untuk semua rasa sakit yang lo kasih ke dia."

Alam memukuli Bian bertubi-tubi, namun Bian tidak melawan apalagi mengelak serangan dan pukulan dari Alam.

Rio yang tidak bisa berbuat apa-apa, berlari untuk menghampiri dan memberitahukan kepada Reni yang kini berada di kelasnya.

"Reni, gawat!!" Rio ngos-ngosan karena berlari.

"Ada apa Rio? Gawat kenapa?"

"Itu, Alam sama Bian berantem di parkiran."

"Apa?" Pekik Reni, lalu berlari menghampiri mereka.

Reni melihat Bian dan Alam sudah babak belur karena pukulan masing-masing. Namun mereka, masih saja adu jotos.

"Gak bisakah lo sedikit menghargai, ketika seseorang mencoba untuk selalu ada buat lo?" Alam masih belum melepaskan kerah baju sekolah Bian.

"Stop! Stop!" Reni menyapu kerumunan untuk menghentikan, namun mereka masih saja saling memukul.

"Berhenti! Sudah-sudah!!" Pekiknya dengan suara bergetar.

Mendengar itu, Alam menghempaskan kerah baju Bian, membuat sang empunya baju merapikan bajunya dengan sedikit amarah.

"Kalian apa-apaan sih? Kenapa berantem?" Tak menjawab, mereka malah saling menatap tajam satu sama lain.

Reni hendak menggapai wajah Bian, yang membiru di sudut bibirnya, namun Bian menghalau tangannya dengan kasar, lalu pergi mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.

"Kalian buat apa disini? Bubar! Bubar!" Rio menguair gerombolan orang-orang yang melihat mereka.

"Lihatlah, dia laki-laki yang lo anggap suami. Gak lebih dari seorang pecundang." Ujar Alam berlalu pergi meninggalkan Reni yang membisu.

Apalagi ini? Kenapa seperti ini? Kepalanya cukup pusing menghadapi semua ini, sudahlah.

______•••______

Saat Ia membuka pintu kamarnya, matanya menangkap sesosok lelaki yang sedang mengobati luka lebam di wajah dan tangannya dengan salep.

Melihat itu, hati Reni sedikit sedih. Suaminya yang terluka, namun Ia yang merasakan sakit.

"Sini, biar aku bantu." Reni mencoba mengambil alih salep yang berada di tangan Bian.

"Gak usah!" Balasnya dingin.

"Tapi, luka kamu ban-"

"LO GAK NGERTI GUE NGOMONG APA? GUE BILANG GAK YA GAK!!" Gertaknya, memotong ucapan Reni.

Cukup kaget Ia mendengarnya, namun Ia paham bahwa saat ini suaminya sedang kesakitan, wajar jika sekarang Ia lagi emosi.

"Gapapa biar aku bantu ya! Besok kita udah ujian akhir, kasihan kalo nanti kamu kesakitan seperti ini." Tak ada jawaban ataupun sahutan dari Bian. Mungkin, Bian memang tidak mau diganggu untuk saat ini.

"Yaudah kalo gitu, aku bikinin kamu sup ya?"

"Gak perlu."

"Terus kamu mau apa?"

"MAU LO PERGI DARI HIDUP GUE!! SEMENJAK LO MASUK DALAM KEHIDUPAN GUE, HIDUP GUE GAK PERNAH TENANG, ASAL LO TAU. GUE BENCI LO, GUE BENCI, LO GAK FIKIR SAMA SEKALI YA? SEMUA YANG TERJADI INI ADALAH GARA-GARA LO, JADI GUE PENGEN LO JAUH-JAUH DARI HIDUP GUE!!" Teriak Bian dengan suara keras.

Tersentak! Hatinya tersentak seraya tersayat-sayat. Segitu bencinya Bian kepadanya? Segitu inginnya Bian agar dirinya jauh dari kehidupannya?

Air matanya sudah tak terbendung. Air bening itu telah lolos membasahi kedua pipinya. Sakit banget ya Allah, mungkin itulah yang kini ada di hati Reni saat ini.

Reni menutup pintu dengan keras. Ia tak marah, Ia juga tak kecewa. Tapi, Ia hanya merasa tak adil. Kenapa takdir sekejam itu kepadanya?

Kini Ia hanya ingin menenangkan diri. Karena jika dua orang sama-sama dalam kekalutan, maka salah satunya harus mendinginkan fikiran agar tak terjadi hal yang tidak diinginkan. Mungkin menjauhi Bian untuk sementara waktu ini adalah pilihan yang terbaik.

TBC

Jangan lupa Vomment-nya bestie ( ◜‿◝ )♡

Altruistic✓Where stories live. Discover now